Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Luna sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakitnya, jari-jarinya dengan gelisah menelusuri layar ponselnya. Tidak ada balasan dari Renzo sejak terakhir kali dia mengirim pesan.
Dia menggigit bibirnya, berusaha mengusir kegelisahan yang mengendap di hatinya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan aroma bunga mawar memenuhi ruangan. Luna mendongak dengan mata membesar.
Di sana, berdiri Renzo dengan setelan rapi, membawa bucket bunga mawar merah yang begitu besar hingga hampir menutupi wajahnya. Di lengan satunya, dia juga membawa kotak coklat berukuran besar yang dibungkus dengan pita emas mengkilap.
Luna terdiam sejenak, seperti mimpi apa benar itu kekasihnya yang datang.
“Renzo…?” suaranya lirih, hampir tidak percaya.
Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mantap saat berjalan ke arahnya. “Untukmu,” ucapnya singkat, menaruh bucket bunga itu di pangkuan Luna.
Luna terkejut, senang bukan kepalang. Seketika dia melupakan lukanya dan langsung melompat dari ranjang, memeluk Renzo dengan erat.
“Aduh… Luna!” Renzo refleks memundurkan tubuhnya, memegang pinggangnya dengan hati-hati. “Lukamu—kau seharusnya tidak bergerak sembarangan!”
Luna terkekeh di bahunya, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak peduli. Aku hanya senang melihatmu…” Dia mengeratkan pelukannya, seolah takut kalau ini semua hanya mimpi dan Renzo akan menghilang.
Renzo terdiam sesaat, lalu membalas pelukan itu dengan erat, jari-jarinya membelai lembut punggung Luna.
“Maaf.” suaranya nyaris berbisik. “Maaf membuatmu menunggu… Maaf membuatmu khawatir.”
Luna menengadahkan wajahnya, menatapnya dengan mata berkilat-kilat. “Aku pikir… aku tidak akan bertemu denganmu lagi.”
Renzo mengusap pipinya dengan ibu jarinya, matanya melembut. “Mana mungkin aku meninggalkanmu?”
Luna tersenyum, air mata bahagianya menetes tanpa dia sadari.
Renzo menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Luna dengan erat. “Aku sangat tidak sempurna untukmu? Tapi aku akan memantaskan diri, Luna. Aku akan memperbaiki semuanya."
Luna mengangguk dengan mantap."Aku juga tidak sempurna."
Renzo mengulas senyum kecil, lalu mencium punggung tangan Luna dengan lembut. “Aku berjanji."
Dalam keheningan yang penuh makna itu, tanpa kata-kata berlebihan, keduanya tahu bahwa perasaan mereka nyata dan lebih kuat dari semua rintangan yang menghadang.
.
Suara pria berdehem dan pintu yang terbuka memecah keharmonisan mereka berdua. Raihan, berdiri di ambang pintu dengan tatapan lurus memandang mereka berdua.
Johan juga terlihat berdiri di belakang Raihan.
"Pa... Papa," suara Luna terbata-bata memanggilnya. Pikirannya gundah, pasti Papanya akan meracau melihat Renzo datang.
Sekali lagi Raihan berdehem, sebelum akhirnya mengeluarkan kata-kata. "Aku harap ini yang pertama dan terakhir ya, Renzo. Aku menyayangi kalian, tapi jangan sampai kebersamaan kalian justru menimbulkan masalah-masalah baru yang seharusnya tidak terjadi."
Renzo mengangguk.
Luna yang tadinya diam tanpa ekspresi kali ini dia menangis haru mendengar Papanya bicara. Dia memang yakin, orang tuanya selalu mendukung apapun keputusan anaknya selagi itu yang terbaik.
"Sini... " Luna menggerekan pergelangan tangannya meminta Raihan untuk mendekat.
Raihan tersenyum tipis, menghembuskan napasnya berat. Berjalan mendekat dan memeluk putri sulungnya dengan hangat. Pelukan seorang ayah yang sangat mencintai putrinya.
"Kau lihat dia begitu manja seperti ini, tapi kemarin dia hanya tergeletak tak berdaya. Bagaimana hal tersebut tidak menghantam hidupku?!" papar Raihan, menatap bola mata Renzo.
Manik mata mereka berdua beradu.
"Kemarin aku pingsan karena panik, tapi sebenarnya tidak sakit. Sumpah!" sahut Luna dengan cepat.
"Kini aku harus berbagi cintanya denganmu, Renzo! Lihat dia selalu membelamu bahkan di depanku. Aku akan membunuhmu jika Luna terluka lagi." sambil tertawa Raihan berucap begitu, bentuk ancaman berbalut candaan.
