Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: RAHASIA DI BALIK DESA TIRTA AMERTA
Ketegangan yang menyesakkan memenuhi udara saat tawa itu menggema di antara pepohonan. Suara yang terdengar seperti bisikan mengerikan datang dari segala arah, membuat Arjuna dan Vera merasa seolah dikelilingi oleh bayangan tak kasat mata. Desa Tirta Amerta kini tampak lebih gelap dari sebelumnya, meski hari masih pagi. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seolah tanah di bawah mereka menahan pergerakan mereka, memberi peringatan bahwa mereka sudah masuk ke dalam sebuah perangkap.
"Apa itu?" Arjuna berbisik, tangannya yang gemetar menggenggam belati yang kini tampak lebih lemah dari sebelumnya.
Vera tidak menjawab, namun ekspresinya sudah cukup untuk menggambarkan betapa dalamnya rasa takut yang merayapi dirinya. "Kita sudah masuk ke dalam wilayah yang dikendalikan oleh mereka," kata Vera akhirnya, suaranya berat dan penuh kewaspadaan. "Dan mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja."
Tiba-tiba, dari balik bayangan, seorang pria muncul. Sosoknya tinggi dan tegap, mengenakan jubah hitam dengan simbol-simbol yang samar terlihat di tepiannya. Wajahnya tersembunyi di balik topeng perak yang terukir rumit, hanya menyisakan mata tajam yang memandang mereka. Di tangan kanannya, dia memegang sebuah staf besar yang dihiasi dengan batu-batu berkilau, memancarkan aura yang menakutkan.
"Kalian akhirnya datang," pria itu berkata dengan suara yang dalam dan penuh misteri, matanya tajam menatap Vera dan Arjuna. "Aku sudah menunggu kalian."
Arjuna terkejut dan sedikit mundur, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya gugup namun penuh rasa ingin tahu.
Pria itu meletakkan stafnya di tanah dan menundukkan kepalanya, seolah menghormati mereka. "Aku adalah Raka, penjaga pertama gerbang Tirta Amerta. Aku tahu mengapa kalian datang, dan aku juga tahu apa yang kalian cari."
Vera memandang Raka dengan serius, matanya penuh tanda tanya. "Kau tahu tentang kami? Tentang perjanjian itu?"
Raka mengangguk pelan. "Tentu saja. Aku telah lama mengawasi dunia ini, dan aku tahu siapa yang terlibat dalam pertempuran melawan kegelapan. Tapi kau, Vera, tidak seperti yang aku harapkan." Raka menatap Vera dengan mata yang penuh makna, seolah mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertempuran mereka. "Aku tahu kau punya tujuan lain, tujuan yang jauh lebih besar."
Vera terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih gelap. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud," jawabnya hati-hati, meski suaranya terkesan dipenuhi keraguan. "Kami hanya ingin menghentikan kegelapan ini."
Raka tersenyum tipis, namun senyum itu terasa dingin dan menakutkan. "Kegelapan itu bukan hanya sebuah makhluk atau kekuatan luar. Kegelapan itu ada dalam diri kita semua. Dan perjalananmu ke sini, Vera, hanya akan mengungkapkan lebih banyak dari yang kau inginkan."
Arjuna merasakan ketegangan yang semakin meningkat. "Apa maksudmu?" tanyanya, berusaha menyarankan agar pembicaraan ini tidak berlarut-larut.
Raka mengangkat tangannya, menenangkan keduanya. "Kalian harus memahami bahwa desa ini bukanlah tempat yang bisa kalian lawati begitu saja. Ada rahasia yang lebih dalam yang menghubungkan Tirta Amerta dengan dunia lain—dunia yang kalian coba hindari."
Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar dari belakang mereka, dan dua sosok muncul dari bayang-bayang. Mereka adalah seorang pria dan wanita yang tampaknya tidak asing bagi Vera. Keduanya mengenakan pakaian tradisional berwarna putih dengan simbol-simbol kuno yang terukir di dada mereka.
"Vera..." suara wanita itu terdengar penuh kekhawatiran, matanya tajam memandang gadis itu. "Kau kembali."
