Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Malam Terakhir
Perlahan Nabila membuka matanya. Ia menatap tangannya yang berada di dada polos seseorang. Dada yang tak tertutup apapun. Sontak ia bangkit dan terduduk dengan terkejut.
'Dzaki...' gumamnya seraya menatap sang suami yang masih menutup matanya.
Nabila menatap ke arah tubuhnya. Ia berpakaian. Namun kilasan apa yang terjadi tadi malam berputar dalam kepalanya.
Pipinya merona merah.
Perlahan Dzaki mengerang bangun. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara parau.
Mereka sama-sama menatap ke arah jam yang menggantung di salah satu dinding. "Jam 2..." sahut Nabila.
"Sini..." Dzaki menarik tangan Nabila hingga Nabila kembali berada di pelukannya seperti saat Nabila baru membuka matanya barusan. "Masih malem. Kita tidur bentar lagi."
Nabila sama sekali tak bisa tidur lagi. Bagaimana tidak, setelah malam tak berjarak yang ia lalui bersama Dzaki, kini mereka sudah seutuhnya menjadi sepasang suami istri.
Sedangkan Dzaki, ia kembali menutup matanya dan terdengar dengkur kecil darinya. Nabila sedikit mendongak untuk melihat wajah sang suami.
'Ya Allah, tadi malem aku sama Dzaki udah...lakuin...itu?' gumam Nabila masih tak percaya.
Nabila mengulum senyumnya. Ia bahagia. Perasaan itu sudah sangat lama tak ia rasakan. Dan entah mengapa kali ini semuanya terasa lebih indah dari sebelumnya, lebih terasa istimewa dibanding saat ia masih bersama dengan almarhum Hadi.
Nabila kembali merebahkan kepalanya dan memeluk sang suami. Diam-diam ia bisa menghirup aroma tubuh Dzaki yang khas bercampur dengan parfum yang sering digunakannya.
Dzaki kembali terbangun saat merasakan tangan Nabila memeluknya. Ia tersenyum dan merangkul tubuh Nabila lebih erat lagi. "Kamu gak tidur lagi, Sayang?"
Hati Nabila membuncah tak terkendali mendengar Dzaki memanggilnya dengan kata 'sayang'. Itu pula yang Dzaki ucapkan tadi malam saat mereka baru akan melakukannya.
Nabila masih mengingatnya dengan jelas saat Dzaki mengatakan, 'Aku cinta sama kamu, Sayang. Aku cinta banget sama istriku.'
Setelah kata-kata itu, di tengah-tengah tubuh mereka saling bersatu, Dzaki tak lagi memanggilnya 'Bila', melainkan 'Sayang'.
Nabila tersipu malu, "enggak. Gak bisa tidur lagi."
"Kenapa?" tanya Dzaki dengan mata terpejam.
"Kayaknya aku mau mandi dulu aja," ujar Nabila sambil beranjak. Namun segera Dzaki menariknya ke dalam pelukannya lagi.
"Bentar lagi, Yang. Masih pengen peluk," rajuknya manja.
Nabila hanya bisa tersenyum gemas. Perubahan sikap Dzaki begitu kentara setelah apa yang mereka lakukan tadi malam. Dari Dzaki yang ceria, yang berusaha terlihat dewasa, menjadi Dzaki yang manja, sisi yang belum pernah Nabila lihat sebelumnya.
Lalu Nabila tak ada pilihan selain mengikuti Dzaki. Bahkan tanpa sadar ia menepuk-nepuk punggung Dzaki yang dipeluknya. Hingga saat Dzaki benar tertidur kembali, Nabila perlahan bangkit dan menuju kamar mandi. Ia membersihkan diri dan mandi wajib.
Setelah itu ia melakukan sembahyang sunah, dan saat sudah mendekati adzan subuh, Nabila menghampiri Dzaki.
Ia duduk di sisi tempat tidur sambil menatap sang suami yang masih terlelap. Nabila perlahan meraih pipi Dzaki. Tangannya yang dingin membuat Dzaki tersentak perlahan.
"Mas..."
Seketika Dzaki terbangun mendengar Nabila menyebutnya dengan sebutan 'Mas'. "Kamu manggil aku apa?"
Nabila menyunggingkan senyum bahagianya. "Bangun, Mas. Mandi dulu, terus kita sholat bareng."
Kantuk Dzaki seketika menghilang. Bukannya beranjak ke kamar mandi, ia malah menjadikan paha Nabila sebagai bantal. "Aku seneng banget dipanggil 'Mas' kamu," ujarnya sambil memeluk pinggang Nabila dengan gemasnya.
