Mo Xie, Iblis Merah yang ditakuti di seluruh Alam Shenzhou, dikenal sebagai penghancur dunia yang bahkan para dewa dan kultivator agung bersatu untuk mengalahkannya.
Namun, kematiannya bukanlah akhir. Mo Xie terlahir kembali di dunia kultivator modern sebagai dirinya yang dulu—seorang pria lemah yang direndahkan dan dihancurkan harga dirinya.
Dengan kekuatan dan kebijaksanaan dari kehidupannya sebagai Iblis Merah, Mo Xie bersumpah untuk membalas dendam pada mereka yang pernah meremehkannya dan menaklukkan dunia sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 Malam yang Dingin, Kursi yang Kosong: Mo Xie dan Harapan yang Memudar
Selama beberapa hari setelah interogasi oleh Qing Wei, Mo Xie kembali menjalani kesehariannya seperti biasa.
Di Akademi Kultivasi Zhenhai, dia menghadiri kelas seperti murid lainnya. Namun, dia tetap menjaga profil rendah, tidak menonjol atau menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya.
Namun beberapa orang mulai menunjukkan ketertarikan mereka terhadap Mo Xie, walau masih banyak yang mencibirnya. Setidaknya tidak ada yang berani merundungnya lagi.
Selain akademi, dia juga mulai menjalankan beberapa misi kecil dari Agensi Teratai Merah untuk mengumpulkan lebih banyak uang. Tugas-tugas yang dia pilih seperti berburu beast tingkat 5 dan 6 di Zona Orange.
Baginya, misi-misi ini hanyalah cara lain untuk menyesuaikan diri dengan dunia kultivasi modern dan mengamati pergerakan kultivator lain.
Namun, dari semua rutinitasnya, waktu yang paling menarik adalah saat dia berada di rumah bersama adiknya, Mo Lin.
Mo Lin, yang dulu pendiam dan penuh rasa takut, kini mulai berubah. Dia semakin sering tersenyum, lebih berani berbicara, dan yang paling penting, hubungan antara dia dan Mo Xie semakin erat.
Terlebih lagi, Mo Lin seringkali menggoda Mo Xie setelah mengetahui kedekatan mereka di akademi.
"Tadi aku melihat Kakak Xiaoyu di pasar," ujar Mo Lin suatu sore saat mereka sedang makan malam. "Kakak yakin tidak mau menemuinya?"
Mo Xie, yang sedang menuangkan teh ke cangkirnya, hanya melirik adiknya dengan santai. "Kenapa aku harus menemuinya?"
Mo Lin menyeringai jahil. "Karena Kakak dan dia itu seperti pasangan kekasih yang belum menyadari perasaan masing-masing."
"Lin, kau terlalu banyak membaca novel romantis."
"Aku hanya mengatakan yang kulihat!" Mo Lin tertawa, lalu menatap kakaknya dengan pandangan penuh arti. "Kakak sering bertemu dengan Kak Xiaoyu, bahkan pulang sekolah bersama-sama."
Mo Xie mendengus pelan, tapi tak menanggapi lebih jauh. Dia tahu Mo Lin hanya menggoda, dan melihat adiknya kembali ceria seperti ini membuatnya merasa lebih tenang.
Pagi di Hari Minggu
Hari itu, matahari pagi bersinar lembut di langit Distrik Xuanshi. Mo Xie sedang duduk di sofa sambil membaca laporan misi Agensi ketika Mo Lin datang dengan wajah penasaran.
"Kak, hari ini mau ngapain?" tanyanya.
Mo Xie menutup laporan dan menatap adiknya dengan santai. Ia ingat memiliki janji belanja bersama Lin Xiaoyu karena sudah membantunya menemukan pekerjaan tambahan yang menguntungkan.
"Berbelanja," jawab Mo Xie.
Mo Lin mengerjapkan mata. "Dengan siapa?"
"Lin Xiaoyu."
Ekspresi Mo Lin langsung berubah menjadi penuh semangat. "Kak! Itu kencan! Kau akan pergi berkencan!"
Mo Xie menghela napas panjang. "Lin, ini hanya belanja biasa."
"Belanja biasa? Dengan seorang gadis?" Mo Lin bersedekap, matanya berkilat penuh godaan. "Kakak benar-benar tidak sadar, ya?"
Mo Xie hanya tersenyum tipis dan mengangkat bahu. "Percayalah, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan," jawabnya sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 2 siang, waktu yang telah dijanjikan untuk mereka berdua bertemu.
"Sudahlah, aku pergi dulu. Kau jaga rumah," ujar Mo Xie sambil beranjak pergi.
Mo Lin tidak puas dengan jawaban itu, tapi dia segera menyadari sesuatu. Matanya memperhatikan pakaian kakaknya yang terlalu sederhana—kaos hitam polos dan celana santai.
"Kak... kau mau pergi dengan pakaian itu?" tanyanya dengan nada horor.
Mo Xie melirik pakaiannya sendiri dan mengangkat alis. "Memangnya kenapa? Ini bersih."
Mo Lin langsung berdiri dan menarik tangan kakaknya. "Tidak! Kakak harus tampil lebih rapi! Bagaimana kalau Kak Xiaoyu kecewa?!"
Sebelum Mo Xie bisa protes, Mo Lin sudah menyeretnya ke kamar, lalu mulai memilihkan pakaian yang lebih cocok.
Setelah beberapa saat mencari, dia akhirnya menemukan sesuatu yang pas—kemeja putih bersih dengan desain yang lebih modern, dipadukan dengan celana panjang hitam yang elegan dan sepatu kulit hitam yang terlihat mahal. Itu adalah pakaian mendiang ayah mereka.
Mo Lin mencocokkan baju itu dengan tubuh Mo Xie. "Hmm... sepertinya cocok, postur tubuhmu mirip dengan ayah."
"Apa sudah selesai?" tanya Mo Xie, sedikit kesulitan menghadapi sikap adiknya yang terlalu antusias.
Mo Lin menyuruh kakaknya untuk duduk di kursi, sementara Mo Lin terus mengamati wajahnya dengan kritis.
"Masih ada satu hal lagi…" gumam Mo Lin sebelum mengambil gunting dan sisir.
Mo Xie menatapnya dengan curiga. "Lin, apa yang kau rencanakan?"
Mo Lin tersenyum lebar. "Rambutmu sudah terlalu panjang dan berantakan! Ini sudah tidak wajar!"
"Aku baik-baik saja dengan rambutku sekarang."
"Tidak! Kau butuh potongan rambut yang lebih rapi!"
Tanpa memberi kesempatan Mo Xie untuk menolak, Mo Lin mulai memotong rambut kakaknya. Setiap helai rambut yang jatuh membuat ekspresi Mo Lin semakin puas. Dia menata dengan hati-hati, memastikan hasilnya tidak asal-asalan.
Beberapa saat kemudian, dia mundur selangkah untuk melihat hasilnya.
Mo Xie kini tampak jauh lebih rapi. Rambut hitamnya yang sebelumnya sedikit panjang kini dipotong dengan gaya yang lebih bersih dan teratur, membuat wajahnya tampak lebih tegas. Sorot matanya yang tajam kini semakin menonjol, sementara pakaiannya yang lebih elegan menambahkan kesan berwibawa.
Mo Lin tersenyum lebar, puas dengan hasil karyanya.
"Kak... kau jadi tampan sekali!" serunya.
Mo Xie menatap pantulan dirinya di cermin dan menghela napas kecil. "Aku merasa agak aneh."
"Tidak! Ini sempurna!" Mo Lin melompat kecil, tampak senang. "Kak Xiaoyu pasti akan terkejut melihatmu seperti ini!"
Mo Xie hanya tersenyum tipis. Meski sedikit malu dengan penampilannya yang lebih mencolok, dia tetap menghargai usaha adiknya.
"Baiklah, aku pergi dulu," katanya sambil membuka pintu apartemen.
Mo Lin melambaikan tangan dengan semangat. "Selamat berkencan, Kak!"
Mo Xie hanya tertawa kecil sebelum melangkah keluar apartemen.
...
Mo Xie akhirnya tiba di kafe yang telah disepakati, sebuah tempat bernuansa klasik di Distrik Jingfeng. Ia memasuki kafe dan memilih meja di dekat jendela.
Mo Xie sebenarnya merasa sedikit tidak nyaman. Bukan karena suasana kafe, tetapi karena beberapa pengunjung meliriknya dengan penasaran. Mungkin karena penampilannya yang lebih rapi dari biasanya—Mo Lin benar, dia memang tampak berbeda.
Mo Xie menyandarkan punggungnya di kursi, menatap ke arah pintu masuk kafe sambil menunggu. Sesekali, dia merapikan rambutnya yang baru dipotong, meski sebenarnya tidak ada yang perlu dirapikan.
Waktu berlalu. Setiap kali pintu terbuka, dia melirik, mengira itu Lin Xiaoyu. Tapi tidak.
Jam terus berdetak.
Para pelanggan datang dan pergi, sementara dia tetap di tempatnya, sendirian. Pelayan kafe yang awalnya hanya sekadar melirik, kini mulai menunjukkan ekspresi aneh.
Hingga akhirnya, seorang pelayan wanita menghampirinya.
"Maaf, Tuan. Kami akan segera tutup," katanya dengan sopan.
Mo Xie menatap jam di dinding—sudah pukul 9 malam.
Dia menghela napas pelan, lalu berdiri dan mengambil jaketnya. "Baik, terima kasih."
Saat dia keluar dari kafe, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Kota masih hidup, lampu-lampu jalan menyala terang, dan kendaraan melintas di kejauhan.
Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh Lin Xiaoyu.
'Kenapa dia tidak datang?'
Mo Xie bukan tipe orang yang mudah tersinggung atau kecewa, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaannya.
Apakah dia lupa?
Atau ada sesuatu yang terjadi?
Saat dia berjalan melewati jembatan gantung yang menghubungkan dua distrik, langkahnya terhenti.
Di sana, di tengah jembatan, berdiri seseorang yang familiar.
Lin Xiaoyu.
Namun, penampilannya jauh dari biasanya.
Gaun indah yang dikenakannya tampak compang-camping, ada noda kotoran di beberapa bagian. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, dan lebih buruk lagi—ada lebam di pipinya.
Mo Xie menatapnya tajam. Seketika, perasaan gelisah yang tadi hanya samar, berubah menjadi kecurigaan yang kuat.
Lin Xiaoyu menunduk, tidak menyadari keberadaan Mo Xie hingga dia mendekat.
"Xiaoyu."
Gadis itu tersentak dan menoleh. Saat melihat Mo Xie, matanya melebar sedikit—antara terkejut dan... sesuatu yang lain.
Mo Xie tidak mengatakan apa-apa untuk sesaat. Dia hanya menatap Lin Xiaoyu, memperhatikan setiap luka dan ekspresi wajahnya.
Lalu, dengan suara yang lebih pelan, dia bertanya: "Apa yang terjadi padamu?"