Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25 : Keributan Di Perpustakaan
Ferisu sesekali melirik Noa yang sibuk membaca buku. Setelah beberapa saat, dia akhirnya membuka pembicaraan, mencoba mengusir kebosanan.
"Kenapa kau selalu ke sini?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Tentu saja untuk belajar," balas Noa tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku yang sedang dibacanya.
Ferisu mengangkat alis, merasa jawabannya terlalu sederhana. "Belajar? Bukankah sudah ada instruktur di akademi? Kenapa masih harus ke perpustakaan?"
"Tentu saja saya ingin menjadi lebih kuat," jawab Noa, kali ini menatap Ferisu dengan mata birunya yang tajam. "Saya ingin menguasai sihir yang lebih tinggi dan memperkuat roh yang menjalin kontrak dengan saya."
Ferisu mendengus malas. "Huh, ternyata hanya melakukan hal tak berguna," ucapnya dengan nada dingin, lalu kembali memejamkan matanya, seolah pembicaraan itu tidak penting.
Noa merasakan sedikit bara di dadanya, tapi ia mencoba tetap tenang. "Apa maksud Anda?" tanyanya, meskipun nada sopannya mulai terasa kaku.
Ferisu tidak membuka matanya. "Untuk apa mempelajari sihir dan roh? Supaya jadi kuat?"
Noa menghela napas, mencoba menjelaskan dengan nada penuh kesabaran. "Ilmu sihir adalah landasan untuk memahami dunia ini. Sedangkan ilmu roh membantu menguak dimensi lain yang terhubung dengan dunia kita. Itu adalah fondasi pengetahuan yang penting."
"Hee~" Ferisu akhirnya membuka matanya sedikit dan menatap Noa dengan wajah datar.
Noa melanjutkan dengan semangat yang lebih besar. "Fondasi dan kerangka dunia ini, kaidahnya, semuanya dijelaskan melalui sihir. Dan ilmu itu menjawab pertanyaan abadi tentang mengapa dunia ini ada dan kenapa kita tercipta. Dengan memahami itu, manusia bisa mencapai tempat yang lebih tinggi. Lalu ilmu roh membuat kita tahu kalau ada dimensi lain, makhluk selain manusia, dan kita bahkan bisa pergi menuju ke dimensi itu jika sudah menguak misteri agar bisa ke sana."
Ferisu tetap tidak menunjukkan ketertarikan. "Lalu apa manfaatnya?" tanyanya dengan nada datar, menusuk seperti duri.
Noa tertegun. "Eh?"
"Apa gunanya mempelajari asal-usul dunia ini atau pergi ke dimensi lain?" Ferisu melanjutkan.
"Tentunya itu ada manfaatnya," jawab Noa, meskipun terdengar ragu.
"Dan setelah mencapai itu, apa?" Ferisu menyela.
"Soal itu..." Noa tak memiliki jawaban pasti.
Ferisu tertawa kecil tanpa humor. "Ilmu medis menyembuhkan penyakit. Pertanian menyediakan pangan. Pandai besi menciptakan alat-alat berguna. Arsitektur membangun tempat berlindung. Tapi sihir dan roh? Apa yang mereka lakukan untuk manusia?"
Noa mencoba melawan argumen itu. "Ilmu sihir dan roh bukanlah sesuatu yang serendah itu. Mereka mencari arti dari dunia dan manusia itu sendiri."
Namun, sebelum Noa selesai berbicara, Ferisu memotongnya. "Maaf, aku hanya bercanda," katanya, duduk tegap.
Noa menghela napas lega, tetapi senyumnya lenyap ketika Ferisu melanjutkan, kali ini dengan senyum mengerikan di wajahnya. "Ilmu sihir dan roh memang berguna... untuk membunuh manusia."
Kata-kata itu menghantam Noa seperti angin dingin. Matanya melebar, pupilnya mengecil. "Apa maksud Anda?" tanyanya pelan.
Ferisu berbicara dengan tenang, seperti mengurai fakta yang sudah jelas. "Ilmu pedang bisa membunuh satu orang. Tapi sihir dan teknik roh? Mereka bisa membunuh puluhan, bahkan ratusan, dalam satu gerakan. Tidak ada yang menandingi mereka dalam seni membunuh."
"Jangan bercanda!" seru Noa, suaranya gemetar.
"Tidak ada yang perlu dicandakan," lanjut Ferisu. "Baik di masa lalu maupun sekarang, sihir dan roh selalu punya kaitan dengan pembunuhan."
"Tidak..." Noa mulai tertekan, suaranya melemah.
"Kedua ilmu itu maju bukan karena keindahannya, tapi karena darah yang mereka tumpahkan."