Kemudian Raihan memberikan Renzo waktu untuk berbicara pada Luna, menghabiskan hari mereka bersama. Karena jika keadaan semakin baik, Luna di perbolehkan pulang besok.
.
.
Lima belas tahun yang lalu....
Renzo yang baru menginjak kepala dua berdiri di depan rumah besar yang hampir seluruh bagiannya berwarna coklat. Datang dengan hati yang patah dan perasaan yang kacau, akibat perkelahian orang tuanya yang menyebabkan Renzo memukul kepala Papanya dengan Vas bunga.
Dengan tangan yang berlumur darah, Renzo mencoba menghubungi Ivy. Sesaat kemudian Ivy menemui Renzo yang sudah berdiri di depan rumahnya.
“Apa yang terjadi, Renzo. Kenapa tanganmu berlumuran darah?” Suara Ivy bergetar.
Renzo menggeleng cepat. “Ivy, tolong aku. Aku sudah melakukan kesalahan besar, aku tidak sengaja melakukannya. Aku lelah melihat dia selalu memukuli Mamaku!”
Mata Ivy memerah ketakutan. "Apa yang sebenarnya kamu lakukan?"
Renzo mendekat, tangannya terulur, ingin menarik Ivy ke dalam dekapannya. “Tidak! Ceritakan dulu."
"Izinkan aku masuk ke dalam rumahmu dulu, aku tidak bisa bercerita di luar seperti ini." Renzo melangkah masuk tapi di cegah oleh Ivy.
Sebelum akhirnya dia melihat seorang pria yang seumuran dengan mereka keluar dengan langkah yang tergesa-gesa dari dalam rumah Ivy. Hal itu menyulut emosi Renzo, pria itu terlihat berantakan begitu juga dengan Ivy yang rambutnya tidak tertata rapi.
Ivy terperanjat, mencoba menutupi dan merapikan penampilannya.
"IVY!!! Siapa dia? Apa yang kalian lakukan berduaan di rumahmu seperti ini?" bentak Renzo, matanya memerah dan tangannya mengepal.
"Hanya temanku yang datang untuk membantu tugas kuliahku! Apa salahnya?"
"Teman? Mana mungkin aku tidak percaya!" hina Renzo.
Sambil berjalan masuk Ivy berkata. "Ya, kami melakukannya. Kami saling suka, hanya saja aku tidak bisa putus denganmu karena kamu gila!!"
"Kau menakutkan Renzo, awalnya aku mengira pacaran denganmu menyenangkan tapi justru kebalikannya. Aku ketakutan dengan obsesimu padaku, dengan sifat tempramenmu. Dan terbukti sekarang, apa kau membunuh ayahmu?" sindir Ivy pedas.
Renzo yang mengikutinya dari belakang semakin kesal mendengar celotehan Ivy. Dia lekas menarik tangan Ivy, dan terjadilah perkelahian diantara mereka.
Ivy yang gelap mata kala itu, memilih berlari ke dapur menodongkan pisau pada Renzo. Tapi Renzo sedikit pun tidak gentar, dia tetap melangkah mendekat. Sampai pada akhirnya Ivy mengiris sendiri pergelangan tangannya.
"Ivy, Stop!" teriak Renzo.
"Terlambat, kini kau akan di tuduh sebagai pembunuhku! Kau akan merasakan ketakutan sepanjang hidupmu. Seperti aku yang selalu takut kau buntuti. Dasar orang kaya gila!" ucap Ivy terakhir sebelum dia menarik Renzo memegang pisau tersebut dan ditusukan ke perutnya sendiri.
Renzo terpaku. Matanya menolak percaya. Tubuhnya bergetar. Kakinya terasa lemas, berharap ini hanyalah mimpi buruk yang bisa segera berakhir.
Namun, Ivy tidak bergerak lagi.
Renzo berusaha menggoyang-goyangkan tubuh Ivy meski tidak ada respon apapun. Ketakutan Renzo semakin besar, dalam satu hari dia menerima dua peristiwa yang sangat mengerikan.
"Ini semua salahku! Ini semua karena aku bodoh!" Renzo memukul-mukul kepalanya di samping tubuh Ivy yang sudah tidak bernyawa.
Membenturkan kepalanya di tembok berulang kali, dia berharap bisa mati sama seperti Ivy. Bahkan dia tidak tahu apakah Papanya masih hidup atau justru tidak terselamatkan.
Dan Renzo juga tahu, dia sedang di cari banyak pengawal keluarganya.