Story of Mizyan Abdillah. Sekuel dari EMPAT SEKAWAN LOVE STORY.
Keputusannya menjadi seorang mualaf tidak serta merta hidupnya dalam ketenangan. Godaan dari teman masa lalu, cinta yang mulai tumbuh di hati, namun ternyata tidak mudah untuk menaklukan wanita yang selalu hadir menguasai pikiran. Makin bertambah masalah yang menimpanya kala menyadari jika aset vitalnya tak lagi berfungsi.
Mampukah ia istiqomah menjadi muslim yang taat dengan segala masalah yang menghampirinya?
Bisakah ia mendapatkan hati dari wanita yang didambakannya?
Rahma. Dia belum siap menikah lagi. Namun bujukan sang ibu berpuluh kali membuat keteguhannya mulai goyah.
"Mizyan lelaki yang baik. Seorang mualaf yang bersungguh-sungguh belajar agama. Dia bisa menjadi imam untukmu dan Dika."
Benarkah sudah waktunya ia menerima cinta yang lain, disaat cinta dan kenangan bersama almarhum suaminya masih ia rawat dan pupuk di hatinya.
MELUKIS SENJA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Tempat Pelarian
Cukup lama Rahma berada di samping pusara Malik bersama Dika yang berceloteh mengajak ayahnya berbicara, bercerita hari ini mau bertemu saudara-saudaranya. Sesekali Dika mendekatkan wajah ke depan nisan berbahan marmer itu. Mau mengintip ayah bobo, katanya. Dan saat itu pula ia harus menyusut lagi sudut matanya.
"Sudah yuk, pulang!"
Namun Dika menggeleng, tak bergeming. Mau menunggu dulu ayah bangun dan keukeuh ingin memeluk ayah, jawabnya. Yang membuat Rahma harus mendongkkan wajah menatap langit biru agar bisa menahan air mata tak lagi jatuh.
Sinar mentari pagi yang makin naik terasa hangat menerpa punggungnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling sebab hatinya merasa ada yang sedang mengawasi. Keningnya mengkerut melihat 2 orang pria yang berjongkok di salah satu pusara jajarannya, di urutan kedua paling ujung, terpergok tengah menatapnya. Ia baru sadar, selama hampir 1 jam lamanya berada di samping pusara Malik, 2 orang pria di sana pun belum beranjak.
Rahma kembali membujuk Dika untuk pulang dan berjanji mengajaknya ke sini lagi nanti. Setelah diingatkan akan bertemu Manda, si kembar Raka dan Rayi, barulah Dika menurut.
"Ayah, Atu pulang ya."
"Mikum, Ayah."
Rahma menelan saliva dengan tenggorokan tercekat mendengar Dika berpamitan, juga melihat sang anak mencium nisan ayahnya tanpa diajarinya. Ia menuntun Dika menyusuri jalan kecil, celah cukup lebar antara jajaran pusara bagian kiri dan kanan. Rasa penasaran membuatnya spontan membalikkan badan. Terlihat 2 orang pria bertopi itu berjalan jauh di belakangnya dan berhenti mendadak menatap sembarang arah.
Ia menepis praduga. Mungkin sama 2 orang pria itu mau pulang, bukan sedang membuntutinya. Namun rasa cemas mulai timbul saat mempercepat langkah, melalui sudut mata tampak 2 pria itu pun berjalan tergesa.
Ya Allah.
Rahma terkesiap kala sampai di parkiran. Matanya tak sengaja tertuju pada ban mobil bagian belakang kanan yang gembos. Ternyata tidak hanya satu, ban depan kanan pun ternyata sama gembos. Ia urung membuka pintu mobilnya. Memilih menekan lagi remote untuk mengunci. Ia mempererat pegangan tangan yang menuntun Dika agar tidak lepas. Jantungnya mulai bertalu kencang melihat 2 pria bertopi itu makin mendekat. Baru sadar, hanya ada 2 mobil yang terparkir di sana juga tak ada orang lain.
"Dika, lari-lari yuk! Kita olahraga biar sehat." Rahma tak ingin anaknya tahu dan menjadi takut jika kini situasi dalam bahaya.
