Gibran harus merelakan kisah cintanya dengan Shofiyah yang telah dia bina selama 8 tahun kandas karena orangtua Shofiyah tak menerima lamarannya dan membuatnya harus menyaksikan pernikahan kekasih yang begitu dicintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ummu Umar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema
Gibran pulang ke rumahnya dalam keadaan kalut, dia tidak menyangka dia kalah dengan segala usaha mereka selama ini. Sedangkan Shofiyah yang baru pulang mengedarkan pandangannya karena tidak mendapati seorangpun diruang tamu padahal tadi ada ayah dan Gibran disana.
"Kemana semua orang padahal tadi mereka ada disini". Ucap Shofiyah kemudian masuk kedalam rumah tepatnya dapur untuk membawa belanjaannya.
"Kenapa nak, kamu mencari Gibran?? Tanya sang Ayah yang melihat anaknya kebingungan.
"Astaghfirullah ayah, aku kaget ini". Shofiyah memegang dadanya yang terkejut karena ayah ya tiba-tiba muncul seperti itu.
"Kalau kau mencari Gibran, dia sudah pulang, jika bisa akhiri hubungan kalian dengan baik setelah ini". Abdullah menatap anaknya dengan serius.
"Apa maksud perkataan ayah, apakah lamaran kak Gibran ayah tolak?? dengan mata berkaca-kaca Shofiyah menatap ayahnya.
Abdullah menghela nafasnya kasar.
"Ikut ayah keruang tamu dan kita bicarakan ini, supaya kamu bisa mengerti".
Abdullah memegang tangan sang anak yang akan menangis itu, ria tahu anaknya sangat terpukul mendapatkan keputusannya yang tak pernah dia duga itu.
Setelah mereka duduk, pak Abdullah menatap sang anak dengan lama dan penuh tatapan sayang.
"Ayah tahu kamu kecewa dengan keputusan ayah tapi ayah memiliki alasan khusus untuk itu nak".
"Maksud ayah??
"Dengar anak, ayah tahu semua aktivitasmu diluar dari selalu pergi bersama setiap pagi dan yang lainnya". Abdullah menatap sang anak dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi dia pemuda yang baik ayah, dia sangat menjaga aku sejak aku masih sekolah, hubungan kami bukan hubungan sebentar ayah".
"Ayah tahu nak, tapi cinta dan pengorbanan itu tidak akan cukup ketika kalian menikah".
"Maksud ayah?? Shifiyah bertanya karena dia sungguh tak paham.
"Pernikahan itu tidak meluluh soal cinta nak, menyatukan dua keluarga terutama perempuan yang akan ikut suaminya harus memastikan lingkungan dirinya bernaung itu bisa menjadikannya aman dan nyaman".
"Tapi keluarga kak Gibran menyayangi aku ayah".
Abdullah menggelengkan kepalanya tanda tidak seperti itu maksudnya.
"Mereka tidak akan menerima jilbab mu dan cadarmu nanti nak". Ucap Abdullah dengan mata berkaca-kaca.
Dia sangat senang perubahan sang anak yang menjadi lebih baik sehingga bisa menjadi wanita berpakaian tertutup dan berjuang dijalan Allah seperti aktivitas anaknya kini.
"ayah". Shofiyah menelan ludahnya kasar mendengar perkataan sang ayah.
"Kamu tahu nak ketika kamu menikah dan dibawah oleh suamimu, semua tanggungjawab dan perlindungan mu berada pada suamimu, ayah tak bisa melindungimu apalagi jika dia akan membawamu ke tempat jauh".
"Ayah".
"Gibran tidka akan bisa melindungimu nak, keluarganya bahkan membuat orang yang bercadar di keluarganya mati sendiri saking tidak kuatnya".
"Astaghfirullah, tidak boleh memfitnah orang ayah".
"Ayah tidak memfitnahnya nak, tapi itu kenyataannya karena yang meninggal itu adalah anak teman ayah, ayah sendiri yang menikahkan mereka". Ucap Abdullah menangis mengingat betapa menderita nya anak sahabatnya itu ditengah keluarga Gibran.
"Tapi aku menikah dengan kak Gibran ayah bukan dengan keluarganya, dan ibunya sangat menyayangiku". Shofiyah jatuh terduduk mendengar cerita itu.
"Nak aku bisa melihat bagaimana ibu Gibran dan ayahnya seperti menolak kenyataan saat melihat penampilanmu saat pemakaman, ayah juga melihat dengan jelas bagaimana tatapan kelaurga besarnya yang datang nak".
