Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Evakuasi di Tengah Kepungan
Markas besar tim Ariella yang tersembunyi di gedung bawah tanah itu kini berubah menjadi medan perang waktu. Alarm darurat masih berdenging keras, memecah keheningan malam. Liana bergegas mengemasi peralatan teknologinya, jari-jarinya bergerak cepat seperti penari di atas keyboard. Di layar, dia memantau sinyal musuh yang terus mendekat.
"Komandan, kita punya kurang dari sepuluh menit sebelum mereka tiba!" seru Liana, menahan napas saat melihat pergerakan musuh di radar.
Rael masuk ke ruang utama dengan wajah penuh keringat. “Tim evakuasi sudah siap, tapi kita tidak punya cukup waktu untuk membawa semua data ini. Apa yang harus kita prioritaskan?”
Ariella, yang berdiri di sudut dengan tatapan tajam, mengamati pria bertopeng yang masih terikat di kursinya. Wajah pria itu penuh luka, tetapi senyum liciknya tidak pudar.
"Kalian tidak akan bisa kabur," katanya dengan suara serak. "Mereka sudah tahu siapa kalian, dan mereka tidak akan berhenti sampai kalian semua hancur."
Ariella menghampirinya, menahan diri untuk tidak kehilangan kendali. "Kami tidak akan hancur, tapi kau mungkin tidak akan hidup cukup lama untuk melihat itu."
Dia berbalik ke arah Rael. "Bawa semua data tentang operasi mereka, terutama file yang menyebutkan jaringan mereka. Sisanya bakar."
Rael mengangguk dan bergegas keluar, memberi perintah kepada tim lain.
"Liana, prioritas utama kita adalah tetap tak terdeteksi setelah ini. Pastikan semua jejak kita hilang sebelum kita pergi," perintah Ariella tegas.
Liana mengetik lebih cepat. "Saya akan mengaktifkan protokol pembakaran sistem. Tapi ini akan memakan waktu dua menit lagi."
Ariella menoleh ke arah Rael, yang baru saja kembali dengan beberapa anggota tim. "Bersiap di pos evakuasi. Kita akan membawa pria ini bersama kita."
---
Di luar markas, suara kendaraan berat mendekat, ban besar melindas kerikil di jalan sempit yang menuju tempat persembunyian mereka. Sinar lampu sorot memantul dari bangunan tua di sekitarnya, menandakan musuh sudah dekat.
Dari jauh, Liana melihat melalui kamera pengintai. “Komandan, mereka membawa tim bersenjata lengkap dan drone pengintai. Jumlah mereka tidak main-main.”
Ariella menarik napas panjang, menyusun strategi di tengah waktu yang semakin menipis. Dia memanggil seluruh tim melalui radio.
"Rencana berubah. Kita akan membagi diri menjadi dua kelompok. Tim pertama, pastikan data ini sampai ke lokasi aman. Tim kedua, ikut denganku untuk menjebak mereka di sini."
Rael menatapnya dengan ragu. "Komandan, ini terlalu berisiko. Mereka lebih banyak dari kita."
Ariella menepuk bahunya. "Kita hanya perlu membuat mereka sibuk cukup lama. Percayalah, kita akan keluar hidup-hidup."
---
Pertempuran dimulai ketika musuh menyerbu pintu utama markas. Ledakan dari granat asap memenuhi ruangan pertama, tetapi Ariella dan timnya sudah bersiap di posisi strategis.
Rael memimpin tembakan pertama, menghantam dua musuh yang masuk tanpa peringatan. Ariella bergerak seperti bayangan, mengendap melalui lorong sempit, menghentikan musuh yang mencoba mengepung mereka.
Sementara itu, Liana dan tim lainnya bergerak ke arah pintu belakang, membawa hard drive yang berisi data penting. Mereka berlari di bawah bayangan malam, menjaga agar pergerakan mereka tetap tak terdeteksi.
Namun, musuh tidak mudah dikalahkan. Mereka membawa drone yang mulai memindai area sekitar, membuat pelarian menjadi lebih sulit.