Anggukan Dika yang tampak semangat menjadi aba-aba baginya untuk menyebrang jalan sebab di sana lebih ramai dengan lalu lalang orang bersepeda dan berjogging. Ia meninggalkan mobilnya begitu saja. Memilih menggendong Dika saat menyebrang agar bisa berlari cepat.
Huft.
Rahma mengatur nafasnya yang tersengal dengan bulir keringat bermunculan di dahi sebab memangku Dika yang cukup berat. Ia mulai berjalan cepat di trotoar dengan tangan memegang erat jemari Dika yang harus berlari-lari mengimbangi langkah bundanya.
Ia menyelinap di antara sekelompok remaja yang berjalan santai sambil asyik memainkan ponsel. Sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan apakah 2 pria berjaket hitam dan coklat itu masih mengikutinya atau tidak.
"Nda, cape....ausss." Dika berhenti sambil menghentakkan tangannya yang dipegang Rahma. Sampai kemudian terlepas dan terpisah di belakang sebab sekelompok remaja itu menyalip berjalan mendahului.
"Dika---"
Rahma yang terkaget spontan berteriak memanggil nama anaknya. Sebab dalam waktu yang sama matanya menangkap satu pria berjaket coklat berlari makin mendekat ke arah Dika yang tengah merajuk.
Entah mendapat kekuatan dari mana, ia meraih Dika dan menggendongnya sambil berlari kencang menuju sekelompok pesepeda yang sedang beristirahat di trotoar yang teduh. Tak terlihat lagi sekelompok remaja yang tadi berbaur bersamanya. Atau pula orang dewasa yang sedang berlari pagi, sudah berpencar jauh. Dan kini, ia berniat meminta tolong.
"Om---"
"Nda, ada Om---"
Rahma yang siap berucap meminta tolong, urung. Demi mendengar Dika yang berseru riang sambil menunjuk-nunjuk ke arah mobil sport warna merah yang terparkir berjarak sekitar 10 meter dari kelompok pesepeda yang tengah beristrirahat. Asanya muncul kala melihat sosok pria yang pernah 2 kali dilihatnya, di toko dan di kamar tamu rumahnya. Ia menarik tangan Dika, mendekati pria yang sedang santai bersandar di pintu mobil sambil memegang ponsel di telinga.
"Tolong bawa kami pergi sini!"
****
Mizyan keluar lebih dulu dari pintu samping usai mengaminkan doa sebagai penutup kajian pagi ini. Ia tergesa menuju paviliun, berganti pakaian santai sebab ada janji bertemu klien untuk meninjau lokasi tanah yang akan dibangun rumah mewah. Dan ia dipercaya sebagai arsiteknya.
Ia melajukan mobil kesayangannya menuju lokasi yang sudah di shareloc oleh kliennya. Pertemuan non formal itu berjalan santai dan friendly. Bahkan ia melakukan interview bersama klien yang datang bersama asistennya itu di warung kopi yang dekat dengan lokasi yang sudah selesai ditinjau. Ia mencatat dengan detail konsep rumah yang diinginkan klien agar nantinya sesuai ekspektasi.
"Rumah ini akan jadi kado surprise untuk istri saya. Dia wanita terhebat. Udah sabar mendampingiku sejak dari nol sampai sekarang sukses."
Kalimat yang diucapkan klien dengan mata berbinar itu sukses membuat Mizyan menghentikan ketikan di Tab nya.
"Respect." Tanggapannya singkat sambil mengacungkan jempol sebab sosok pria perlente di hadapannya itu yang begitu bangga memuji istri.
Urusan dengan klien beres, namun perutnya kini tidak beres alias lapar. Ia sempat menyapa sekelompok pesepeda yang baru saja berhenti untuk beristirahat sebab ia berjalan menuju mobil melewati kelompok pesepeda itu.
Baru juga akan menelepon Dado untuk menanyakan mau dibelikan makanan apa, tiba-tiba seseorang mengagetkannya.
"Tolong bawa kami pergi sini!" Manik coklat dengan bulu mata lentik itu tampak ketakutan. Bahkan tangannya mencengkeram lengan kiri Mizyan dengan kuat dan bergetar.
"Om! Yeay ada Om."
