Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5
Ruang kerja itu terlalu besar untuk seorang pria yang jarang keluar dari rumah. Namun setiap detailnya lemari buku tinggi, meja marmer hitam, dinding kaca tebal, dan cahaya lampu kuning hangat memancarkan satu hal, kekuasaan.
Kekuasaan yang tetap melekat pada Arman Pramudya meski tubuhnya terkunci di kursi roda.
Arman masuk perlahan, roda kursinya berderit tipis. Begitu sampai di meja, ia menahan napas sebentar, lalu mengatur posisi duduknya gerakan sederhana yang menuntut sisa kebiasaan sebagai pria penuh wibawa. Rudi menutup pintu dan berdiri tegak.
“Semua sudah rapi, Tuan Arman,” ucapnya dengan sopan.
Arman tidak menjawab. Pandangannya fokus pada layar komputer besar di depan meja. Logo Mission Bar Corporation terpampang jelas.
Rudi mengalihkan mata, menunggu perintah. Arman menekan satu tombol. Data perusahaan terbuka, laporan rapat, grafik saham semua terpajang. Namun Arman belum menyentuhnya.
Ia hanya menatap, seolah mencoba mengingat dirinya sebelum kecelakaan itu merampas seluruh hidupnya. Setahun lalu, semua orang berlomba mendekati CEO muda yang tampan, jenius, dan dingin ini. Tetapi, sekarang hanya sebagian kecil yang tahu siapa Arman sebenarnya. Sisanya hanya melihatnya sebagai duda lumpuh yang mengasingkan diri.
Arman mengembus napas.
“Rudi.”
“Ya, Tuan?”
Arman menoleh, tatapannya gelap, bukan marah tapi berbahaya, dingin dan mengintimidasi. Seperti seorang raja yang memutuskan perang.
“Selidiki dua orang.”
Suara Arman turun seperempat oktaf.
“Mimi ... saudara tiri Kinara.”
Seketika perubahan terjadi di wajah Rudi.
“Dan satu lagi … Rayyan. Mantan kekasihnya.”
Rudi mengangguk cepat. “Baik, Tuan. Informasi apa yang Anda butuhkan?”
“Semua.” Arman mengetukkan jarinya pada meja marmer, iramanya lambat dan teratur.
“Latar belakang mereka.”
“Tempat tinggal.”
“Catatan pekerjaan.”
“Hubungan mereka dengan Kinara sebelum ini.”
Rudi menelan ludah, suaranya ragu ketika bertanya, “Jika boleh tahu … tujuannya, Tuan?”
Arman mendongak sedikit. Cahaya lampu mengenai wajahnya, membuat garis rahangnya tampak lebih tegas, lebih dingin.
“Aku tidak ingin perempuan itu,” Ia berhenti sejenak, rahangnya mengeras,
“membawa dampak buruk pada Aksa.”
Nada itu begitu mantap, begitu keras seakan menegaskan bahwa semua ini hanyalah demi anaknya. Rudi mengangguk, meski matanya memperhatikan sesuatu yang berbeda.
Ada hal lain di balik suara itu. Sebuah nada tak kasat mata halus, samar, dan baru Arman sendiri merasakannya.
Perasaan yang muncul sejak wanita itu berteriak padanya, menantangnya, melindungi Aksa, dan berkata dengan berani bahwa ia tetap akan menjadi ibu tiri, bukan sekadar pengasuh.
Perasaan yang sama sekali tidak pantas dimiliki oleh pria cacat sepertinya setidaknya itulah yang pikirnya, namun wajahnya tetap datar.
Rudi membuka tablet untuk mencatat.
“Ada perintah lain, Tuan?”
Arman menatap layar komputer, tapi matanya kosong jelas pikirannya tidak berada di sana.
“Tidak,” jawabnya tegas. “Keluarkan laporan begitu selesai.”
“Baik.” Rudi membungkuk sopan dan hendak keluar.
Namun sebelum pintu tertutup, Arman menambahkan dengan suara rendah, nyaris seperti gumaman,
“Jangan biarkan siapa pun … terutama dua orang itu … mendekati Kinara.” Rudi mengangguk dan menutup pintu ruangan setelahnya.
Malam itu, rumah besar itu sunyi kecuali suara tawa kecil Aksa yang memecah keheningan. Rudi baru kembali dari perusahaan, awalnya dan ketika ia melangkah masuk, pemandangan di ruang keluarga membuatnya berhenti di ambang pintu.
