Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Camping Di Luar Kota?
Aby kembali ke kamar setelah sepupunya berpamitan untuk pulang. Sementara Embun sudah ke kamar lebih dulu beberapa menit lalu. Baru saja Aby membuka pintu, sudah terlihat Embun sedang berdiri di depan lemari sambil merapikan pakaian-pakaian Aby yang berantakan.
Tidak hanya di dunia nyata, di dunia novel pun lemari pakaian suami pasti berantakan. ^_^
Aby memilih menjatuhkan tubuhnya di sofa. Merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Mengabaikan beberapa pemberitahuan panggilan tak terjawab dan juga pesan masuk, lalu memilih membuka aplikasi game online.
Embun melirik suaminya setelah menyelesaikan pekerjaan. Sekarang lemari pakaian suaminya sudah terlihat sangat rapi. Wanita itu merapatkan pintu lemari, lalu duduk di tepi tempat tidur dalam posisi berhadapan dengan suaminya.
Aby terlihat sangat serius dengan game online.
"Akhir pekan ini aku ada kegiatan di luar kampus," kata Embun. Bermaksud meminta izin kepada suaminya.
Perhatian Aby sekilas teralihkan kepada Embun, tetapi kedua jari jempolnya masih bermain di layar ponsel.
"Kegiatan apa?"
"Camping."
Kedua alis Aby terangkat. Ia melayangkan tatapan penuh tanya kepada istrinya. "Camping dimana?"
"Di Sukamantri."
Pikiran Aby langsung terbang ke sebuah tempat yang baru saja disebutkan Embun. Sebuah objek wisata yang cukup terkenal dengan keindahan alamnya. Lokasinya pun terbilang tak begitu jauh dari kota mereka. Jika perjalanan lancar, bisa ditempuh dalam dua jam saja.
"Tapi di sana itu dingin, Embun." Aby memperingatkan. Dirinya pun pernah melakukan kegiatan serupa di tempat tersebut beberapa tahun lalu saat masih kuliah. Ia tahu betul cuaca di sana.
"Memang ada daerah pegunungan yang nggak dingin?"
"Maksud aku ... di sana siapa yang jagain kamu?"
Embun terkekeh mendengar jawaban Aby yang baginya cukup menggelikan. Jangankan menjaga raganya, menjaga perasaannya sebagai istri pun tidak Aby jalankan.
"Kenapa kamu harus khawatir ada yang jaga aku atau nggak? Kamu suamiku yang memiliki hak sepenuhnya atas diriku, tapi kamu sama sekali nggak menjaga aku."
Kalimat frontal itu berhasil membungkam Aby. Ia meraba tengkuknya yang terasa meremang. Embun tidak pernah segan untuk mengeluarkan sindiran pedas terhadapnya.
"Lagi pula aku nggak sendirian di sana. Ada banyak teman-teman lain," sambungnya.
Hati Aby mencelos. Ia mengangguk pasrah. "Oh, ya udah nggak apa-apa. Tapi kamu harus hati-hati. Di sana banyak jurang."
"Hem ...."
Menarik napas dalam, Aby menatap Embun yang kini beranjak dan membuka lemari pakaian, lalu mengeluarkan piyama dress dan masuk ke kamar mandi. Sementara Aby kembali terfokus dengan game online.
Beberapa menit kemudian, Embun keluar dari kamar mandi dengan piyama dress berbahan sutera. Aby melirik dengan ujung mata. Pakaian dengan panjang setengah paha itu menampilkan bentuk tubuh Embun yang menggoda.
Wanita itu duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan wajah. Rambutnya dicepol tinggi hingga menampilkan leher indah dan punggungnya yang terbalut kulit putih bersih.
Aby menelan ludah.
Betapa keindahan yang tersaji di depan mata meruntuhkan benteng kokoh yang ia bangun dengan susah payah. Sebisa mungkin, pria itu menghilangkan pikiran liar dan memilih bersikap santai. Kemudian kembali terfokus dengan layar ponsel.
Namun, tak berlangsung lama.
Bagai memiliki magnet berdaya tarik tinggi, sorot mata Aby kembali tertuju kepada istrinya yang kini tengah menyisir rambut panjangnya yang hitam dan lurus. Aroma lembut yang berasal dari parfum yang baru saja disemprotkan Embun ke bagian leher membuat Aby kalang kabut.
"Megalodon nggak tahu diri nih. Malah bangun!"
