Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Arundaru berdiri di tengah kafe yang sudah ia sewa sejak sore. Lampu-lampu gantung kecil berwarna kuning keemasan berkelip lembut, seperti kunang-kunang yang menari di udara. Setangkai mawar putih diletakkan di setiap meja, sementara tirai tipis warna krem menggantung melambai pelan terkena hembusan AC. Aroma vanilla dan sedikit kayu manis memenuhi ruangan, membuat suasana hangat dan menenangkan.
Di bagian tengah ruangan, tepat di bawah lampu kristal kecil, terdapat satu meja bundar yang dihias paling cantik. Taplak putih bersih, lilin kecil di tengah, dan sebuah kotak cincin berwarna biru navy terletak manis seperti menunggu saatnya dibuka.
Arundaru menarik napas panjang, keras, berat, dan gemetar.
“Semoga berhasil dan berjalan lancar,” gumam Arundaru sambil mengusap wajah. Kedua telapak tangannya dingin. Bukan karena AC, melainkan karena rasa gugup dan cenderung takut. Dia takut kehilangan harapan, takut ditolak, takut semua yang ia bayangkan tidak berjalan sesuai harapan.
Arundaru berjalan memeriksa setiap sudut kafe. Ia mengatur ulang posisi kursi, memastikan lilin tidak miring, bahkan mengecek kembali apakah kotak cincin berada tepat di tengah meja. Saat ia menyentuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Yumna, semoga kamu mau mendengar semuanya malam ini.” Senyum Arundaru muncul pelan, getir, tetapi penuh harap.
Yumna tiba di depan kafe Tralala membawa dompet kecil di tangan. Dia memakai pakaian kasual, setelan celana kain, cardigan di baliknya kaus panjang, dan jilbab pasmina yang warnanya sepadan sengan atasannya.
Napas Yumna sedikit tercekat ketika melihat papan nama yang dihias dengan lampu-lampu kecil. Padahal ia pikir mereka hanya akan makan biasa. Tidak pernah terpikirkan ada yang berbeda malam ini.
Begitu pintu kafe dibuka, dunia seolah berhenti. Cahaya hangat. Ruangan sepi. Musik instrumental lembut mengalun. Aroma manis menguar.
Di tengah ruangan ada Arundaru berdiri dengan senyum gugup, mengenakan kemeja putih rapi dan celana hitam. Rambutnya disisir lebih baik dari biasanya, dan wajahnya terlihat—entah kenapa—lebih dewasa dari biasanya.
“Ma-Mas Arun?” Suara Yumna tercekat. “Ini … semuanya …?”
Arundaru mengulurkan tangan, gugup namun mantap. “Untuk kamu.”
Yumna tak bergerak beberapa detik. Matanya melebar, bergeser dari meja hias, lilin, bunga, lalu pada kotak kecil di atas meja itu. Tenggorokannya tercekat. “Mas … ini apa?”
“Ayo, duduk dulu!” Arundaru memegang tangan Yumna dengan lembut dan menuntunnya duduk di kursi yang sudah ia siapkan.
Yumna duduk perlahan, masih tercengang. “Mas Arun, apa ini tidak terlalu mewah?”
“Tidak ada kata terlalu mewah untuk orang yang aku cintai.” Suaranya pelan, tapi jelas.
Deg.
Jantung Yumna seperti dipukul dari dalam. Kata itu—cintai—sudah lama tidak mampir ke telinganya.
Arundaru menarik kursi, duduk di hadapan Yumna. Tatapannya tidak lagi canggung seperti biasanya, kali ini ia terlihat mantap, sangat mantap.
“Aku mau bicara dari hati yang paling dalam.” Suara Arundaru bergetar sedikit.
“Yumna … sejak pertama kali kita bertemu, aku mulai jatuh hati sama kamu. Kepedulian, perhatian, dan senyummu sudah membuat hatiku terjerat dan perasaan cinta itu semakin kuat dari hari ke harinya. Sampai aku beranikan diri untuk mengungkapkan perasaan cintaku ini. Karena aku ingin menjadi orang yang selalu ada di sisi kamu sepanjang hidupku,” ucap Arundaru memberi pengakuan.
”Yumna, aku mencintaimu dan aku serius dengan perasaanku ini. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?” lanjut pria itu menatap Yumna dengan mata berbinar.
Yumna menunduk. Pipinya memerah perlahan. “Mas Arun, jangan menggombal.”
