Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 7 : Retak di Sela Kehangatan
Hari-hari setelah kencan pertama mereka terasa seperti mimpi bagi Aira. Setiap pagi, dia terbangun dengan senyum di wajahnya, memikirkan pesan manis dari Raka atau rencana kecil yang mereka buat untuk bertemu.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik itu di kafe favorit mereka, di studio Raka, atau sekadar berjalan-jalan di tepi Pantai Marina saat matahari terbenam.
Hubungan mereka terasa begitu alami, penuh tawa dan kehangatan, tapi di balik semua itu, Aira mulai merasakan ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang dia coba abaikan, tapi semakin hari semakin sulit untuk dihindari.Pagi itu,
Aira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap layar laptop dengan ekspresi kosong. Dia sedang berusaha menyelesaikan bab terbaru novelnya, tapi kata-kata yang biasanya mengalir dengan mudah kini terasa tersendat.
Pikirannya dipenuhi oleh komentar-komentar pembaca di platform online yang mulai berubah nada.
“Ceritanya kok gitu-gitu aja sekarang? Aira kehilangan sentuhan, ya?” tulis salah satu pembaca.
“Aku kangen Aira yang dulu, yang ceritanya bikin hati bergetar,” tulis yang lain.
Komentar-komentar itu seperti jarum kecil yang menusuk hatinya, membuatnya mempertanyakan kemampuannya sebagai penulis.
Aira menghela napas, menutup laptop dengan gerakan lelet. Dia meraih ponselnya, berharap pesan dari Raka bisa mengalihkan perhatiannya. Tapi pagi ini, Raka tidak mengirim pesan seperti biasanya.
Aira mencoba untuk tidak overthinking, tapi dia tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang mulai merayap di dadanya.
“Mungkin dia sibuk,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.Untuk mengalihkan pikiran, Aira memutuskan untuk pergi ke studio Raka.
Dia ingin mengejutkan pria itu, mungkin membawa makan siang dan menghabiskan waktu bersama. Dia mengenakan sweater cokelat muda dan celana jeans, lalu memesan dua porsi nasi goreng dari warung langganan mereka sebelum berangkat.
Perjalanan ke studio Raka tidak terlalu jauh, tapi selama di jalan, Aira merasa ada kegelisahan yang terus bertambah di hatinya.Sampai di studio, Aira mengetuk pintu dengan hati-hati.
Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci, dan melangkah masuk dengan ragu.
“Raka? Aku bawa makan siang,” panggilnya, suaranya lembut.
Studio itu terasa sepi, tapi Aira bisa mendengar suara samar dari sudut ruangan. Dia berjalan lebih jauh, dan matanya langsung tertuju pada Raka yang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kepala tertunduk.
Di tangannya, ada sebuah foto kecil yang tampak sudah kusut, foto seorang gadis yang tersenyum ceria, mirip dengan Raka.
Aira langsung tahu itu pasti Rani, adik Raka.
“Raka?” panggil Aira lagi, kali ini lebih pelan.
Dia berjongkok di depan pria itu, meletakkan kotak makan siang di lantai.
“Kamu… kamu baik-baik aja?” Raka menoleh perlahan, matanya merah dan ada jejak air mata di pipinya. Dia buru-buru mengusap wajahnya, mencoba tersenyum meskipun senyumnya terlihat dipaksakan.
“Aira… maaf, aku enggak denger kamu masuk. Aku… aku baik-baik aja,” katanya, suaranya serak.
Aira menggeleng, tangannya dengan lembut menyentuh lengan Raka.
“Enggak, kamu enggak baik-baik aja. Aku tahu. Apa yang terjadi, Raka? Ceritain ke aku.” Raka menatap Aira sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia menunjukkan foto di tangannya, jari-jarinya sedikit gemetar.
“Hari ini… ulang tahun Rani. Dia… dia seharusnya berumur 22 tahun hari ini,” katanya, suaranya penuh kesedihan.
“Aku biasanya ke makamnya tiap ulang tahun, tapi tahun ini… entah kenapa, aku enggak sanggup. Aku takut ke sana, Aira. Aku takut ngerasa kosong lagi.” Aira merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Raka.
Dia tidak tahu harus berkata apa, tapi dia tahu dia harus ada untuk pria itu. Dia meraih tangan Raka, memegangnya erat.
“Raka… aku enggak bisa bayangin gimana rasanya buat kamu. Tapi… aku di sini. Kalau kamu mau ke makamnya, aku temenin. Kita pergi bareng, ya?” Raka menatap Aira, matanya penuh keraguan tapi juga harapan.
“Kamu… kamu serius mau temenin aku? Aku enggak mau bikin kamu sedih, Aira.” Aira tersenyum kecil, meskipun matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku serius, Raka. Aku mau ada buat kamu, sama seperti kamu selalu ada buat aku.” Setelah beberapa saat ragu, Raka akhirnya mengangguk.
Mereka berangkat ke makam Rani, yang terletak di sebuah pemakaman kecil di pinggiran Semarang. Sepanjang perjalanan, Raka tidak banyak bicara, tapi tangannya tidak pernah lepas dari genggaman Aira.
Aira bisa merasakan betapa beratnya momen ini bagi Raka, dan dia hanya bisa berharap kehadirannya cukup untuk memberikan sedikit kekuatan.
Sampai di makam, Aira melihat sebuah nisan sederhana dengan nama “Rani Amalia” terukir di atasnya.
Di sekitar nisan, ada beberapa bunga kering yang tampak sudah lama diletakkan. Raka berlutut di depan nisan, tangannya gemetar saat meletakkan seikat bunga matahari yang dia beli di perjalanan.
“Hai, Ran… aku dateng,” katanya pelan, suaranya penuh emosi.
“Aku… aku bawa seseorang. Ini Aira. Aku yakin kamu bakal suka sama dia.” Aira berdiri di belakang Raka, merasa ada air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Dia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Raka, tapi dia tahu pria itu sedang berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar.
Dia berlutut di samping Raka, meletakkan tangan di pundaknya.
“Hai, Rani… aku Aira. Aku… aku janji bakal jaga kakak kamu,” katanya, suaranya gemetar.
Raka menoleh ke arah Aira, matanya penuh rasa syukur.
“Makasih, Aira,” katanya, lalu tiba-tiba memeluknya erat.
Aira membalas pelukan itu, merasakan getaran kecil di tubuh Raka yang berusaha menahan tangis.
Mereka diam dalam pelukan itu untuk beberapa saat, membiarkan angin sepoi-sepoi membawa kesedihan mereka pergi.
Setelah dari makam, mereka memutuskan untuk kembali ke studio Raka. Di perjalanan, Raka mulai membuka diri lebih banyak tentang Rani, tentang bagaimana mereka suka bermain di taman saat kecil, tentang lagu-lagu yang Rani nyanyikan dengan suara merdunya, dan tentang mimpi-mimpi yang tidak pernah sempat Rani wujudkan.
Aira mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau tersenyum kecil untuk menunjukkan bahwa dia ada di sana.Sampai di studio, Raka tampak lebih tenang, meskipun matanya masih merah.
Aira membuka kotak makan siang yang dia bawa, menghangatkan nasi goreng di microwave kecil di dapur studio.
Mereka makan dalam diam, tapi kali ini diam mereka terasa nyaman, seperti ada pemahaman baru yang terbentuk di antara mereka.Setelah makan, Aira duduk di samping Raka di sofa kecil studio.
Dia memandang pria itu, lalu berkata,
“Raka, aku… aku mau bilang sesuatu. Aku tahu hari ini berat buat kamu, dan aku seneng kamu mau ceritain tentang Rani ke aku. Tapi… aku juga mau jujur. Aku… aku lagi takut sama diri aku sendiri.” Raka menoleh, alisnya terangkat.
“Takut? Kenapa, Aira?” Aira menghela napas, menunduk.
“Aku… aku merasa aku enggak cukup baik, Raka. Novelku akhir-akhir ini dikomentarin jelek sama pembaca. Mereka bilang aku kehilangan sentuhan, ceritaku gitu-gitu aja. Aku takut… aku takut aku enggak bisa kasih yang terbaik buat kamu. Kamu orang yang luar biasa, Raka. Aku… aku takut kamu kecewa sama aku.” Raka terdiam sejenak, lalu tangannya meraih tangan Aira dengan lembut.
“Aira, dengerin aku,” katanya, suaranya tegas tapi penuh kelembutan.
“Kamu enggak perlu jadi sempurna buat aku. Aku suka kamu apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Komentar pembaca itu… mereka enggak tahu perjuanganmu. Aku tahu, Aira. Aku tahu kamu selalu kasih yang terbaik di setiap cerita. Dan buat aku, kamu selalu luar biasa.” Kata-kata Raka membuat Aira menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Raka… makasih,” katanya, suaranya gemetar.
“Aku… aku enggak tahu apa yang bakal terjadi sama kita ke depannya, tapi aku mau coba. Bersama kamu.” Raka tersenyum, menarik Aira ke dalam pelukannya.
“Aku juga, Aira. Kita coba bareng-bareng, ya. Aku janji, aku bakal selalu ada buat kamu.” Sore itu, mereka duduk dalam pelukan, menatap langit Semarang yang mulai berwarna jingga melalui jendela studio.
Meskipun ada retak kecil di sela kehangatan mereka, luka masa lalu Raka dan ketakutan Aira, mereka tahu bahwa cinta mereka, meskipun baru dimulai, memiliki kekuatan untuk menyembuhkan.
Dan untuk pertama kalinya, Aira merasa bahwa retak itu bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih kuat.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