Ritual menjelang tidur pun selesai. Embun meninggalkan meja rias dan naik ke tempat tidur. Membalut setengah tubuhnya dengan selimut dan berbaring membelakangi sang suami.
Jari jempol Aby masih bergerak di layar ponsel, tetapi pandangannya tak dapat teralihkan dari punggung istrinya.
"Ya ampun, halal tapi nggak bisa dimakan."
.
.
.
Pagi ini Aby berangkat lebih awal karena akan ada rapat pagi. Selain itu ia tidak perlu repot mengantar Embun ataupun Vania pagi ini, sehingga mempersingkat waktu untuk tiba di kantor.
Aby mempercepat langkahnya menuju sebuah ruangan bersama rekan-rekannya yang lain. Di ruang rapat sudah ada Dewa yang duduk di kursi terdepan. Dewa baru beberapa hari lalu diangkat menjadi kepala divisi produksi.
"Selamat pagi, semua," sapa Dewa dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Pak!"
Dewa sudah berdiri dengan gagah di depan semua rekannya, termasuk Aby. Rapat pagi itu dimulai oleh Dewa dengan memukau. Ia adalah seseorang yang sangat kreatif dan cerdas. Selain itu Dewa selalu tampak luar biasa tak hanya di mata rekan kerjanya yang lain, tetapi juga di mata atasannya.
"Saya mau semua laporan untuk proses produksi diselesaikan tepat waktu sebelum akhir pekan ini. Jadi harap kerjasamanya," kata Dewa.
"Baik, Pak!" sahut beberapa orang.
"Selain itu, saya akan bagi menjadi beberapa tim untuk mengawasi jalannya proses produksi dan memeriksa mutu bahan utama yang digunakan. Jadi tugas akan dibagi rata."
Semua mengangguk setuju. Tak terkecuali Aby.
Rapat pagi itu berlangsung selama dua jam. Aby segera meninggalkan ruang rapat setelah selesai. Pagi ini ia kurang berkonsentrasi. Karena pikirannya terus tertuju kepada Embun yang akan berkemah di luar kota.
Baru akan memasuki lift, Aby sudah merasakan vibrasi ponsel dalam saku celana. Pria itu dengan cepat mengeluarkan benda pipih itu. Ia menghela napas panjang setelah melihat nama yang tertera pada layar ponsel.
"Ada apa, Van? Aku kan sudah bilang jangan telepon di jam kantor."
"Iya, aku tahu. Tapi ini penting," ujarnya. "Kamu ada waktu sore ini, nggak?"
"Memang kenapa?" tanya Aby.
"Aku mau camping akhir pekan ini."
Dahi Aby berkerut tipis. Ia tak menyangka bahwa Vania juga akan ikut dalam kegiatan tersebut. Sebab setahunya, Vania tidak begitu menyukai kegiatan di alam terbuka.
"Kamu ikut juga?"
"Iya. Kamu temani aku belanja keperluan, ya?" ajak Vania dengan manja.
"Astaga, Van! Kamu cuma keluar daerah, bukan keluar negeri. Lagi pula sejak kapan kamu tertarik dengan kegiatan alam."
"Aku tahu, tapi kan aku perlu belanja baju dan sepatu. Di sana itu dingin."
Aby menghela napas panjang. "Maaf, Van. Aku nggak bisa. Lagi sibuk. Sudah ya."
Tanpa menunggu jawaban Vania, Aby memutus panggilan dan mematikan ponsel. Ia bersandar sejenak. Tiba-tiba, memikirkan istrinya.
"Bagaimana kalau nanti Vania membuat masalah sama Embun di perkemahan? Aku harus mencegah Embun pergi. Tapi alasan apa?"
****
Siang hari di jam istirahat, Aby dan seorang teman menghabiskan waktu dengan makan siang di sebuah kafe tepat di samping kantor.
Di meja lain juga tampak Dewa bersama seorang rekan wanitanya.
"Kenapa sih buru-buru? Bukannya waktu kita masih longgar sampai minggu depan, ya?" tanya wanita bernama Tiara itu.
"Memang sih, tapi akhir pekan ini aku ada kegiatan di luar kantor. Jadi sebelum pergi aku harus memastikan semuanya beres."
"Kegiatan apa, sih?" tanya wanita itu penasaran. Sebab, setahunya Dewa adalah tipe orang yang tidak akan meninggalkan pekerjaan untuk urusan tidak begitu penting.
"Camping di luar kota."
Aby yang berada tak jauh dari Dewa mengerutkan kening. Tatapannya penuh selidik.
***
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