“Aku tidak menggombal.” Arundaru menggeleng, senyumnya tipis. “Aku cuma jujur.”
Arundaru pun mencondongkan tubuh sedikit. “Yumna, aku sadar aku bukan pria pertama yang kamu cintai. Aku juga bukan yang pertama hadir dalam hidup kamu. Tapi, izinkan aku menjadi pria terakhir yang kamu pilih.”
Yumna langsung menutup mulutnya dengan tangan. Matanya memanas, karena panas yang berasal dari rasa takut bercampur terharu.
Arundaru mengambil kotak cincin itu. Tangannya gemetar jelas terlihat.
“Kalau kamu menolaknya, aku bisa terima. Mungkin aku akan patah hati, iya. Tapi aku tetap akan menghormati keputusan kamu. Karena mencintai kamu tidak pernah membuatku menyesal.”
Yumna menggigit bibir. Tangannya menggenggam kain celana panjangnya erat-erat.
“Ma-Mas Arun ....” Suaranya pecah. “Aku takut.”
Arundaru tersenyum lembut. “Takut apa?”
“Takut diingkari lagi.” Yumna menatapnya, mata berkaca-kaca. “Dulu aku pernah percaya sama seseorang. Dia bilang mencintai aku, bilang aku sumber kebahagiannya. Tapi akhirnya dia, dia yang bikin aku hampir enggak percaya cinta lagi.”
Arundaru tahu nama itu. Azriel. Dan Arundaru menerima kenyataan itu tanpa cemburu berlebihan. Karena rasa sakit Yumna adalah alasan kenapa ia harus lebih berhati-hati. Ia bergerak mendekat, lalu memegang kedua tangan Yumna.
“Dengarkan aku baik-baik. Aku bukan dia. Aku bukan masa lalu kamu.” Suara Arundaru pelan, tetapi tegas. “Aku ingin jadi masa depan kamu.”
Yumna terdiam. Napasnya naik turun cepat.
“Aku enggak sempurna, Yumna.” Arundaru mengelus punggung tangan Yumna. “Tapi aku janji, aku akan selalu berusaha jadi yang terbaik untuk kamu. Enggak akan menuduh kamu yang enggak-enggak, apalagi tidak mempercayai kamu. Aku enggak akan ninggalin kamu tanpa alasan, apalagi selingkuh. Aku akan selalu ada untuk kamu di saat suka mau pun duka.”
Yumna menunduk lagi. Air matanya menetes diam-diam.
“Tapi Mas ....” Nada suara Yumna bergetar. “Kalau aku belum siap jawab sekarang?”
Arundaru tersenyum tipis. “Tidak apa-apa.” Ia menutup kembali kotak cincinnya perlahan. “Aku enggak menuntut jawaban malam ini.”
Yumna mendongak dengan mata basah. “Enggak?”
“Enggak.” Arundaru tertawa kecil, suara lega dan sedikit getir. “Kalau aku maksain, itu namanya egois. Aku mau kamu terima aku karena kamu benar-benar yakin. Bukan karena kamu kasihan atau takut melukai aku.”
Yumna perlahan menarik napas panjang. Pandangannya melembut. Ada sesuatu yang berubah di matanya, sesuatu yang Arundaru kenali sebagai harapan.
“Mas Arun ....”
“Hm?”
“Kalau aku bilang hati aku sudah mulai condong ke kamu, tapi aku masih takut ....”
Arundaru tersenyum, senyuman yang amat hangat, seperti matahari pagi setelah hujan semalam.
“Itu sudah lebih dari cukup untuk aku.”
Yumna memalingkan wajah sambil menahan tawa kecil yang malu-malu. Jantungnya berdebar, tetapi bukan karena takut. Rasanya hangat, nyaman, dan tenang. Sesuatu yang pernah ia rasakan ketika bersama Azriel dulu.
Arundaru berdiri perlahan, kemudian menepuk bahu Yumna lembut.
“Makan dulu. Kamu pasti lapar.”
Yumna mengangguk, tetapi matanya tak berhenti menatap dekorasi kafe itu. Seakan dia masih belum percaya bahwa semua ini dilakukan hanya untuk dirinya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Yumna merasa dirinya layak dicintai lagi.
“Mas Arun ....” Yumna menatap Arundaru begitu dalam.
“Ya.” Arundaru balas menatap Yumna.
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna