Zia harus menelan pahit, saat mendengar pembicaraan suami dan juga mertua nya, Zia tak percaya, suami dan mertua nya yang selalu bersikap baik padanya, ternyata hanya memanfaatkannya saja.
Zia tidak bisa diam saja, saat tahu sikap mereka yang sebenarnya.
"Awas kalian, ternyata kalian selama ini hanya ingin memanfaatkan aku!" gumam Zia, mencekal tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukacoretan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keceplosan
Saat ia membuka matanya, terlihat ruangan asing.
"Aku dimana?" ucap Zia.
Zia mencoba membangunkan badannya.
"Zia..." sahut bunda Ita.
"Bunda, aku dimana?" tanya Zia.
"Kamu sedang di RS, kemarin kamu pingsan," jawab bunda Ita.
"Pingsan" sahut Zia.
"Iya kamu pingsan kemarin, makanya kami cepat membawa kamu ke RS," jawab bunda Ita.
"Bunda, aku takut," ucap Zia histeris.
"Kenapa, takut apa?" tanya bunda Ita, bingung dengan tingkah sang anak.
"Laki-laki itu, dia mau membunuh aku, bunda," jawab Zia.
"Siapa?" tanya bunda Ita.
"Dia bunda, aku takut," kata Zia, sembari meremas selimutnya.
Sesaat bunda Ita sadar, kalo mental anaknya sedang tidak baik-baik saja.
Bunda Ita langsung memeluk Zia.
"Bunda ada disisi kamu, jangan khawatir," ucap bunda Ita.
"T-tapi bunda..." ucap Zia terpotong.
Bunda Ita mengelus rambut Zia, memberikan ketenangan kepada sang anak.
"Semua akan baik-baik saja, lawan rasa takutmu, kedua kakakmu, dan juga ayahmu, tidak akan membiarkan kamu terluka lagi," bisik bunda Ita.
Zia larut dalam pelukan sang bunda, Zia merasakan takut yang sangat dalam, kala mengingat perlakuan Rangga kepada dirinya.
Zia hampir saja mati ditangan suaminya.
Bunda Ita memegang wajah sang anak perempuan satu-satunya.
"Kenapa menangis?" tanya bunda Ita.
Zia menggeleng, lalu berkata. "Aku mengingat perlakuan dia bun," jawab Zia.
"Sudah jangan di ingat terus, semua akan baik-baik saja," ucap bunda Ita tersenyum, menatap sang anak.
Bohong kalo bunda Ita tidak merasakan sakit, kala melihat keadaan sang anak perempuannya, anak yang ia jaga mati-matian.
Ceklek.
Pintu terbuka, terlihat ketiga laki-laki berdiri dihadapan pintu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Roy, langsung memeluk sang adik.
"Kak, aku mau bercerai," ucap Zia.
"Kakak akan melakukannya, kamu tenang saja," jawab Roy.
"Sekarang kamu harus sembuh dulu," sambung Roy lagi.
Zia hanya menghela nafas, didalam hatinya, tidak ada rasa ingin sembuh dari semua rasa sakit ini.
"Kenapa harus ada luka, kalo ujungnya, kita juga yang harus menyembuhkannya," ucap Zia.
"Kamu Zia kami, wanita kuat," ucap Roy.
Zia menggeleng.
"Tidak kak, aku tidak sekuat itu," jawab Zia.
"Jangan mengatakan hal itu, kami akan selalu bersamamu," ucap Roy, memeluk sang adik, yang sangat ia sayangi.
"Kalo aku tidak hidup lagi, bagaimana?" Spontan Zia mengatakan hal itu.
"Kamu bicara apa, kamu tidak sayang dengan kami?" sahut ayah Dimas.
"Aku tidak mau menyusahkan kalian," ucap Zia.
"Tidak ada yang menyusahkan, kita keluarga, sudah seharusnya kita saling rangkul, saling melindungi," jawab ayah Dimas.
"Tapi..Laki-laki itu, mau membunuh aku, ayah," ucap Zia, kembali mengingat kejadian saat Rangga akan melukainya.
"Jangan mengingat bajingan itu lagi, dia tidak pantas bersanding denganmu," ucap ayah Dimas.
"Apa kalian mencintai aku?" tanya Zia, menatap keluarganya satu persatu.
"Kakak mencintaimu, kakak lebih mencintai kamu daripada kakak mencintai diri kakak," jawab Roy.
"Benar kata kak Roy, kami sangat mencintai kamu," sahut Rey.
"Kak.." Zia menatap kedua kakaknya.
Roy dengan Rey menatap Zia.
"Apa selama ini, aku tidak bisa menjadi istri yang baik, sampai suamiku tidak pernah mencintaiku, sedikit saja, dia tidak pernah mencintai aku," ucap Zia, menundukan kepalanya.
