Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertamakalinya Dilindungi Seorang ... Pria
"Biarkan. Biarkan kuda memakannya. Acara upacara panen akan dimulai jam kesembilan. Kalau ada yang salah, itu jadi bukti paling telak."
Ajudan Membungkuk dan pergi.
Sementara itu, di bawah sana, Yu Zhen menarik napas lagi. Tak sadar, ia baru saja menyentuh pintu pertama dari labirin istana yang sebenarnya.
Ia baru saja membungkuk untuk menimba air, ketika suara langkah cepat kembali terdengar. Kali ini… mendekat.
Yu Zhen hanya sempat menoleh sedikit saat sebuah bayangan besar menyambar dari samping. Instingnya menjerit. Ia melempar timba dan mundur, namun tangannya ditarik keras dari belakang.
"Kau melihat terlalu banyak."
Suara itu dingin, pelan, dan berat—bukan milik Paman Li. Seseorang menariknya ke balik gudang jerami, mendorong tubuhnya hingga membentur tiang kayu.
Yu Zhen meronta. Ia sempat melihat kilatan logam di tangan pria itu. Pisau tipis, licin, dan pendek—biasa digunakan pembantai ayam. Tapi di tangan itu, benda kecil itu mematikan.
Namun sebelum pria itu sempat bergerak lebih jauh…
Srett—
Suara panah melesat dari kejauhan. Disusul teriakan pendek.
Sosok itu berbalik, tapi belum sempat lari, dua orang berbaju gelap muncul dari arah semak. Pergelutannya cepat, brutal, dan sunyi. Salah satu menahan si penyerang, satu lagi membekap mulutnya dan menjatuhkan pisau.
"Jangan bunuh pelakunya. Mereka harus diinterogasi," terdengar suara tenang dari arah lain.
Yu Zhen yang masih terduduk di tanah dengan napas terengah menoleh—dan melihatnya.
Pangeran Keempat berdiri tak jauh, menyingkap tirai jerami dengan satu tangan.
Wajahnya tenang. Matanya tajam. Tapi langkahnya cepat saat mendekat. Saat lutut Yu Zhen hampir lemas, ia menahan tubuh gadis itu dengan satu lengan.
"Kau terluka?"
Yu Zhen hanya menggeleng, terlalu bingung untuk bicara.
Salah satu pengawal membungkuk. "Pelaku tertangkap, tapi... ada sesuatu yang tidak beres. Ia muntah darah."
Pangeran Keempat menoleh cepat.
"Racun. Mereka mencoba memutus rantainya sendiri."
Ia melirik Yu Zhen yang masih dalam dekapannya, yang mulai pucat.
"Kau aman sekarang. Jangan khawatir."
Tapi Yu Zhen tidak menjawab. Karena entah kenapa, detik itu juga—yang terasa bukan sekadar syok karena hampir mati. Tapi panas di pipinya. Dan jantung yang berdetak terlalu keras karena dia sadar...
Ia baru saja... dilindungi oleh pria.
Untuk pertama kalinya.
Dan pria itu... terlalu dekat. Mereka masih dalam posisi canggung ini, dan Yu Zhen tidak dapat berdiri tegak sendiri karena kakinya masih begitu lemas entah kenapa.
Namun tiba-tiba bayangan kedua muncul. Begitu cepat. Sebilah pisau kecil melesat dalam gerakan rendah, mengarah ke tubuhnya.
Ia hanya bisa memalingkan wajah dan mengangkat lengannya secara refleks.
“Akh—!”
Pisau itu menancap ke bagian bawah lengan kirinya, menembus kain seragam yang tipis. Rasa panas menjalar. Pandangannya berkunang. Tapi ia tidak sempat menjerit.
Bayangan itu meloncat mundur.
Namun sebelum bisa kabur, anak buah Pangeran Keempat yang lain sudah menghadangnya dari sisi belakang. Sebuah sabetan pedang kayu menghantam lututnya, disusul kuncian bersih di bagian leher.
Pelaku kedua terjatuh. Tapi sebelum pengawal sempat membekap mulutnya, ia menggigit sesuatu dari dalam mulutnya sendiri. Sekejap kemudian, busa putih muncul di sudut bibirnya.
"Mereka... semua dilatih untuk mati,” kata salah satu pengawal dengan napas berat.
“Yang ini... juga,” kata pengawal satunya. “Tapi... ada ini.”
