Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13
Kekacauan masih berkecamuk di dalam markas Dante. Ledakan yang mengguncang ruangan sebelumnya telah menghancurkan sebagian besar dinding, menciptakan kepulan debu dan serpihan beton yang beterbangan di udara. Cahaya lampu yang berkedip-kedip menambah kesan suram dalam situasi yang sudah berantakan. Suara langkah kaki bergema di lorong, menunjukkan bahwa para penyerang masih bergerak di sekitar bangunan, mencari target mereka.
Amina terengah-engah. Napasnya pendek dan cepat, paru-parunya terasa terbakar oleh debu dan asap mesiu. Bahunya berdenyut nyeri, mengingatkan bahwa ia sempat dihantam keras saat mencoba menghindari ledakan tadi. Namun, dia tidak bisa berhenti sekarang. Tidak ketika kesempatan melarikan diri terbuka lebar di tengah kekacauan ini.
“Fokus, Amina… Fokus,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan gemetar di jemarinya.
Dari sudut matanya, dia melihat Dante masih berdiri tegak di antara reruntuhan. Wajahnya tetap dingin, seolah tidak peduli bahwa markasnya sedang dihancurkan. Mata tajam pria itu menatap Amina sekilas, sebelum kembali mengamati situasi di sekelilingnya.
“Kau mau menunggu sampai mereka menangkapmu, atau…?” suara Dante tenang, nyaris santai.
Amina mendesis, tahu betul pria itu hanya ingin melihat reaksinya. “Aku tidak perlu nasihat darimu.”
Dia bergerak cepat menuju koridor yang tampaknya kurang dijaga. Suara tembakan dan benturan keras terdengar dari berbagai arah, menandakan bahwa pertempuran masih berlangsung. Adrenalin yang mengalir deras membuat tubuhnya bergerak tanpa berpikir panjang. Jika dia bisa mencapai pintu keluar belakang—
“Amina, merunduk!”
Sebuah tembakan melesat nyaris mengenai kepalanya. Amina langsung menjatuhkan diri ke lantai, berguling ke samping sebelum berdiri lagi dengan cepat. Dadanya naik turun, jantungnya berpacu. Dante sudah menghilang, tentu saja. Pria itu hanya peduli pada dirinya sendiri.
Dengan langkah hati-hati, Amina menyelinap keluar melalui pintu samping yang sebagian terbuka. Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk, kontras dengan panas dan kekacauan di dalam. Lampu jalanan berkelip samar, dan suara sirene jauh terdengar mendekat.
“Kau tidak akan lolos begitu saja.”
Amina menoleh tajam. Dari balik bayangan bangunan, seorang pria bertubuh besar melangkah mendekat. Wajahnya tertutup sebagian oleh masker hitam, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang menatapnya dengan penuh ancaman.
“Aku sudah meloloskan diri sejauh ini. Kenapa berhenti sekarang?” jawab Amina, suaranya tenang, tapi otaknya bekerja keras mencari celah untuk kabur.
Pria itu menggeram. “Dante mungkin membiarkanmu pergi, tapi aku tidak sebaik itu.”
Amina tidak menunggu. Dia berputar, menendang lutut pria itu sekuat tenaga. Pria itu mengumpat, tapi tangannya masih sempat mencengkeram pergelangan Amina. Dengan satu tarikan kuat, dia hampir menyeret Amina kembali ke dalam bayangan.
Amina mengangkat lututnya, menghantam perut pria itu. Cengkramannya melemah sejenak, cukup waktu bagi Amina untuk menarik pisaunya dan menekannya ke leher pria itu.
“Lepaskan aku, atau kita lihat siapa yang lebih cepat,” bisiknya.
Pria itu terdiam. Mata mereka bertemu dalam ketegangan singkat sebelum dia akhirnya mengendurkan cengkeramannya. Tanpa membuang waktu, Amina berlari ke gang sempit, meninggalkan pria itu terbatuk di belakangnya.
Dia terus berlari. Melewati lorong-lorong kota, menembus bayangan gelap gedung-gedung tinggi, sampai akhirnya dia mencapai kawasan elit yang kontras dengan tempat sebelumnya.
Lampu-lampu mewah menerangi trotoar yang bersih, mobil-mobil mahal berjejer di sepanjang jalan, dan orang-orang berpakaian rapi berjalan santai, seolah dunia di luar sana tidak sedang dilanda kekacauan.
Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan megah dengan arsitektur modern: Galeri Seni Felix D’Alembert.
Amina menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia datang ke sini bukan tanpa alasan. Felix bukan hanya seniman eksentrik, tapi juga seseorang yang memiliki jaringan luas di dunia bawah tanah.
