Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Menolak Permintaan Suami
"Kalau begitu, kamu makan saja. Mas mau ke kamar mandi, badan Mas gerah sekali," ucap Ardian dengan nada datar, seolah-olah kalimat itu adalah hal paling wajar di dunia. Tanpa menunggu balasan, tanpa menoleh lagi, dia langsung berjalan menuju kamar. Langkahnya cepat dan santai, seperti seseorang yang benar-benar tak menyadari ada sesuatu yang sedang pecah pelan-pelan di hadapannya.
Eva. Perempuan cantik itu masih duduk di tempatnya, membatu. Tatapannya kosong, menembus ruang yang kini hanya berisi keheningan. Suara pintu kamar yang tertutup menjadi satu-satunya isyarat bahwa suaminya telah benar-benar pergi dari pandangan—dan entah kenapa, terasa juga seperti menjauh dari hatinya.
Sakit.
Tentu saja.
Sakit itu tidak perlu dijelaskan. Ia hadir seperti kabut—pelan, tapi mencekik.
Tenggorokannya tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia buru-buru memejamkannya. Tidak malam ini. Jangan menangis malam ini, batinnya merintih. Tapi hatinya berkata lain. Hatinya sedang berteriak, meronta, menggedor kesadaran: Malam ini malam apa? Kenapa dia bahkan tidak ingat?
Anniversary. Lima tahun pernikahan. Lima tahun sejak mereka mengucap janji suci di hadapan Tuhan, di hadapan keluarga dan sahabat. Lima tahun sejak ia meyakinkan dirinya bahwa pria itu adalah takdirnya.
Dan malam ini? Tak ada bunga. Atau sekedar ucapan semata. Hanya permintaan maaf saja, itu pun seperti kalimat lumrah pada umumnya. Tak ada kalimat, “Selamat ulang tahun pernikahan, sayang." Bahkan tatapan pun tak ada. Yang ada hanya kalimat biasa, seperti suara air keran, dan pintu yang menutup dingin.
Dia mendongak perlahan, menatap ke langit-langit rumah yang terlalu sunyi.
Apakah dia lupa? Atau… apakah dia memang tak peduli lagi?
Pertanyaan itu menggantung seperti asap di dada Eva—semakin lama semakin pekat.
Dia menarik napas panjang. Ingin marah? Ya. Tapi apakah dia bisa?
Apakah ia harus berontak? Membanting piring? Menyusul suaminya dan menuntut penjelasan? Tapi itu bukan dirinya. Ia bukan perempuan yang hobi bertengkar. Ia bukan wanita yang membesar-besarkan masalah.
Bukankah itu... kekanakan?
Namun kali ini, batinnya berontak sendiri. Lalu sampai kapan aku harus diam?
Selama ini ia selalu sabar. Ia selalu memahami. Selalu memberi ruang. Tapi ruang itu kini terasa seperti jurang, dan dirinya sendiri seperti sedang jatuh perlahan, tanpa pegangan.
Suara dari kamar terdengar samar. Mungkin keran air menyala. Atau mungkin Ardian sedang bercermin, membasuh wajahnya, tanpa tahu bahwa di luar sana, ada seseorang yang sedang kehilangan kepercayaan satu demi satu.
Eva menunduk. Tangannya meremas kain baju di pangkuannya. Dadanya sesak, tapi ia tetap diam. Bahkan malam ini, di hari yang seharusnya menjadi momen paling indah, ia tetap memilih menjadi perempuan yang diam—karena ia tidak tahu, apakah suaranya masih punya arti di hati suaminya.
Eva duduk termenung di meja makan, menatap makanan yang kini sudah dingin. Uap hangat yang tadinya mengepul dari nasi dan lauk-pauk itu sudah lama menghilang, menyisakan aroma samar yang tak lagi menggugah selera. Sendok di tangannya hanya digerakkan perlahan, seolah kehilangan tujuan.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang berat. Ia akhirnya mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, meski tanpa nafsu. Padahal, perut nya terasa perih sejak tadi. Setiap kunyahan terasa hambar, seakan lidahnya tak mampu merasakan apapun. Tak ada suara selain denting halus dari sendok yang menyentuh piring porselen, dan gemericik air dari kamar mandi di ujung lorong. Suaminya masih mandi, seperti biasa, tanpa tahu bahwa Eva telah menunggunya cukup lama.
Selesai makan, Eva membereskan meja dengan gerakan pelan. Asisten rumah tangga nya mendekat, "Biar saya saja yang membersihkan nya, nyonya."
Eva tidak punya tenaga banyak lagi, akhirnya dia mengangguk, "Terimakasih, Bi."
"Sama-sama, Nyonya. Ini sudah menjadi kewajiban saya." sahut Bi Mala
Bibi Mala pun membawa piring tersebut ke dapur. Sedangkan Eva, dia berjalan menuju kamarnya dengan langkah lesu. Saat tiba di dalam kamarnya, matanya tanpa sengaja tertuju pada ponsel suaminya yang tergeletak di sana. Layar menyala karena notifikasi masuk.
Seketika langkah Eva terhenti. Ia menoleh, memastikan suara air di kamar mandi masih terdengar. Hatinya berdebar, bukan karena rasa penasaran semata, tetapi karena firasat yang pelan-pelan muncul dari dalam dadanya.