Dari dalam lengan baju pelaku, mereka menarik selembar surat kecil yang tersegel dengan lilin merah. Diberikan pada Pangeran Keempat dalam diam.
Jing Rui tidak segera membacanya. Ia menoleh terlebih dahulu ke arah Yu Zhen yang masih ada dalam dekapannya.
Gadis itu tampak terengah.
Wajahnya memucat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya semakin pendek.
“Panggil Tabib!” bentaknya. Pengawal-pengawal di sampingnya agak kaget dengan sikap berbeda Pangeran Keempat pada seorang dayang hari ini, meski selama ini sudah banyak dayang lain yang juga dijadikan bidak sebelumnya.
Karena tak ada yang bergerak mencari tabib maupun membantunya mengangkat gadis itu. Ia membenahi posisi Yu Zhen. Kini kedua tangannya kini menyangga tubuh gadis itu sepenuhnya—satu di punggung, satu di bawah lututnya. Ia mengangkat tubuh kecil itu dengan mudah.
Ia menyadari sesuatu. Betapa ringan gadis ini. Betapa mungil bahunya. Dan betapa pucat kulitnya saat tidak bergerak.
Mata Yu Zhen sedikit terbuka, namun pandangannya kosong. Napasnya tersengal—dan tiba-tiba seluruh tubuhnya melemas.
"Nona Dayang?”
Kepala gadis itu terjatuh pelan di bahunya. Tangannya yang tadi menggenggam kain di dada pria itu… terkulai lemas.
Ia pingsan.
Jing Rui menatap wajah pucat itu, alisnya sedikit berkerut. Ada semburat merah tipis di pipi gadis itu sebelumnya. Tapi kini, warna itu menghilang.
Ia mengalihkan pandangan. “Siapkan ruangan di Paviliun Barat. Periksa semua jalur masuk. Pastikan tak ada yang mencurigakan.”
---
Ruangan itu sunyi. Hanya suara air di baskom tembaga dan gesekan kain dari pelayan wanita yang sedang menyiapkan perban.
Yu Zhen terbaring di dipan panjang berlapis selimut tipis, tubuhnya masih lemas dan pucat. Lengan kirinya dibalut, tapi warna kulitnya belum sepenuhnya kembali. Wajahnya… tenang, tapi ada jejak trauma dalam kediaman itu.
Jing Rui berdiri tidak jauh. Diam. Tegap.
Tatapannya tak lepas dari gadis itu.
Salah satu tabib wanita membungkuk. “Tidak ada racun. Hanya luka sayat. Tapi…”
Pangeran Keempat menoleh. “Tapi?”
“Sepertinya ia syok. Ada gejala pusing, tekanan darah rendah… karena ketegangan mendadak.”
Tabib melirik Yu Zhen yang masih diam. “Saat sadar nanti, sebaiknya jangan langsung bangun.”
Jing Rui mengangguk pelan. “Tinggalkan kami.”
Para pelayan dan tabib ragu, tapi akhirnya mundur keluar dengan membungkuk. Mereka tak biasa diperintahkan pergi… hanya karena seorang dayang kecil yang belum diketahui siapa namanya.
Setelah ruangan sepi, barulah Yu Zhen membuka mata perlahan.
Pandangan pertamanya menangkap langit-langit putih dan tiang kayu ukir. Tapi yang lebih membingungkannya adalah…
Wajah pria itu.
Ia berdiri terlalu dekat.
Detik berikutnya, ia sadar tubuhnya menyandar sedikit—dan posisi selimutnya… entah kenapa sudah rapi.
“Ah…”
Suara kecil itu nyaris tak terdengar.
“Kau sadar,” gumam Jing Rui, nadanya tetap tenang tapi ada sedikit kelegaan samar yang tidak biasa.
Yu Zhen langsung menegakkan diri. Terlalu cepat.
“Tunggu—”
Ia merasa pusing, dan tubuhnya jatuh sedikit ke samping.
Refleks, Jing Rui maju satu langkah dan menahan bahunya.
Kali ini, keduanya sama-sama diam.
Tatapan mereka bertemu.
Yu Zhen buru-buru menarik diri. “M-maaf… Saya tidak tahu sudah… menyulitkan Yang Mulia.”
Ia menunduk. Ingin menahan diri untuk tetap tenang. Tapi wajahnya sedikit memerah—lebih karena kesadaran bahwa ia pingsan di pelukan seseorang… seorang pria.
Dan parahnya, ia merasa… aman.