NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Bullying di Tempat Kerja / Mata-mata/Agen / TKP / Persaingan Mafia
Popularitas:540
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 : Gejolak emosi dan evaluasi mental

Rini menatap Ivan dengan tatapan yang sudah tidak sabar lagi. Tanpa membuang waktu, dia menyalakan layar ponsel dan memperlihatkan rekaman CCTV dari apartemen Jessica. Kamera merekam dengan jelas bagaimana Ivan datang dengan langkah kasar, menggedor pintu, dan akhirnya masuk ke dalam apartemen dengan ekspresi marah yang tampaknya sudah tidak bisa dibendung. Suara dari rekaman itu semakin memperjelas situasi, memperlihatkan seberapa jauh Ivan kehilangan kendali.

Rini kemudian mengganti layar ponselnya dan menunjukkan video yang lebih mengejutkan. Itu adalah suara yang direkam oleh Jessica di ponselnya, meskipun sebagian suaranya terdengar berisik. Dalam rekaman itu, terdengar jelas bagaimana Ivan berteriak dan memaki Jessica dengan keras, hingga terdengar suara barang pecah yang terjatuh ke lantai dan erangan kesakitan Jessica sebelum akhirnya suara itu berhenti.

Ivan mendengarkan rekaman itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya mulai gemetar, namun ia berusaha keras mempertahankan wajah datar dan tampak tidak bersalah. “Itu… itu hanya kecelakaan kecil!” katanya, suaranya terdengar gemetar, berusaha meyakinkan dirinya lebih dari siapa pun.

Rini tidak menunjukkan reaksi apapun, dia hanya menatap Ivan dengan tatapan datar, seolah sudah cukup mendengar kebohongan. "Kecelakaan kecil, Ivan?" ucap Rini dengan suara yang tenang, namun penuh makna. "Apakah menurutmu, kecelakaan kecil bisa menyebabkan seseorang tewas? Katakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Rini

Ivan membuka mulutnya, mencoba lagi mencari pembelaan, "Saya tidak melakukan apa-apa…"

Dedi yang sudah mulai kesal dengan penundaan, memotong perkataan Ivan, "Oh, jadi sekarang kamu bermaksud apa, Ivan? Mengatakan bahwa Jessica secara kebetulan terjatuh dan kepalanya membentur meja? Atau itu cuma efek dari gravitasi yang tiba-tiba bekerja dengan cara yang aneh?"

Rini menambahkan, “Kamu masih terus berusaha mengelak, padahal semua bukti ada di depan mata. Kamu bukan hanya mendorongnya, Ivan. Kamu melakukannya dengan sengaja. Dan kamu tahu betul itu.”

Ivan masih berusaha mempertahankan klaimnya, “Tapi saya… saya tidak melakukannya.”

Dedi tertawa sinis, “Ah, benar sekali, nggak melakukannya. Bukti rekaman ini sudah jelas kalau kamu sengaja melukai Jessica, Ivan. Dan sekarang, kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan.”

Rini menatap Ivan, lalu perlahan-lahan menutup layar ponsel dan berkata dengan tegas, “Kecelakaan kecil atau tidak, sekarang kamu punya kesempatan terakhir untuk jujur. Katakan yang sebenarnya, atau kita akan mengungkap semuanya di pengadilan.”

Ivan menghela napas berat, seolah mengetahui bahwa ia tidak bisa lagi menghindar. Namun, entah mengapa, ia tetap saja ingin mempertahankan kebohongannya.

Di dalam ruangan itu, ketegangan semakin terasa, dan meskipun canda dan tawa sudah hilang, suasana tetap terasa seperti sebuah pertarungan antara kebenaran dan kebohongan yang semakin memburuk bagi Ivan.

...****************...

Ketegangan semakin mengental di dalam ruang interogasi. Ivan, yang sudah berada di ujung kesabarannya, terus-menerus mengelak meskipun bukti-bukti telah terungkap di hadapannya. Rini yang sudah cukup sabar, mulai kehilangan kontrol atas emosinya. Sebuah rekaman yang jelas, bukti CCTV yang menunjukkan kedatangan Ivan, dan pengakuan dari saksi mata para tetangga yang mendengar keributan, namun Ivan masih berusaha menyelamatkan diri dengan kebohongan.

“Jangan buang waktu kami, Ivan,” kata Rini, suaranya penuh tekanan. “Kamu sudah melihat bukti-bukti itu. Berhenti mengelak.”

Tapi Ivan tetap saja berusaha keras mempertahankan posisinya. “Saya tidak melakukannya! Jessica yang terjatuh dengan sendirinya!” jawabnya, masih terbata-bata. Ekspresinya mulai tampak frustasi, seperti seseorang yang terjebak dalam kebohongan yang tak bisa ditahan lagi.

Saat itulah, pengacara Ivan yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. Dengan nada yang penuh percaya diri, ia berdiri dan mengalihkan perhatian ke Rini. “Maaf, tapi saya rasa interogasi ini harus dihentikan. Klien saya sedang mengalami gejolak emosi yang cukup serius. Kami mengusulkan agar interogasi ini dihentikan demi kesehatan mentalnya.”