"Tidak... itu tidak benar..." bisik Noa, suaranya penuh dengan rasa sakit.
Ferisu menghela napas panjang. "Aku tak pernah mengerti kenapa orang rela mempelajari sesuatu yang hanya digunakan untuk menghilangkan nyawa."
Plak!
Suara tamparan keras memecah Keheningan perpustakaan. Ferisu memegang pipinya yang memerah, terkejut.
Noa berdiri di depannya, tangan gemetar. Air mata mengalir di wajahnya, membasahi pipinya yang pucat. "Aku membencimu!" serunya, suaranya pecah antara amarah dan kepedihan.
Tanpa menunggu balasan, Noa berlari keluar dari perpustakaan, meninggalkan Ferisu yang duduk diam, masih merasakan sengatan tamparan itu.
Ferisu duduk diam di kursinya, tangannya memegangi pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Noa. Wajah gadis itu, penuh air mata, terus terlintas di benaknya.
"Sepertinya aku berlebihan," gumamnya pelan, suara penuh penyesalan.
Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu berdiri. Tanpa berkata apa-apa, Ferisu mulai mengembalikan buku-buku di meja, termasuk buku yang sebelumnya dibaca Noa. Gerakannya perlahan, hampir seperti sedang mencoba menghapus bekas dari apa yang baru saja terjadi.
Setelah selesai, Ferisu keluar dari perpustakaan. Langkahnya santai, tapi pikirannya terasa berat. Namun, langkahnya terhenti ketika ia berpapasan dengan dua sosok yang sangat dikenalnya—Licia dan Erica.
"Ah, di sini kau rupanya!" seru Erica, suaranya penuh dengan nada kesal.
"Benar, kami sudah mencarimu ke mana-mana," tambah Licia, tatapannya tajam.
Ferisu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam di depan kedua tunangannya itu, wajahnya tetap datar seperti biasa.
Namun, Erica yang lebih teliti segera memperhatikan sesuatu. "Kenapa pipimu merah?" tanyanya, alisnya berkerut.
"Bukan apa-apa," jawab Ferisu singkat, tak ingin membahas kejadian yang baru saja terjadi.
Erica tampak tidak puas dengan jawaban itu, tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Ferisu sudah berbalik badan dan berjalan menuju kantin.
Kedua tunangannya saling bertukar pandang. Licia menghela napas, sementara Erica berdecak pelan.
"Sepertinya dia sedang menyembunyikan sesuatu," bisik Licia.
"Memang, tapi kapan dia tidak menyembunyikan sesuatu?" Erica balas berbisik, nada suaranya terdengar jengkel.
Tanpa mereka sadari, Ferisu terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang berubah—entah pada dirinya, atau pada cara ia melihat dunia di sekitarnya.
.
.
.
Setelah hari itu, tiga hari telah berlalu. Ferisu tetap datang ke perpustakaan setiap hari, seperti kebiasaannya yang baru-baru ini terbentuk. Namun, sosok yang biasanya duduk berseberangan dengannya, sibuk membaca buku, tak pernah terlihat lagi.
"Noa..." gumam Ferisu pelan, sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Pandangannya kosong, tertuju pada rak buku di kejauhan.
Biasanya, perpustakaan terasa sunyi, tapi kehadiran Noa selalu membawa sedikit dinamika. Kini, tempat itu terasa lebih hampa. Tak ada suara buku yang dibalik dengan lembut, tak ada pertanyaan tajam, atau tatapan dingin yang terkadang membuat Ferisu berpikir.
Ferisu mencoba menepis pikirannya. Ia mengalihkan perhatian dengan membuka buku acak yang diambil dari rak. Namun, kata-kata di halaman itu tak mampu menahannya untuk tidak mengingat kejadian terakhir mereka. Wajah Noa yang berlinang air mata dan suara "Aku membencimu!" terus terngiang-ngiang.
"Sepertinya aku benar-benar keterlaluan," gumamnya lagi, kali ini dengan nada lebih berat.
Sesekali, Ferisu melirik ke pintu perpustakaan, berharap gadis berambut biru itu muncul. Namun, pintu itu tetap tak bergerak, dan harapannya kembali pupus.
Hari ketiga berlalu dengan cara yang sama—kesunyian yang sama, rutinitas yang sama, dan kekosongan yang sama. Ferisu tidak tahu mengapa ia merasa terganggu oleh absennya Noa, tapi yang jelas, ia merasakan sesuatu yang berbeda.
Di dalam hati, ia menyadari bahwa ia berutang sesuatu pada gadis itu—sesuatu yang lebih dari sekadar permintaan maaf.
raja sihir gitu lho 🤩