Area khusus Dewasa
Di mansion kediaman keluarga Corris terdapat peraturan yang melarang para pelayan bertatapan mata dengan anak majikan, tiga kakak beradik berwajah tampan.
Ansel adalah anak sulung yang mengelola perusahaan fashion terbesar di Paris, terkenal paling menakutkan di antara kedua saudaranya. Basten, putra kedua yang merupakan jaksa terkenal. Memiliki sifat pendiam dan susah di tebak. Dan Pierre, putra bungsu yang sekarang masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Sifatnya sombong dan suka main perempuan.
Edelleanor yang tahun ini akan memasuki usia dua puluh tahun memasuki mansion itu sebagai pelayan. Sebenarnya Edel adalah seorang gadis keturunan Indonesia yang diculik dan di jual menjadi wanita penghibur.
Beruntung Edel berhasil kabur namun ia malah kecelakaan dan hilang ingatan, lalu berakhir sebagai pembantu di rumah keluarga Corris.
Saat Edell bertatapan dengan ketiga kakak beradik tersebut, permainan terlarang pun di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lusinda
"Lusinda! Ya ampun, kami sudah menunggu dari tadi." Lady Corris menyapa wanita yang dia panggil Lusinda itu.
Lusinda Valreich. Putri sulung keluarga Valreich. Lahir dari seorang selir yang membuatnya di kenal sebagai putri tidak sah, tapi di hormati oleh keluarga bangsawan lain. Hanya karena adiknya, Fiora Valreich, sang putri sesungguhnya dan pewaris dari keluarga tersebut, di sayangi oleh raja, ratu dan pangeran Xavier. Bahkan Fiora telah diangkat menjadi seorang putri sejak usianya masih kecil.
Namun adiknya itu baru di kabarkan menghilang. Sekarang masih dalam pencarian. Mereka agak kesulitan mencari karena putri Fiora telah kehilangan jejak. Wajahnya yang telah tumbuh dewasa pun tidak dikenali lagi.
Lusinda tersenyum anggun ke Lady Corris.
"Maaf Lady Corris, ayah dan ibuku tidak bisa hadir hari ini karena sedang berada di luar negeri." katanya.
"Oh tidak apa-apa. Ayo, aku kenalkan pada anak sulungku." Lady Corris menarik halus tangan Lusinda ke tengah pesta. Para putri bangsawan lain memperhatikan mereka, tak sedikit yang menunjukkan ekspresi iri mereka. Biar bagaimanapun keluarga Corris termasuk keluarga kerajaan. Tuan Hart Corris adalah adik dari raja, jelaslah banyak keluarga bangsawan yang ingin menikahkan putri mereka dengan para tuan muda dari keluarga tersebut. Dan para wanita itu rata-rata bermimpi berjodoh dengan para laki-laki itu.
Ansel sedang berbincang dengan seorang pria yang sama-sama pebisnis pada saat ibunya datang bersama Lusinda. Meskipun tidak suka dengan niat ibunya yang ingin menjodohkan dia, Ansel tetap bersikap tenang dan terhormat.
Ansel mendongak ketika ibunya datang, senyumnya sopan tapi matanya menyiratkan rasa enggan. Lusinda Valreich berjalan anggun di samping Lady Corris, gaunnya berkilau keemasan, seakan menyatu dengan cahaya lampu kristal di aula itu. Sekilas, pandangan Ansel menangkap mata Lusinda, ada sesuatu yang samar di balik tatapan lembutnya, seperti rahasia yang sengaja disembunyikan. Wanita itu tersenyum padanya, menunjukkan ketertarikannya kepada Anson.
"Ansel, ini Lusinda Valreich. Kau tentu mengenal nama keluarganya, bukan?" ujar Lady Corris dengan nada penuh arti.
Ansel menundukkan kepala sedikit, memberi hormat sopan.
"Ya, ibu sudah mengatakannya berkali-kali." suaranya tenang, meski batinnya bergemuruh.
Lusinda tersenyum, senyum yang tidak terlalu manis untuk menunjukkan kalau dia wanita berkelas, namun cukup untuk membuat beberapa wanita di sekitar mereka terdiam menahan iri.
"Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, tuan Ansel. Ibumu sangat ramah."
"Ibuku memang senang berkenalan dengan banyak orang," balas Ansel, melirik ibunya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke tamu-tamu lain, berusaha menjaga jarak emosional.
Lady Corris tampak puas.
"Aku akan biarkan kalian berbincang. Aku yakin kalian punya banyak kesamaan." setelah itu, ia melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua di tengah keramaian.
Suasana sejenak terasa canggung. Lusinda mengambil segelas anggur dari baki pelayan yang lewat, menatap cairan merah itu sebelum berkata pelan,
"Kau tidak perlu khawatir. Aku tahu ibumu hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku juga pasti akan berusaha menjadi pendamping yang pantas berdiri di sampingmu." kata Lusinda dengan penuh percaya diri. Ansel yang mendengar itu melirik padanya lagi.