Rini menatap pengacara Ivan dengan tatapan yang penuh amarah. “Gejolak emosi? Lalu bagaimana dengan Jessica yang sudah tidak bisa merasakan apapun lagi? Apakah dia juga mengalami ‘gejolak emosi’?” Suaranya semakin tegang, menyindir pengacara itu dengan tajam.

Pengacara Ivan mencoba menyudutkan dengan argumen klise, namun Rini tetap tidak tergoyahkan. “Saya tahu tugas anda sebagai pengacara adalah untuk membela klien anda, tapi setidaknya gunakan hati nurani anda”

Sebelum situasi semakin memanas, terdengar ketukan di pintu yang mengalihkan perhatian semua orang di ruangan itu. Rahmat, yang baru saja masuk, berdiri di ambang pintu dan memberikan isyarat kepada Rini.

“Interogasi bisa diakhiri sekarang, Rini,” kata Rahmat, dengan nada yang tegas. Wajahnya menunjukkan bahwa dia sudah mendengar cukup banyak dari proses ini, dan saatnya untuk membawa Ivan ke tahap selanjutnya.

Rini menghela napas, mencoba menenangkan diri sejenak. Dia menatap Ivan, kemudian beralih ke pengacara yang masih sibuk mencari alasan untuk melindungi kliennya. “Kamu benar-benar yakin masih ingin melanjutkan ini?” tanya Rini, matanya tajam menatap pengacara itu.

Namun, sebelum ada yang menjawab, Rini akhirnya berdiri dan berkata, “Sudah cukup. Kita akan membawa kasus ini ke langkah selanjutnya. Apa yang sudah terjadi, tetap akan terjadi. Kalian bisa berhenti mencari alasan, karena bukti sudah cukup jelas.”

Dengan kata-kata itu, Rini keluar dari ruangan interogasi, diikuti oleh Rahmat dan timnya. Ivan tetap duduk di kursinya, tak mampu berkata apa-apa. Pengacara Ivan hanya menghela napas, seolah menyadari bahwa permainan ini sudah berakhir.

Namun, meskipun begitu, di dalam dirinya masih ada secercah harapan bahwa semua ini mungkin belum selesai. Tapi bagi Rini, semuanya sudah cukup jelas: Keadilan harus ditegakkan, apapun yang terjadi.

...****************...

Di ruang interogasi yang kini terasa hampa, hanya ada Ivan dan pengacaranya yang masih duduk dalam ketegangan. Ivan menundukkan kepalanya, pikirannya menggelinding dengan cepat, seolah mencari jalan keluar dari segala yang telah terjadi. Dia merasakan beratnya situasi ini, dan semakin tertekan oleh bukti-bukti yang semakin menjeratnya.

Pengacara Ivan, yang sejak awal terlihat tenang, akhirnya membuka suara dengan nada yang lebih serius. “Ivan, saya akan mengajukan evaluasi mental untuk kamu,” katanya sambil menatap kliennya dengan penuh perhatian. “Jika kondisi mental kamu terbukti tidak stabil, kita bisa menghindari hukuman penjara yang berat.”

Ivan mengangkat wajahnya, matanya yang suram mulai menunjukkan sedikit harapan. “Apa maksudmu dengan evaluasi mental?” tanyanya, suara terdengar sedikit cemas.

Pengacara itu menatapnya dengan serius, jelas ia sudah memikirkan langkah ini matang-matang. “Kita akan meminta rumah sakit jiwa untuk melakukan penilaian. Jika mereka menyatakan bahwa kamu dalam kondisi mental yang tidak stabil, kamu bisa dibebaskan dari hukuman berat. Alih-alih penjara, kamu bisa menjalani perawatan medis atau bahkan dimasukkan ke rumah sakit jiwa.”

Ivan menggigit bibirnya, matanya kini mulai berkaca-kaca. Dia jelas sangat takut menghadapi kenyataan jika akhirnya dipenjara selama bertahun-tahun. Pengacara itu melanjutkan, “Jika kita kalah dan kamu dinyatakan bersalah tanpa alasan kuat, hukumanmu bisa berkisar antara 15 tahun penjara hingga seumur hidup. Itu adalah harga yang sangat tinggi, Ivan.”

Ivan menunduk kembali, tenggelam dalam pikirannya. Di satu sisi, pengacara itu memberi harapan baginya untuk lolos dari hukuman berat, namun di sisi lain, rasa bersalah mulai menghimpitnya. Dia tahu betul apa yang telah ia lakukan pada Jessica, dan meski ia berusaha mencari cara untuk melarikan diri dari kenyataan, rasa bersalah itu tak bisa dihindari.

Suasana dalam ruangan itu semakin tegang, diiringi dengan bunyi detak jam yang terdengar begitu jelas. Pengacara Ivan menyadari ketegangan itu dan mencoba menawarkan kata-kata yang menenangkan. “Saya hanya mencoba membantu kamu, Ivan. Jika kamu ingin menghindari penjara, ini adalah cara terbaik. Tetapi keputusan ada di tanganmu.”

Ivan terdiam sejenak, hatinya terbelah antara rasa takut dan rasa bersalah. Begitu banyak yang telah dia lakukan, dan meskipun dia masih berusaha mencari jalan keluar, dia tahu bahwa ini bukan hanya soal dirinya—ini juga tentang keadilan untuk Jessica.

Di luar ruangan, suasana semakin mencekam. Keputusan Ivan akan menentukan langkah selanjutnya.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!