Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Episode 1

Langit Paris senja itu berpendar oranye keemasan, menandakan berakhirnya hari yang panjang. Amina De La Croix, seorang detektif swasta dengan mata tajam dan sikap tenang, melangkah keluar dari kantor kecilnya di Rue de Rivoli. Kantor yang sederhana, dengan dinding penuh peta kuno dan foto-foto kasus yang sudah lama terlupakan. Meja kerjanya hanya berisi tumpukan buku tebal, sebuah lampu meja yang sudah usang, dan secangkir kopi setengah penuh yang tampak tak tersentuh.

"Kasus pencurian ini terlalu mudah," gumamnya pada dirinya sendiri, melangkah menuju pintu dengan langkah pasti. "Pemilik butik itu bahkan tak tahu kalau aku sudah mengendus pola transaksi palsu di akun banknya. Kadang aku merasa seperti bisa membaca pikiran orang."

Namun, kebanggaannya tak bertahan lama. Amina menghirup udara malam yang segar, aroma hujan yang masih tersisa di jalanan berbatu menggelitik hidungnya. Meskipun kota ini penuh keramaian, dengan lampu-lampu jalanan yang berkilauan dan kafe-kafe yang tak pernah sepi, Amina tahu betul bahwa kedamaian yang baru ia nikmati ini takkan bertahan lama. Ia sudah terbiasa dengan keheningan yang hanya menunggu ledakan berikutnya.

"Apa yang berikutnya, ya?" pikirnya, menatap langit yang mulai gelap. "Kadang aku merasa terlalu banyak misteri, terlalu banyak rahasia yang harus dibuka."

Langkahnya berhenti sejenak di pinggir jalan, matanya tertarik pada sebuah kelompok pengamen yang sedang memainkan alat musik mereka di depan kafe. Mereka tampak seolah tidak peduli dengan dunia di sekitar mereka, namun Amina bisa merasakan getaran kecemasan yang tersembunyi di balik tawa mereka.

Tiba-tiba, suara sirene memecah kesunyian malam, membuat Amina terperanjat. Sebuah truk polisi lewat dengan kecepatan tinggi, diikuti oleh mobil-mobil lain yang menyalakan lampu darurat. Instingnya yang tajam langsung bekerja. Ada sesuatu yang besar terjadi. Ia menghela napas dan berbalik, melangkah menuju jalan lain yang mengarah ke pusat kota.

Di sudut lain Paris, jauh dari hiruk-pikuk kota, sebuah tragedi baru saja terjadi. Kamar suite hotel mewah itu sepi, kecuali darah yang membekas di seprai putih, membentuk pola yang menyeramkan di bawah lampu temaram. Seorang pria terbaring kaku di atas ranjang, tubuhnya penuh luka, seperti baru saja disiksa dengan cara yang tak biasa. Setiap sayatan di tubuhnya tampak terencana, penuh kehati-hatian. Ini bukan pembunuhan biasa. Inspektur lokal, yang dengan cepat tiba di lokasi, memandang mayat itu dengan ekspresi serius.

“Ini bukan kerja tangan amatir,” katanya pelan, memandangi luka-luka itu yang membentuk pola aneh. "Siapa pun yang melakukannya, dia tahu apa yang dia lakukan."

Polisi berlarian di sekitar kamar, mengambil foto, mencatat bukti, namun Inspektur Merle, pemimpin penyelidikan, tetap diam sejenak, menatap tubuh korban dengan tatapan kosong yang penuh pertanyaan. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Ini bukan kebetulan," bisiknya dalam hati. “Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini.”

Beberapa jam kemudian, Amina duduk di meja dapurnya, menyeruput teh chamomile hangat. Pikirannya masih terjaga, mencoba menenangkan gelisah yang datang setelah insiden tadi malam. Berita tentang pembunuhan itu sudah menyebar ke seluruh Paris, dipenuhi spekulasi: balas dendam, persaingan bisnis, atau mungkin sebuah perhitungan lama yang harus diselesaikan. Namun, sesuatu dalam hatinya berkata bahwa ini lebih dari sekadar kejahatan biasa.

“Gila, pembunuhan di hotel mewah itu… Terlalu banyak yang bisa diungkap,” pikirnya, meletakkan cangkir teh ke meja dengan perlahan. “Tapi kenapa aku merasa seperti ada yang menginginkan aku terlibat? Tidak ada kebetulan dalam dunia ini, Amina.”

Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdebar lebih cepat: Inspektur Merle.

“Pagi, Amina,” suara Merle terdengar serak, seolah-olah dia sudah beberapa kali terbangun sebelum menelepon. "Kau masih di Paris?"

“Selalu. Ada apa?” jawab Amina, suaranya santai, meski tahu ini bukan panggilan biasa.

"Ada sesuatu yang kau perlu lihat," ujar Merle, dengan nada yang cukup mendesak. "Pembunuhan kemarin… tidak seperti yang kita kira. Aku ingin kau datang ke hotel itu. Sekarang juga."

Amina menarik napas dalam-dalam, matanya menyipit, menilai setiap kata yang diucapkan Merle. Tentu saja, dia tahu inspektur itu. Penuh perhitungan, namun selalu membuka peluang bagi orang seperti Amina. "Aku tahu sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Aku datang."

Saat Amina tiba di hotel mewah itu, suasana sepi dan dingin menyambutnya. Lampu-lampu neon dari luar memantulkan bayangan gelap di sepanjang lorong hotel. Polisi masih sibuk bekerja di dalam kamar suite. Bau antiseptik yang kuat memenuhi udara.

Di dalam kamar, Amina mendekat pada tubuh korban. Seorang pria, tampak seakan berusia empat puluhan, mengenakan setelan jas mahal. Namun, matanya yang kosong dan lidah yang membeku membuatnya tampak lebih tua dari usianya.

"Ini bukan kebetulan, kan?" tanya Amina, mengarahkan pandangannya pada Merle yang berdiri di sampingnya.

"Tentu saja tidak," jawab Merle, menatap tubuh korban dengan tajam. "Aku yakin ini bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan aku butuh bantuanmu untuk membukanya."

Amina menatap sekitar, matanya meluncur ke setiap sudut ruangan. Pikirannya mulai bekerja, mengumpulkan potongan-potongan yang tersebar. "Kita akan menemukan petunjuk," gumamnya, dan saat itulah ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada bayangan yang bergerak di balik tirai jendela, hanya bisa dilihat oleh sudut mata.

"Merle, perhatikan itu," Amina berbisik, tetapi saat dia menoleh kembali, bayangan itu sudah menghilang.

Ketegangan mencekam ruangan, sementara pikiran Amina terus berputar. Ini lebih dari sekadar sebuah kasus, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap.

Keesokan harinya, kabar tentang pembunuhan itu menyebar seperti api yang membakar rumput kering. Di setiap sudut Paris, dari stasiun metro yang sesak hingga kafe-kafe yang selalu ramai, orang-orang hanya membicarakan satu hal: pembunuhan brutal yang terjadi di sebuah hotel mewah. Amina De La Croix, detektif berhijab yang terbiasa dengan teka-teki gelap, melangkah keluar dari kantornya dengan tenang. Matanya yang tajam mengamati kerumunan yang terpecah-pecah, orang-orang yang tampak tertarik pada berita ini, seolah pembunuhan itu adalah hiburan bagi mereka.

"Selamat pagi, Amina!" sapa seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu di trotoar. "Kau dengar tentang itu?"

Amina mengangguk sambil menyeka tetes hujan yang mulai turun. "Berita yang tak bisa dihindari," jawabnya dengan nada datar, meskipun pikirannya sudah melayang jauh. Dia tahu, ini bukan sekadar gosip pasar. Ada sesuatu yang lebih dalam, dan dia merasa tertarik, meskipun tetap hati-hati.

Saat ia melangkah menuju kantornya yang sederhana, sebuah amplop hitam menunggu di meja kerjanya. Tanpa pengirim. Tanpa nama. Segel berwarna hitam dengan simbol yang tak dikenalnya. Amina meraih surat itu, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Isi surat itu singkat—terlalu singkat.

"Selesaikan ini, atau lebih banyak darah yang akan tertumpah."

Amina meletakkan surat itu di meja, menatapnya lama. Jantungnya berdegup cepat. "Tantangan," pikirnya. Dia sudah terlibat jauh lebih dalam dari yang dia kira.

Tanpa ragu, ia menyusun rencana. "Ini pasti ada hubungannya dengan kasus itu," gumamnya pada diri sendiri, meskipun tidak ada orang di sekitar yang bisa mendengarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!