"Maya... Dimas," Vera menyebut nama mereka dengan suara pelan, mengakuinya. Maya adalah seorang pendeta wanita yang sudah lama dikenal Vera, sementara Dimas adalah seorang penyelidik dari kelompok rahasia yang mempelajari sejarah dunia dan artefak-artefak kuno.
Maya berjalan mendekat, memandang Vera dengan tatapan penuh perhatian. "Apa yang terjadi? Mengapa kau membawa orang asing ini ke sini?"
"Mereka... mereka adalah bagian dari pertempuran ini, Maya," Vera menjawab dengan suara datar. "Kita tidak punya pilihan selain bekerja sama."
Dimas, yang lebih tenang dan lebih bijaksana, mengamati Arjuna dengan seksama. "Kau bukan orang biasa, bukan?" tanyanya, memandangi belati yang kini tergenggam di tangan Arjuna.
"Aku tidak tahu lagi siapa aku," Arjuna menjawab dengan nada rendah. "Aku hanya ingin mengakhiri semua ini."
Maya menatap Dimas, lalu kembali pada Vera. "Kau membawa mereka ke dalam bahaya, Vera," katanya dengan nada serius. "Kegelapan yang kita hadapi bukan sekadar makhluk yang bisa dihancurkan dengan kekuatan fisik. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih dalam, yang bisa merasuk ke dalam jiwa manusia."
"Aku tahu," Vera mengakui. "Tapi kita tidak punya waktu. Kita harus menutup gerbang-gerbang itu sebelum dunia lain menguasai kita."
Raka, yang selama ini diam, akhirnya berbicara lagi. "Kalian tidak akan bisa menutup gerbang ini tanpa bantuan dari kekuatan yang lebih besar. Dan itu hanya bisa diperoleh jika kalian benar-benar mengerti apa yang ada di balik Tirta Amerta."
"Apa yang harus kami lakukan?" Vera bertanya, ketegangan di wajahnya semakin jelas.
Raka menarik napas panjang, matanya berkilat dengan pengetahuan yang dalam. "Ada satu tempat di dalam desa ini yang terlupakan oleh banyak orang. Sebuah kuil tersembunyi di bawah tanah, yang menyimpan kunci terakhir untuk menutup gerbang ini. Tapi kalian harus siap untuk menghadapi kegelapan yang lebih dalam."
Maya menambahkan, "Kita semua harus pergi ke sana. Hanya bersama kita bisa menghadapinya."
Malam semakin larut, dan dengan hati yang penuh kekhawatiran, Vera, Arjuna, Raka, Maya, dan Dimas memulai perjalanan mereka menuju kuil tersembunyi. Mereka berjalan melalui jalan sempit yang dipenuhi dengan batu-batu besar, melewati rumah-rumah yang kosong dan hening, seolah desa ini telah lama ditinggalkan oleh penduduknya. Setiap langkah terasa semakin berat, dan Arjuna merasakan kegelapan yang semakin menekan dari segala sisi.
Setelah berjalan beberapa lama, mereka akhirnya tiba di sebuah bukit kecil yang tampaknya tidak begitu mencolok. Di bawah bukit itu, terdapat sebuah pintu masuk yang tertutup rapat dengan batu besar, diselimuti oleh tanaman liar. Raka memandangnya dengan serius.
"Ini dia," kata Raka, sambil mengangkat stafnya. Dengan gerakan perlahan, dia mengangkat batu besar itu, mengungkapkan sebuah lubang gelap di bawahnya. "Ini adalah jalan yang akan membawa kita ke tempat yang paling gelap di Tirta Amerta."
Maya menatap lubang itu dengan khawatir. "Kita harus siap untuk apa pun yang ada di dalam sana."
Arjuna mengangguk, namun perasaan tak terdefinisikan tetap ada dalam hatinya. "Apa yang sebenarnya ada di dalam kuil ini?"
Raka menatapnya. "Kegelapan yang telah menguasai Tirta Amerta tidak hanya berasal dari dunia luar. Ia telah menyusup ke dalam jiwa manusia. Di sana, kalian akan menghadapi ujian yang tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga keteguhan hati."
Dengan hati yang semakin berat, mereka melangkah ke dalam kegelapan, menuju kuil yang menyimpan rahasia terdalam dari desa Tirta Amerta dan perjalanan mereka untuk mengakhiri kutukan yang menghantui dunia ini.