Amina melangkah masuk ke dalam galeri, udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dibandingkan dengan jalanan di luar. Lampu-lampu kristal bergelayut di langit-langit, memancarkan cahaya temaram yang menyoroti lukisan-lukisan surreal di dinding. Warna-warna gelap mendominasi kanvas, menciptakan nuansa misterius—seakan ada rahasia yang terkubur di balik setiap sapuan kuas.
Dia menarik napas dalam, matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok yang sudah lama ia incar. Musik klasik mengalun pelan di latar belakang, menciptakan atmosfer eksklusif di antara para tamu yang berbincang dengan suara rendah, sesekali tertawa kecil sambil menyesap anggur.
Felix D’Alembert.
Amina menemukannya di sudut ruangan, berdiri dengan anggun di depan sebuah lukisan besar yang menggambarkan seseorang dengan wajah setengah tertutup bayangan. Rambut peraknya tertata rapi, jas hitamnya sempurna tanpa satu pun kerutan, dan syal sutra merah melingkar di lehernya memberikan kontras yang mencolok. Tangannya menggenggam gelas anggur, sementara mata tajamnya melirik Amina dengan penuh perhatian.
"Detektif Amina," sapanya dengan suara rendah dan sedikit bergema di ruangan yang luas itu. "Kehadiranmu di sini adalah kejutan yang menyenangkan."
Amina menyipitkan mata, membaca bahasa tubuh Felix dengan hati-hati. "Kalau begitu, kau pasti sudah tahu alasan aku datang ke sini."
Felix tersenyum tipis, menyesap anggurnya dengan santai. "Aku selalu tahu lebih banyak daripada yang seharusnya."
Amina melangkah lebih dekat, menyejajarkan dirinya dengan Felix di depan lukisan itu. "Aku butuh informasi," katanya tanpa basa-basi.
Felix tertawa kecil, lalu menoleh padanya. "Tentu saja. Tapi kau tahu, Amina, aku bukan seseorang yang memberikan sesuatu tanpa imbalan."
Amina sudah menduganya. Pria ini bukan hanya seorang seniman eksentrik, tetapi juga pemain ulung dalam dunia informasi bawah tanah. Jika dia memiliki sesuatu yang Amina butuhkan, itu berarti dia menginginkan sesuatu sebagai gantinya.
Felix meletakkan gelas anggurnya di atas meja marmer di sampingnya, lalu berbalik dan melangkah menuju sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sebuah papan catur kayu yang dipahat dengan indah sudah tersusun rapi. Bentuk bidaknya unik, seperti karakter-karakter dari legenda kuno.
Amina menghela napas dalam hati. Tentu saja, pria ini akan menguji kecerdasannya dulu sebelum memberikan apa yang ia butuhkan.
"Kau ingin bermain?" tanya Felix sambil menarik kursinya.
Amina menatapnya sejenak, lalu dengan gerakan tenang, ia duduk di seberangnya. "Kalau ini cara untuk mendapatkan jawaban, maka aku akan bermain."
Felix tersenyum puas. "Bagus. Tapi ingat, ini bukan hanya permainan catur biasa. Setiap langkah memiliki konsekuensi."
Amina mengangkat alis. "Terdengar seperti hidup."
Felix tertawa pelan. "Memang. Dan dalam hidup, hanya mereka yang bisa membaca gerakan lawan yang akan bertahan."
Permainan dimulai.
Felix menggerakkan pionnya lebih dulu, ekspresinya tetap tenang. Amina mempelajari papan catur itu sejenak sebelum membuat langkah pertamanya.
"Apa yang kau cari, Amina?" tanya Felix, suaranya ringan tetapi jelas penuh makna.
"Apa kau benar-benar tidak tahu?" balas Amina, sambil menggerakkan bentengnya.
Felix tersenyum kecil. "Aku hanya ingin mendengar langsung darimu."
Amina menatapnya dengan tajam. "Aku mencari nama seseorang. Seseorang yang mungkin bersembunyi di balik semua kekacauan ini."
Felix mengetuk dagunya, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Dan apa yang membuatmu yakin bahwa aku tahu siapa yang kau cari?"
"Kau selalu tahu," kata Amina, "dan aku tahu bahwa orang-orang di dunia ini tidak bisa menyembunyikan rahasia darimu."
Felix tertawa kecil, lalu menggerakkan ratu catur dengan gerakan licik yang membuat Amina sedikit mengernyit. "Kau terlalu memujiku."
Amina memperhatikan papan dengan cermat, mencari cara untuk membalas langkah Felix. Ia bisa merasakan permainan ini bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang membaca pikiran lawannya.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.