"Maaf nona Lusinda, sepertinya kau sudah salah paham. Ibuku memang berniat menjodohkan kita, tapi aku tidak setuju. Aku tidak akan menikah dengan wanita yang tidak aku sukai, terutama yang baru aku kenal." setelah mengatakan itu, Ansel segera berlalu meninggalkan wanita itu.
Ekspresi anggun dan senyum percaya diri yang terpampang di wajah Lusinda menghilang seketika. Digantikan dengan wajah memerah campuran marah dan malu. Namun ia berusaha menutupinya.
Lusinda menghela napas dalam, menegakkan bahunya kembali agar tak seorang pun melihat rapuhnya ia di hadapan penolakan itu. Tatapannya mengikuti punggung Ansel yang menjauh, langkahnya tegap seolah mengabaikan semua pasang mata yang mengawasi. Ia tahu, dalam pesta seperti ini, setiap gerakan bisa menjadi bahan gosip.
Dengan cepat, ia memulihkan sikap. Meneguk anggurnya perlahan, Lusinda menekuk bibir membentuk senyum tipis, seolah penolakan tadi hanyalah gurauan kecil yang tidak penting. Beberapa bangsawan muda yang berdiri tak jauh darinya mulai berbisik, jelas membicarakan kejadian barusan. Namun Lusinda membiarkan saja, matanya memantulkan cahaya kristal, dingin dan penuh perhitungan.
"Aku tidak akan semudah itu disingkirkan, Ansel." bisiknya lirih, hanya untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, Edel masih setia bersembunyi di bawah kolong meja. Sesekali ia membuka sedikit celah kain meja untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Biarlah madam Sin memarahinya nanti, yang terpenting sekarang menyelamatkan nyawa dulu. Nyawanya penting. Kalau dia tiba-tiba mati konyol sebelum mengingat semuanya, kan menyedihkan sekali.
Tadi Edel sempat melihat Lady Corris menyapa senang si perempuan jahat yang mau membunuhnya itu, lalu membawanya berkenalan dengan tuan muda pertamanya. Tapi sepertinya si tuan muda tidak terlalu suka perempuan itu. Entah apa yang dikatakan tuan muda Ansel, yang pasti Edel bisa lihat perubahan wajah wanita itu seperti marah dan malu. Entah kenapa dia tertawa.
Siapa suruh jahat. Mau bunuh orang.
Gumamnya dalam hati. Setelah itu dia bertanya-tanya sendiri, kira-kira apa hubungannya dengan wanita itu sehingga wanita itu mau membunuhnya? Jangan sampai wanita itu melihat di sini, jangan sampai.
krucuk… krucuk
Tiba-tiba perutnya berbunyi. Edel memegangi perutnya. Kenapa harus keroncongan sekarang sih? Gerutunya dalam hati.
Edel buru-buru menutup mulutnya sendiri, seakan suara dari perutnya bisa ikut keluar dan membuat seluruh aula pesta menoleh. Ia menatap ke kanan dan kiri, lalu menunduk lagi, merapatkan tubuh ke kaki meja agar semakin tersembunyi.
"Dasar perut bodoh…" bisiknya lirih, nyaris putus asa.
Di luar sana, pesta terus berlangsung. Musik lembut dari piano bercampur dengan suara gelas beradu dan tawa para bangsawan. Lusinda sudah kembali bersikap anggun, berbincang dengan sekelompok wanita muda yang jelas menahan rasa iri, sedangkan Ansel kini sedang didekati oleh seorang bangsawan pria yang ingin membicarakan bisnis. Semua tampak tenang, kecuali Edel yang jantungnya berdetak tak karuan.
Pelayan lewat, membawa baki berisi kue-kue kecil. Aroma manisnya berhasil menyelinap ke kolong meja, membuat perut Edel semakin keras mengeluh. Ia menutup mata, mencoba mengalihkan pikirannya, tapi justru semakin lapar. Ia sempat menimbang, haruskah ia nekat meraih salah satu makanan dengan cepat? Tapi kalau ketahuan, tamatlah sudah.
Namun tiba-tiba ...
Seseorang berhenti tepat di depan meja tempatnya bersembunyi. Edel bisa melihat sepatu laki-laki. Artinya yang berdiri di depannya adalah laki-laki.
Edel menahan napas. Ia tidak berani bergerak sedikit pun
Deg.
Edel menunduk makin rapat, keringat dingin mulai menetes. Kalau orang itu sedikit saja menyingkap kain ini, habislah dirinya.
Tiba-tiba, perutnya kembali berbunyi.
Krucuuukkk …
Lebih keras dari tadi.
Edel membeku, wajahnya memucat. Orang itu sepertinya mendengar, ia membungkuk dan membuka sedikit celah kain tersebut.
Tatapan mereka bertemu. Hampir saja Edel pingsan, tapi begitu melihat wajah siapa itu, dia tidak jadi pingsan.
Basten.
Ya, si tuan muda kedua. Ia bernafas lega. Dia pikir tadi anak buah Lusinda yang mau menangkapnya.