Mizyan beralih menatap Dika yang bertepuk tangan riang. Lalu beralih lagi menatap Bundanya Dika yang ketakutan.
"Kenapa? Ada apa?!" tanyanya refleks menepuk bahu Rahma untuk membuatnya tenang.
Ia melajukan mobil dengan membawa dua penumpang di jok belakang. Matanya awas menatap spion kanan dan tengah, mengamati keadaan jalanan di belakang mobilnya.
"Mobil avanza putih itu bukan?" Sekilas Mizyan menatap Rahma dari spion tengah.
Belum ada jawaban. Sebab Rahma memutar tubuhnya ke belakang awolah sedang mengingat-ngingat.
"Sepertinya iya. Itu mobil yang tadi parkir dekat mobil saya." Rahma makin yakin saat mobil yang dikemudikan Mizyan berjalan pelan lalu berhenti di lampu merah. Ia bisa melihat jelas orang yang duduk di mobil yang membuntutinya itu. Dua pria berjaket hitam dan coklat.
"Dika!"
"Ya, Om." Yang dipanggil langsung berdiri semangat melongokkan kepala ke kursi kemudi.
"Mau balapan?" Mizyan menoleh sambil mengusap puncak kepala Dika yang tengah memegang persneling. Yang kemudian Rahma menegur dan meraih tubuh Dika untuk duduk.
"Mau-mau, Om." Dika tak mengindahkan teguran sang bunda. Memilih menjawab tawaran Om Mizyan.
"Bundanya, tolong pakai safety belt. Sama Dika juga tolong pasangin!" Mizyan menatap Rahma dari spion tengah. Namun ternyata mendapat gelengan tidak setuju.
"Jangan ngebut. Ini jalanan padat. Saya nggak mau kita kenapa-kenapa."
Mizyan mengangguk, mengalah. Padahal ia rindu balapan. Bisa saja ia mengarahkan mobil yang membuntutinya memasuki tol. Sudah lama mobil sport merahnya tidak meraung dan melesat cepat. Namun ia harus mengalah demi kenyamanan penumpangnya.
"Mau pulang ke rumah?" Tawar Mizyan saat mobil penguntit terhalang 4 mobil di belakangnya. Bisa menjadi kesempatan untuk semakin menjauh sebab arah ke komplek Rahma tinggal 200 meter belok kanan.
"Jangan. Saya nggak mau Ayah sama Uma panik."
"Terserah kamu bawa ke mana. Saya butuh menenangkan diri sebentar."
Dan di sinilah sekarang ketiganya berada, apartemen. Mizyan memutuskan membawa Rahma dan Dika ke apartemennya sebab Rahma sama sekali tak ada ide sama sekali bahkan terlihat kelelahan.
"Jangan takut." Mizyan bisa menangkap raut keraguan saat pintu apartemennya dibuka. "Saya akan keluar lagi. Hanya mau ngasih tahu dulu dimana letak makanan dan minuman. Dika sama bundanya bisa istirahat dengan tenang. Anggap saja rumah sendiri."
Lain halnya Dika yang langsung menerobos masuk ke dalam. "Ini lumah Om ya?" ujarnya sambil membuka sepatu lalu naik ke sofa dan membaringkan badan dengan tangan telentang.
Mizyan mengulum senyum melihat tingkah polos Dika yang kini berbaring di sofa. Seperti sedang merasakan capek.
"Nda....ausssss."
"Bunda mau sampe kapan berdiri di luar?!" Mizyan menaikkan kedua alisnya dengan senyuman tipis sebab Rahma masih saja berdiri di ambang pintu. "Itu Dika haus, katanya."
"Jangan panggil saya Bunda!" Rahma melayangkan protes dengan ketus. Ia merasa jengah sejak dari mobil, Mizyan memanggilnya Bunda, bukan namanya. "Hanya Dika yang boleh memanggil begitu. Panggil Rahma saja! pungkasnya masih dengan ketus.
"Ok. Bu Rahma." Mizyan mengangkat tangan memberi tanda hormat.
"RAHMA. Nggak usah pakai 'Bu'." Rahma masih saja ketus sebab Mizyan seperti sengaja membuatnya kesal.
"Nda.....ausssss."