Lalu Dzaki menyadari Nabila sudah menggunakan mukena. Wangi segar dari sabun mandi dan shampo pun tercium dari Nabila. "Kamu udah mandi, Yang?"
"Udah, Mas. Barusan aku abis sholat tahajud," ujar Nabila sambil mengusap rambut sang suami.
"Kok gak bangunin? Padahal aku pengen mandi bareng."
Pipi Nabila kembali merona. "Nanti 'kan masih bisa. Sekarang Mas mandi ya, udah adzan tuh. Kita sholat bareng."
"Ya udah." Dzaki pun beranjak, "aku mandi dulu ya."
Dzaki pun melenggang ke kamar mandi yang berada di dalam kamar Nabila. Mereka sholat bersama, menyiapkan sarapan, dan kemudian sarapan bersama.
Kemudian setelah mereka selesai sarapan, Dzaki kembali mengajak Nabila ke kamarnya. "Yang, mau."
"Mau apa?"
Dzaki tersenyum penuh arti dan segera membopong tubuh Nabila.
"Kyaaaa!! Mas!" Nabila terkejut. "Baru juga tadi malam, Mas."
"Mau lagi," ujar Dzaki seraya membaringkan tubuh Nabila di kasur kamarnya.
Dzaki pun kembali menjamah tubuh sang istri seakan dirinya belum puas. Waktu mereka di sana tinggal satu minggu lagi. Dan ini justru waktu-waktu di mana mereka sudah menjadi satu layaknya sepasang suami istri pada umumnya. Maka Dzaki tak ingin menyia-nyiakan sisa waktu yang mereka miliki yang hanya tinggal beberapa hari lagi.
Hingga tiba waktunya mereka ada di malam terakhir bulan madu itu. Seminggu terakhir itu, mereka tak pernah tidur di kamar terpisah lagi, melainkan di kamar yang sama, di kamar utama yang Nabila tempati.
Malam itu mereka bersiap untuk tidur, seperti biasa, di tempat tidur Nabila sambil saling berpelukan.
"Yang, nambah sebulan lagi yuk honeymoonnya?" saran Dzaki.
"Pengennya sih gitu," lirih Nabila tersipu. "Cuma aku harus masuk kerja, Mas. Mas juga katanya mau beresin skripsi 'kan?"
"Iya sih. Ya udah deh, di mana pun akan sama aja. Asal bareng sama kamu," ujar Dzaki. "Dan aku punya kejutan nanti pas kita pulang."
"Kejutan apa lagi, Mas? Selama di sini Mas selalu kasih aku kejutan."
"Kali ini beda," Dzaki meraih ponselnya yang ada di nakas. "Kamu lihat ini."
Dzaki memperlihatkan video sebuah rumah dua lantai dengan desain classic modern minimalis. Ada 4 buah kamar, dengan sebuah kolam renang di beranda belakang. Tidak terlalu besar namun sangat nyaman.
"Ini apa, Mas?"
"Rumah kita."
"Apa?!" Nabila kembali memutar video itu. "Tapi..."
"Kenapa? Kamu gak suka sama rumahnya?" Dzaki agak kecewa.
"Suka, Mas. Ini bagus banget. Tapi aku berharapnya Mas diskusiin dulu sama aku. Masalahnya aku 'kan juga punya rumah peninggalan Almarhum Mas Hadi."
"Rumah itu 'kan sekarang atas nama Hazel. Kamu bilang itu 'kan sama aku waktu itu. Kalau ini, atas nama kamu. Rumah ini punya kamu."
"Mas nyicil?"
"Iya. Maaf ya belum bisa ngasih yang cash. Uang aku belum cukup. Dan kelamaan kalo ngumpulin dulu." Kemudian Dzaki menghela nafas, "coba aku ngumpulin dari dulu. Aku gak banyak main dan buang-buang waktu. Aku udah bisa punya rumah tanpa nyicil mungkin."
"Mas itu ngomong apa sih. Mas baru 25 tahun udah bisa nyicil rumah sebagus itu di Jakarta, itu udah sesuatu yang keren banget, Mas. Dan yang penting di sini, aku seneng Mas menyesali waktu-waktu Mas yang udah banyak buang waktu yang gak penting. Yang penting Mas udah berubah jadi lebih baik."
"Coba aku tahu lebih awal kamu udah gak punya suami. Aku bakal nikahin kamu lebih cepet."
Nabila mengerutkan dahi, "maksudnya gimana Mas?"
Dzaki tersenyum gemas. "Okay, aku akan jujur."
"Jujur?"
"Sebenernya, aku udah jatuh cinta sama kamu sejak sepuluh tahun lalu."