Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14 - Ujian Pertama untuk Nama Berikutnya: Simulasi Deteksi Jebakan
Aku belum pernah merasa segugup ini sejak pertama kali terbangun di tubuh Arlan. Bukan karena ancaman, bukan karena tekanan… tapi karena antusiasme yang nyaris membakar dadaku.
Hari ini, aku akan menguji para ksatria terbaik kerajaan.
Tujuannya? Bukan untuk memilih yang paling kuat. Tapi untuk melihat siapa yang bisa berpikir seperti petarung sejati.
Dan ya… aku punya agenda tersembunyi. Karena aku tak hanya ingin mereka jadi pelindung. Aku butuh lebih dari itu. Aku butuh pion dan raja dalam papan strategi besar yang akan kugerakkan diam-diam dari balik bayang-bayang.
Saat aku digiring ke halaman pelatihan dengan kursi roda oleh Lyra, mata para ksatria langsung tertuju padaku.
Sepuluh orang berdiri tegak membentuk dua baris. Beberapa kulihat dengan wajah serius, beberapa dengan rasa ingin tahu. Dan… salah satunya…
Sir Kaela.
Dari cerita Lyra, dia adalah “ksatria petir” yang dulu pernah membelah pintu kamar Arlan—hanya karena Arlan kecil tidak membuka pintu saat dipanggil. Sebuah momen yang membuat trauma kecil bagi sang pangeran.
Kata Lyra, "Tebasan Sir Kaela waktu itu sampai bikin pelayan lari terbirit-birit. Kau tahu? Pintu kamarmu terbelah dua dan kau menjerit seperti anak burung!"
Aku belum tahu pasti apakah itu dilebih-lebihkan, tapi melihat postur wanita berambut perak itu… tubuh tinggi besar dengan mata tajam dan sarung pedang besar di punggungnya… aku sedikit percaya.
Kaela berdiri tegap, dengan aura keyakinan mutlak—seolah dia tahu bahwa tempat di sisiku sudah pasti miliknya.
Namun langkahku sempat terhenti.
Tepat di luar pagar halaman pelatihan, seorang anak muda berdiri. Pakaiannya lusuh, sedikit kotor, dan sepatu tuanya tampak hampir lepas sol. Tapi matanya… menatap para ksatria dengan cahaya yang familiar.
Cahaya yang hanya dimiliki seseorang yang sangat ingin tahu cara menjadi kuat.
Aku tak tahu kenapa, tapi aku memberi isyarat pada Lyra untuk berhenti sejenak.
“Siapa anak itu?” bisikku.
Lyra menyipitkan mata. “Oh, itu… namanya Aldein. Anak dari abdi istana bagian arsip. Ayahnya terkenal jujur dan sangat sederhana. Tapi karena mereka bukan bangsawan kaya, si anak selalu gagal masuk akademi.”
“Kenapa gagal?”
“Tes fisik. Katanya tubuhnya terlalu ringan, kekuatan pukulan di bawah standar.”
Aku mengangguk pelan. Lalu menatap Aldein… dan saat itu aku melihatnya.
Sebuah aura biru keperakan yang berpendar lembut, mendominasi seluruh tubuhnya, dengan kilatan emas samar yang mengalir seperti angin di sela-sela.
Bukan kekuatan fisik. Tapi kelincahan, kecepatan berpikir, dan… potensi luar biasa sebagai ahli strategi.
Aku memberi isyarat pada penjaga. “Bawa anak itu ke sini.”
Reaksi Lyra? Tentu saja syok.
“Eh?! Tuan Muda mau apa?! Dia bahkan nggak punya sepatu layak!”
“Tepat. Itu justru menarik.”
Arena Pelatihan – Ujian Pertama: Simulasi Deteksi Jebakan
“Ujian pertama,” ucapku sambil menatap para peserta. “Adalah simulasi pemindai jebakan.”
“Bukan pertarungan?” Sir Kaela angkat alis. Suaranya berat dan dalam. “Apakah ini semacam... ujian anak-anak?”
Aku hanya tersenyum. “Jika kau menganggap perang itu hanya adu otot, maka mungkin kau lebih cocok menjadi penjaga gerbang.”
Kaela memincingkan mata. Tapi tak menjawab. Aku lanjut bicara.
“Di ruang bawah tanah istana, ada lorong kuno bekas jalur pelarian. Di sanalah ujian kalian berlangsung. Sepanjang lorong itu, telah kami tempatkan ilusi jebakan. Siapa pun yang mengaktifkan jebakan ilusi… dianggap gagal.”
“Apa jebakan itu menyakitkan?” tanya salah satu ksatria wanita.
“Tidak. Tapi cukup untuk mempermalukanmu,” jawab Seraphine santai sambil nyengir.
Aku melirik ke Aldein. Dia berdiri paling ujung. Masih canggung dengan pakaian pinjaman dan perban kecil di lututnya.
Tapi matanya… menyala.
“Baik. Mulai dari sekarang. Masuki lorong satu per satu. Waktu maksimal: 10 menit.”
Ujian Dimulai
Tiga orang pertama langsung gagal. Mereka terlalu percaya diri. Langkah cepat, analisis minim. Satu menginjak lantai palsu, satu menyentuh dinding yang memicu semprotan tinta hitam, dan satu lagi malah berlari lurus… menabrak patung penjaga ilusi dan terpental mundur.
“Berisik banget…” gumam Lyra sambil mencatat hasil.
Kaela masuk keempat. Ia berjalan lambat, mata tajam seperti elang. Tapi sikapnya terlalu frontal. Ia menebas setiap potongan kabel ilusi dan patung di depan, menganggap semuanya jebakan.
“Dia terlalu agresif,” komentar Seraphine. “Kalau ini sungguhan, dia akan kehabisan energi sebelum mencapai ujung.”
Aku mengangguk. “Dan sudah dua ilusi jebakan yang dia aktifkan karena kurang sabar.”
Saat giliran Aldein tiba… semuanya menahan napas.
Anak itu masuk tanpa berkata apa-apa. Tapi sejak langkah pertama… dia mencengangkan kami.
Alih-alih langsung berjalan… dia berhenti.
Mengetuk dinding. Menyentuh lantai dengan ujung sepatunya. Mencium aroma udara.
Ia bahkan mengikat potongan kain ke tangan kirinya—sebagai penanda arah dan tekanan angin.
Lalu ia mulai bergerak. Setiap belokan ia periksa dengan mendekatkan telinganya ke tanah. Setiap patung diperiksa dengan membandingkan bayangan cahaya di dinding. Ia tidak menghindari jebakan. Dia mengidentifikasi dan mengakali setiap jebakan, lalu memanfaatkannya untuk menandai jalur.
Satu jebakan yang mengeluarkan kabut, ia manfaatkan untuk mengelabui patung sensor berikutnya.
Satu jebakan pemantul cahaya, ia aktifkan secara sengaja untuk membingungkan detektor sihir di ujung lorong.
10 menit?
Dia keluar di menit ke-8. Tanpa satu pun jebakan aktif terkena dirinya.
Seluruh lapangan hening.
Aku berdiri—dan tersenyum.
“Selamat. Untuk sekarang, Aldein berada di peringkat pertama.”
“APA?!”
Sir Kaela hampir terjungkal dari tempatnya. “Anak jalanan itu…?!”
Elric hanya menunduk sopan. “Terima kasih, Yang Mulia.”
Matanya tenang, tapi aku bisa merasakan percikan kecil kebanggaan di sana.
Satu permata ditemukan.
Dan aku yakin… ini baru permulaan.