Bohong kalo Zia tidak merasakan sakit atas pengakuan suaminya, yang selama ini tidak pernah mencintainya, karena selama ini, Zia menganggap suaminya mencintai dirinya, seperti apa kata Rangga.
"Angkat kepalamu, jangan jatuhkan mahkota dirimu, hanya karena laki-laki tidak tahu diri itu," sahut Roy.
Zia menatap kedua kakaknya, air matanya sudah tak bisa ia tahan.
Rey menyusut air mata Zia.
"Jangan pernah menangis, kakak terluka melihat kamu seperti ini," ucap Rey.
"Kak.." Zia memeluk sang kakaknya.
Berbeda dengan Roy, yang sedang menahan emosinya.
"Katakan dengan kakak, kakak harus membunuh laki-laki itu, agar kamu tidak sakit hati lagi?" ujar Roy, menatap Zia.
"Kak..." bisik Rey.
"Tahan emosi kakak, kakak tidak lupakan, kata dokter, tentang kesehatan emosional Zia," bisik Rey.
Roy menghela nafas.
"Maafkan kakak, kakak hanya mencemaskanmu," ucap Roy, memeluk sang adik.
Zia hanya tersenyum, enggan menjawab ucapan sang kakaknya.
"Biarkan Zia sendiri, sepertinya dia tidak mau bicara denganmu," bisik ayah Dimas.
"Maafkan kakak.." ucap Roy.
Namun tidak ada jawaban dari Zia, Zia membuang mukanya, tak mau melihat sang kakak.
"Kak, berikan Zia waktu," ucap Rey.
"Baiklah," jawab Roy, lalu Roy keluar dari ruangan tersebut.
Roy menyesali tindakannya tadi, karena Roy emosi mendengar adiknya.
"Kenapa sih, gak bisa menjaga emosi," gumam Roy.
Lalu Roy meninggalkan ruangan tersebut, ia akan mendinginkan kepalanya dulu.
Roy berniat akan ke restoran terdekat.
"Huh" helaan nafas terdengar dari mulut Roy.
"Harusnya aku bunuh saja dia kemarin," Roy menggerutu.
"Om.." sahut anak kecil, memanggil dirinya.
"Alisa.." ucap Roy.
"Kamu masih disini?" tanya Roy.
"Iya om, nenek dirawat di RS ini," jawab Alisa.
"Lalu, kenapa kamu berkeliaran disini? Inikan tempat umum," tanya Roy.
"Kesepian om, ibu sedang sibuk, mengurus nenek," jawab Alisa.
"Jangan sering-sering jauh dari ibumu, takutnya nanti mereka mencemaskanmu," ucap Roy.
"Ibu tau kok, om," jawab Alisa.
"Terus ibu kamu mengizinkan?" tanya Roy.
Alisa menggeleng.
"Berarti tidak diizinkan, kenapa diam-diam?" tanya Roy.
"Habisnya ibu sibuk," jawab Alisa.
"Lain kali, jangan kayak gitu, nanti ibu dan juga ayahmu mencarimu," ucap Roy.
"Boleh aku disini dengan om?" tanya Alisa.
"Boleh, nanti om antarkan ke ruangan rawat nenek kamu," jawab Roy.
"Om takut, kamu nyasar lagi," sambung Roy..
"Iya om, terima kasih," ucap Alisa.
"Sama-sama," jawab Roy tersenyum.
"Sekarang mau pesan apa?" tanya Roy.
Alisa menggeleng.
"Kenapa? Sudah makan?" tanya Roy.
"Belum," jawab Alisa.
"Lalu kenapa tidak mau makan?" tanya Roy.
"Aku tidak membawa uang, om," jawab Alisa tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya.
"Om yang akan traktir kamu, pesan yang kamu mau," jawab Roy.
Mata Alisa berbinar, merasa senang dengan tawaran Roy.
"Tapi kata ibu, aku harus membalas setiap kebaikan yang orang lakukan dengan kita," ucap Alisa.
"Anggap saja ini balasan dari om, karena kemarin saat om lagi sedih, kamu ngasih om coklat," ujar Roy.
"Serius om?" tanya Alisa.
"Serius, ayo pesan," titah Roy.
"Tapi.." ucap Alisa gugup.
"Tapi, apa?" tanya Roy.
"Kalo boleh, aku mau bungkus buat ibu," ucap Alisa.
"Sepertinya anak ini kurang mampu, kasihan sekali," gumam Roy.
"Kamu makan disini dengan om, terus nanti bungkus buat kamu dan ibu kamu juga," ucap Roy.
"Terima kasih om, semoga aku bisa membalas kebaikan om, dan aku akan selalu mendoakan om," ucap Alisa, si bocah polos itu.
Roy tersenyum menatap Alisa, makanan yang menurut Roy gampang ia dapatkan, justru ada sebagian orang lain yang susah mendapatkannya.
***
bakal berusaha trs mengganggu hdp zia trs
cepat sembuh zia