"Tapi mereka hanya berduka ayah".
Abdullah menggelengkan kepalanya. " Ayah mendengar jelas apa yang mereka katakan saat mereka keluar dari rumah kita nak".
"Memang apa yang dikatakan kelaurga Gibran??
"Gibran tidak akan bisa bertahan dengan permpuan sok suci seperti itu, apa coba pake jilbab besar begitu, aku yakin dia pasti akan memakai cadar dan itu memuakkan , lebih baik dia seperti dulu, itu lebih bagus". Abdullah menatap sang anak yang kini terluka mendengar nya.
"Pa itu benar ayah?? Tanya Shofiyah yang berlinang air mata.
"Kapan ayah berbohong padamu nak??, Ayah tidak mau menjerumuskan anak ayah pada keluarga yang tak bisa menerima keadaanmu yang seperti itu, Ayah tidka mau kamu bernasib sama seperti anak teman ayah itu".
Abdullah menggelengkan kepalanya, kini air matanya turun dengan deras membayangkan anaknya akan menderita.
"Kamu tahu nak bagaimana kondisi kakakmu juga, mereka saja tak bisa menerima penampilanmu, bagaimana mereka melihat kakak mu, mereka akan menghina dan mengolok-olok mu dan ayah tidak akan bisa menolongmu".
"Tapi ada kak Gibran ayah".
"Dia bahkan tidak tahu mengaji dan sholatnya bolong-bolong Shofiyah, apa yang kau harapkan pada laki-laki yang bahkan untuk memimpi sholatmu tidak mampu". Ucap Abdullah dengan suara meninggi.
"lelaki itu pemimpin nak, kamu pasti tahu apa yang paling penting ketika kita mencari pasangan, dan Gibran hanya memiliki tiga kriteria itu tapi tidak dengan agamanya padahal itulah yang utama dan kau sangat paham akan hal itu".
Shofiyah menundukkan kepalanya seakan tertampar oleh kata-kata sang ayah, lelaki yang menjadi pilihannya memang tidak ada basic agama sama sekali, jangankan memimpin sholat untuk nya, bahkan mengaji tidak tahu, sholat yang selalu bolong terus bagaimana dengan paham yang dia pegang sekarang, ini sangat kontras.
"Tapi dia bisa belajar ayah". Ucap Shofiyah masih mencari cara agar ayahnya bisa menerima Gibran
"Nak, kamu membutuhkan waktu yang lama untuk belajar dan jika kalian menikah, kamu akan tinggal ditengah keluarga besarnya sedangkan dirinya bahkan tak bisa membela mu itu sama saja dengan omong kosong".Abdullah kembali meninggikan suaranya karena emosi melihat anaknya masih saja kekeh mempertahankan Gibran.
"Maafkan aku ayah, jadi aku harus mengakhiri semuanya yah". Ucap Shofiyah kini menangis deng tubuh bergetar.
Dia baru saja kehilangan nenek yang begitu disayangi sekarang dia harus kembali melepas orang yang begitu dicintainya sejak dirinya masih kecil hingga kini".
"Maafkan ayah nak, ayah tidak bisa menerimanya menjadi pasanganmu, dia tidak kurang dalam segala hal, hanya saja dia tidak bisa menjadi imam dan mengimbangi mu dalam mempelajari agama".
"Baiklah ayah jika seperti itu, aku akan membutuhkan waktu sendiri dulu". Shofiyah berjalan kamarnya dengan gontai seakan tidak memiliki tenaga.
"Maafkan ayah nak, tapi ayah melakukan itu untukmu, kelak kamu mengerti kenapa ayah memutuskan hak seperti itu padamu, kamu anak kesayangan ayah, ayah tak mau kamu kenapa-napa".
Shofiyah mengambil wudhu dan menunaikan sholat hajat dan sholat taubat, dia ingin minta own tunjuk pada yang maha kuasa untuk memantapkan hatinya menerima keputusan ayahnya ini.
Dia sangat sulit melepas Gibran karena dia adalah cinta pertama sekaligus lelaki pertama yang menguasai segala hatinya, akankah dia bisa melakukannya.
"Ya Allah jika memang dia jodohku tolong dekatkan tapi jika bukan tolong buatlah dia menjauhiku dengan yang baik, aku ingin hubungan kami tetap baik-baik saja walau bukan kekasih". Shofiyah menangis dengan tubuh bergetar dia sungguh dilema dengan keputusan sang ayah