Satu pesan baru muncul di layar terkunci—nomor itu tidak diberi nama, hanya deretan angka yang asing, tetapi pesannya cukup singkat untuk terbaca jelas: “Makasih yaa, sayang. Baju nya pas banget ke tubuh aku. Aku suka sekali 😍😍 "
Jantung Eva langsung berdegup kencang, seperti baru saja dipukul keras dari dalam. Matanya tak berkedip menatap layar yang masih menyala, memperlihatkan pesan yang terasa seperti tamparan. Kata “sayang” dan emosticon tatapan penuh cinta itu menggema dalam pikirannya, bergema seperti suara yang tak kunjung padam. Hatinya mencelos. Tubuhnya mendadak terasa dingin, meskipun udara malam masih cukup hangat.
Siapa yang berani memanggil suaminya dengan sebutan seperti itu? pikir Eva. Tangannya gemetar, seolah-olah ponsel itu bisa terbakar hanya karena tatapannya yang penuh kemarahan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak perasaan yang mulai membuncah.
Apakah suaminya diam-diam selingkuh? Tapi… sejak kapan? Sejak kapan dia mulai menyembunyikan sesuatu? Eva mencoba mengingat-ingat. Tiga tahun terakhir ini, memang ada yang berubah. Suaminya jadi lebih sering sibuk dengan ponselnya, sering pulang lebih malam, dan kadang terlalu cepat tidur—seakan tak ingin diajak bicara panjang lebar.
Tapi apakah semua itu cukup jadi tanda? Apakah Eva hanya terlalu curiga?
Ia melirik lagi ke kamar mandi, suara air masih mengalir. Waktu terasa melambat. Otaknya sibuk menyusun kemungkinan, hatinya berteriak ingin tahu lebih banyak, tapi tubuhnya seolah membeku di tempat.
Dia ingin membuka ponsel itu. Ingin tahu isi percakapan lengkapnya. Tapi ponsel terkunci, dan Eva tahu suaminya sudah lama mengganti sandinya. Mengapa? Kenapa harus mengganti sandi jika tak menyembunyikan apa-apa?
Pikiran Eva bercabang, antara ingin percaya, dan takut bahwa kepercayaan itu akan dikhianati. Ia menatap ponsel itu sekali lagi, lalu mengambilnya pelan-pelan… dan menyelipkannya di balik bantal. Bukan karena ia tak ingin tahu, tapi karena ia tahu—malam ini, keheningan tidak akan membawa kedamaian.
Beberapa menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Tak lama, pintu terbuka, dan sang suami keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Ia tampak seperti biasa—santai, tanpa beban. Bahkan sempat tersenyum kecil saat melihat Eva duduk di tepi tempat tidur, menunduk, seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Sayang, kamu belum tidur?” tanyanya ringan, sambil berjalan menuju lemari.
Eva menoleh perlahan, mencoba tersenyum, walau bibirnya terasa kaku. “Belum ngantuk,” jawabnya singkat. Suaranya terdengar datar, tapi suaminya tampak tak menyadarinya.
Suaminya mengganti pakaian, lalu naik ke atas tempat tidur. Ia mengambil ponselnya di atas bantal—yang kini sedikit bergeser karena Eva meletakkannya di sana. Sekilas, ia terlihat ragu, namun cepat-cepat membuka layar, memasukkan sandi, dan menengok ke arah Eva dengan senyum.
“Ada apa?” tanyanya, seolah tak ada yang terjadi.
Eva memandang suaminya dalam diam, matanya menelisik ekspresi wajah pria itu. “Enggak,” katanya akhirnya. “Cuma kepikiran aja.”
“Kepikiran apa?”
Eva mengalihkan pandangan. Di satu sisi, ia ingin langsung bertanya soal pesan itu. Ingin menuntut jawaban, ingin tahu kebenaran. Tapi di sisi lain, ia takut akan jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya.
Lalu dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Eva bertanya, “Kamu ada beliin baju buat siapa hari ini?”
Pertanyaan itu membuat suaminya sedikit terdiam. Ada jeda, sepersekian detik, sebelum ia menjawab. “Baju? Oh... iya, aku bantuin temen kantor beliin hadiah buat adiknya. Dia minta tolong karena lagi sibuk.”
Eva mengangguk pelan, menelan keraguan yang masih menggantung. “Oh gitu…”
Tapi di dalam hatinya, badai belum mereda. Wajahnya mungkin tampak tenang, tapi pikirannya terus menimbang-nimbang: apakah jawaban itu jujur? Atau hanya awal dari sebuah kebohongan yang lebih besar?
Di malam yang senyap itu, Eva berbaring memunggungi suaminya. Mata terbuka, menatap gelap. Dan di balik selimut, pertanyaan demi pertanyaan masih berdengung… tanpa jawaban.
"Sayang, kamu jangan berpikir yang macam-macam yaa. Aku enggak melakukan hal aneh apapun kok." ucap Ardian saat melihat punggung istrinya, tatapan nya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Aku percaya kok, Mas." sahut Eva singkat, "Aku tidur duluan yaa, aku ngantuk banget." ucap Eva lagi
"Lho, kok tumben sih. Padahal aku lagi pengen lho! Ayo dong sayang. Aku enggak tahan nih." ucap Ardian dengan nada kesal, karena dia sedang menahan hasrat sejak tadi. Tapi, istrinya justru menolaknya dengan alasan ngantuk.
"Maaf, Mas. Aku ngantuk banget." ucap Eva dengan nada tak goyah, padahal selama ini dia selalu menuruti perkataan suaminya. Tapi, malam ini dia enggan sekali melakukan apapun.
"Ckk... Yasudah!" ketus Ardian. Lalu, dia beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan pelepasan.
***