Novel ini mengisahkan perjalanan cinta yang penuh dinamika, yang diselimuti perselisihan dan kompromi, hingga akhirnya menemukan makna sesungguhnya tentang saling melengkapi.
Diantara lika-liku pekerjaan, mimpi, dan ego masing-masing, mereka harus belajar mengesampingkan perbedaan demi cinta yang semakin kuat. Namun, mampukah mereka bertahan ketika kenyataan menuntut mereka memilih antara ambisi atau cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arin Ariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan dan Pertemuan Tak Terduga
Malam itu, di ruang tamu yang megah, Alfatra duduk dengan wajah datar. Suara jam dinding terdengar jelas di antara percakapan orang tuanya dengan sepasang suami istri lain. Mereka membicarakan sesuatu yang tampaknya sudah disepakati—perjodohan antara dirinya dan Naumi, putri sahabat keluarga.
“Alfa, ini keputusan terbaik untuk keluarga kita. Naumi adalah gadis yang baik, pintar, dan sopan,” kata ibunya dengan nada penuh harap. Ayahnya mengangguk setuju.
Naumi, yang duduk tak jauh darinya, hanya tersenyum tipis. Ia tampak manis, dengan penampilan anggun yang tak bisa dimungkiri. Namun, di mata Alfatra, semua itu tidak cukup untuk menggantikan seseorang yang pernah ia cintai.
Pikirannya melayang ke masa dua tahun lalu, saat ia dan Ariana masih bersama. Wajah ceria Ariana, tawanya, dan ambisi mereka yang dulu sejalan kini terasa seperti bayangan yang jauh. Hubungan mereka hancur akibat perdebatan yang tak kunjung usai, ego yang terlalu tinggi, dan karier yang menjadi prioritas masing-masing. Namun, meski waktu telah berlalu, ia tidak pernah benar-benar melupakan Ariana.
“Maaf, tapi aku tidak bisa,” suara Alfatra memecah keheningan. Semua mata tertuju padanya, termasuk Naumi yang kini tampak terkejut.
“Alfa, apa maksudmu? Ini untuk kebaikanmu,” kata ayahnya, menahan nada marah.
“Aku menghormati kalian, tapi aku tidak bisa menjalani ini. Aku... aku tidak mencintainya,” jawab Alfatra tegas, meski ada getaran di suaranya.
Ruangan itu menjadi hening. Naumi menunduk, tampak berusaha menyembunyikan rasa malunya. Ibunya menatap Alfatra dengan pandangan kecewa, sementara ayahnya menarik napas panjang, mencoba menahan emosi.
“Alfa, cinta itu bisa tumbuh seiring waktu. Yang penting adalah komitmen dan tanggung jawab,” ujar ibunya.
Namun, Alfatra menggeleng. “Aku tahu apa yang aku rasakan. Aku masih mencintai seseorang, dan aku tidak bisa memaksakan hati ini.”
Pengakuan itu membuat suasana semakin canggung. Alfatra berdiri, meninggalkan ruang tamu tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut. Di dalam kamarnya, ia terduduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang memperlihatkan langit malam. Hatinya terasa berat, namun ia tahu, memilih untuk jujur adalah satu-satunya hal yang benar.
Di luar, orang tuanya masih berbicara dengan keluarga Naumi, mencoba meredakan situasi. Tapi jauh di lubuk hati Alfatra, ia tahu keputusan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang harus ia hadapi. Dan di sudut hatinya, bayangan Ariana kembali muncul, mengingatkan dirinya bahwa cinta sejati memang tidak mudah dilupakan.
~
Kamar Alfatra gelap, hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sudut ruangan. Pikirannya terus berputar, kembali ke saat terakhir ia bertemu Ariana dua tahun lalu. Mereka berdiri di depan kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka, namun malam itu segalanya berbeda.
“Aku lelah, Alfatra. Kita tidak pernah sepakat tentang apa pun,” ujar Ariana dengan suara bergetar.
“Itu karena kamu tidak pernah mendengarkanku! Kamu terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi kamu, bahkan aku merasa seperti prioritas kedua!” balas Alfatra dengan nada tajam.
Wajah Ariana berubah masam, matanya berkaca-kaca. “Lalu apa yang kamu mau, Alfa? Aku berhenti mengejar mimpiku hanya untuk kamu? Itu bukan aku.”
Kata-kata itu seperti tamparan. Alfatra terdiam, menahan ego yang meluap-luap di dadanya. Mereka saling menatap, namun tidak ada lagi kehangatan. Beberapa menit setelahnya, Ariana pergi, meninggalkan Alfatra di tengah hujan deras malam itu.
Kini, dua tahun berlalu, kenangan itu masih terasa begitu nyata. Di dalam hati kecilnya, ia tahu ia salah. Ego dan sikap keras kepalanya menghancurkan apa yang mereka miliki. Namun, waktu telah berlalu, dan ia bahkan tidak tahu di mana Ariana sekarang.
Pikiran Alfatra buyar ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya masuk.
"Besok malam kita akan berbicara lagi soal perjodohan ini. Tolong jangan membuat malu keluarga."
Alfatra menghela napas panjang, merasa terperangkap dalam situasi yang tidak ia inginkan. Ia tahu, menolak perjodohan ini akan membawa konsekuensi besar. Tapi menyerah pada tuntutan orang tua berarti mengkhianati hatinya sendiri.
Keesokan harinya, Alfatra memutuskan untuk mengunjungi kafe lama yang dulu sering ia datangi bersama Ariana. Tempat itu hampir tidak berubah, kecuali suasananya yang terasa lebih sunyi. Ia duduk di sudut ruangan, memesan secangkir kopi hitam, dan membiarkan pikirannya melayang.
Namun, saat ia menatap ke arah pintu, jantungnya berdetak lebih cepat. Sosok itu... rambut panjangnya, cara ia berjalan dengan penuh percaya diri... Itu Ariana.
Ariana berhenti di dekat pintu, berbicara dengan pelayan sebelum akhirnya melangkah ke meja lain. Ia tidak menyadari keberadaan Alfatra. Dalam sekejap, semua emosi yang telah Alfatra pendam selama ini menyeruak.
“Ariana,” gumamnya pelan, hampir tidak percaya.
Tapi ia ragu untuk mendekat. Bagaimana jika Ariana tidak ingin bertemu dengannya? Bagaimana jika Ariana sudah melupakan segalanya?
Dengan tangan gemetar, Alfatra mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan. Namun, sebelum ia sempat menekan tombol kirim, Ariana menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti.
Ada keheningan di antara mereka, namun dalam tatapan itu, banyak hal yang tak terucapkan.
“Ariana,” panggil Alfatra, kali ini dengan suara lebih tegas.
Ariana mendekat, namun raut wajahnya sulit ditebak. “Alfatra. Sudah lama,” katanya singkat, nada suaranya datar namun penuh makna.
Alfatra berdiri, mencoba mengumpulkan keberanian. “Bisa kita bicara sebentar?”
Ariana menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Tapi hanya sebentar.”
Saat mereka duduk, Alfatra tahu inilah kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Namun, kata-kata terasa sulit keluar. Di satu sisi, ia ingin meminta maaf dan memperbaiki semuanya, namun di sisi lain, ia sadar bahwa luka di hati mereka mungkin belum sembuh sepenuhnya.