“Drone di atas kita! Bersembunyi di bawah kontainer!” perintah Liana kepada timnya. Mereka bergerak cepat, berjongkok di antara barang-barang besar yang ditinggalkan di luar.
Di dalam markas, Ariella masih bertarung mati-matian. Peluru berdesing di sekitarnya, tetapi dia tetap tenang. Setiap tembakan dari senjatanya selalu mengenai sasaran. Di sudut matanya, dia melihat pria bertopeng itu mencoba melepaskan diri dari ikatan di kursinya.
“Kau pikir bisa kabur begitu saja?” Ariella melompat ke arahnya, menendang kursi hingga pria itu jatuh tersungkur.
“Ini hanya permulaan,” pria itu berkata dengan suara mengejek.
Namun, sebelum Ariella sempat menjawab, Rael berteriak dari ujung ruangan. “Komandan, pasukan cadangan mereka sudah masuk! Kita harus keluar sekarang!”
Ariella memutuskan dengan cepat. Dia menarik pria bertopeng itu dari lantai, menyeretnya keluar bersama timnya. “Mundur ke titik evakuasi!”
---
Di luar markas, Liana dan tim pertama berhasil mencapai kendaraan yang sudah disiapkan. Mereka memasukkan hard drive ke dalam tas tahan peluru, memastikan data itu tetap aman.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, drone musuh mendeteksi posisi mereka. Serangan tiba-tiba menghujani kendaraan mereka, membuat tim pertama terpojok.
“Kita butuh bantuan!” Liana berteriak melalui radio.
Ariella, yang baru saja keluar dari gedung dengan Rael dan beberapa anggota lainnya, mendengar permintaan itu. “Tahan di posisi kalian. Kami akan ke sana.”
Dia menyerahkan pria bertopeng itu ke Rael. “Jaga dia tetap hidup. Jangan biarkan dia melarikan diri.”
Tanpa menunggu jawaban, Ariella berlari menuju posisi Liana. Dalam perjalanan, dia menembak jatuh satu drone yang mencoba mengikuti tim mereka.
Saat dia tiba, Liana dan tim pertama sedang berlindung di balik kendaraan yang hampir hancur. Musuh mengepung mereka, tembakan bertubi-tubi menghujani dari segala arah.
Ariella melompat ke tengah baku tembak, menggunakan mobil sebagai perisai. Dengan kecepatan luar biasa, dia melumpuhkan beberapa musuh yang mendekat.
“Sekarang atau tidak sama sekali! Masuk ke kendaraan kedua!” teriak Ariella.
Liana dan timnya bergerak cepat, berpindah ke kendaraan cadangan yang diparkir tidak jauh. Begitu semuanya masuk, Ariella mengambil posisi di belakang, menembak musuh terakhir yang mencoba mengejar.
---
Setelah perjalanan panjang yang penuh ketegangan, mereka akhirnya mencapai titik aman di sebuah bunker kecil di luar kota. Tim mereka berkumpul kembali, memeriksa kerusakan dan luka-luka.
Pria bertopeng itu duduk di sudut ruangan, terikat lebih kuat kali ini. Dia tampak tenang, seolah tidak peduli dengan kekalahan mereka.
Ariella menghampirinya, menatap matanya dengan penuh tekad. “Kau kalah malam ini. Dan kau akan memberi tahu kami semua yang kami butuhkan.”
Pria itu tertawa kecil. “Kalah? Tidak, Ariella. Kalian hanya memenangkan satu pertempuran. Perang ini masih panjang, dan kami selalu punya cara untuk bangkit kembali.”
Ariella mengepalkan tinjunya. Dia tahu pria ini tidak akan berbicara dengan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa kemenangan kecil malam ini adalah langkah besar menuju kehancuran The Raven Syndicate.
Malam itu, di bunker yang dingin, Ariella bersumpah dalam hati bahwa dia akan mengakhiri ancaman ini, tidak peduli berapa harga yang harus dia bayar.