Kinara duduk bersila di karpet, rambutnya diikat asal, wajahnya lembut diterangi lampu kuning redup. Aksa di pangkuannya, mencoret-coret buku gambar besar. Namun yang membuat langkah Rudi terhenti adalah gambar yang dia lihat.
Sebuah garis lengkung, pepohonan dan di tengahnya sebuah bangunan kecil bersiluet gelap dengan satu jendela menyala. Gambar itu tampak sederhana bagi anak kecil, tetapi simbolnya sangat familiar bagi Rudi hanya beberapa orang yang pernah mengetahuinya.
'Kenapa Nyonya Kinara mengajari Aksa gambar itu? Darimana dia tahu?' Rudi memejamkan mata sejenak, mengingat hari pertamanya masuk rumah ini. Ada banyak hal yang ia lihat sekilas hal-hal yang ia simpan karena tak ingin menyalakan bara yang masih tidur.
Kinara mendongak, menyadari kehadirannya.
“Pak Rudi,” katanya sambil tersenyum kecil, “Anda mencari sesuatu? Mau bertemu Pak Arman?”
Rudi mengangguk sambil menjaga ekspresi tetap netral. “Iya, Nyonya.”
Kinara menghela napas panjang, menggeleng, lalu memutar bola matanya gerakan khasnya sejak hari pertama.
“Dia masih di ruang kerjanya. Dari pagi sampai malam tidak bergerak ke mana-mana. Entah apa menariknya duduk sendirian begitu lama.” Nada sinis itu tidak disembunyikan.
“Pantas saja hidupnya sesuram itu. Dia bahkan tidak tahu cara menikmati udara luar.”
Rudi tersenyum samar mendengar komentar itu bukan mengejek, lebih seperti seseorang yang tahu terlalu banyak tapi memilih menahan diri.
“Kalau boleh jujur, Nyonya…” Rudi menatap Kinara dengan lembut namun penuh makna.
“Anda … belum benar-benar mengenal Tuan Arman.”
Kinara mengangkat bahu, jelas tidak peduli. “Aku tidak perlu mengenalnya.”
Rudi hanya tersenyum tipis, senyum yang mengandung banyak rahasia yang tidak siap dia ungkapkan, terutama kepada wanita yang kini menjadi pusat perhatian bosnya.
“Kalau begitu, saya pamit dulu,” ucapnya.
Dia berlalu, meninggalkan Kinara yang kembali meniup rambut Aksa sambil menggoda anak itu agar mewarnai dengan benar. Namun sebelum Rudi benar-benar memasuki lorong menuju ruang kerja Arman, ia menoleh sekali lagi. Aksa menggambar bangunan gelap itu dengan pola yang terlalu tepat untuk ukuran anak usia segitu.
Rudi tiba di depan ruangan kerja Arman, dengan napas berat, Rudi mengetuk pintu ruang kerja Arman.
Di balik pintu itu, ia tahu ada seseorang yang sedang mencoba membunuh masa lalunya sendiri sementara masa lalu Kinara perlahan muncul di depan mata. Dan keduanya entah bagaimana sedang berjalan menuju satu titik benturan yang tidak akan bisa dihindari.
Rudi menutup pintu ruang kerja perlahan, memastikan tak ada suara yang bocor keluar. Arman tidak menoleh. Ia duduk tegak di kursi rodanya, punggung lurus, jari mengetuk sisi meja kayu mahoni dengan ritme teratur tanda ia sedang menahan emosi.
“Bagaimana?” tanyanya datar, tanpa menatap.
Rudi menelan ludah. “Saya sudah menemukan yang Anda minta, Tuan.”
Hening sesaat, lalu Arman menggeser sedikit kursinya, memberi isyarat agar Rudi bicara.
Rudi membuka map cokelat tebal. “Nama saudara tirinya … Mimi Maheswari. Dia tinggal bersama ibunya, dan ayah kandung Kinara dulu. Setelah ayah Nyonya Kinara meninggal dalam kecelakaan satu tahun lalu … Nyonya Kinara diusir dari rumah, tanpa warisan sepeser pun.”
Arman akhirnya mengangkat kepalanya. Sorot matanya masih dingin, tapi ada sedikit kilat tajam kilat yang hanya muncul saat sesuatu membuatnya tidak suka.
“Kecelakaan seperti apa?” tanya Arman.
“Tidak jelas, Tuan. Laporannya … tampak janggal. Seolah sengaja ditutupi.”
Rudi menahan napas. “Dan Mimi dan ibunya yang mengusir Nyonya Kinara tepat setelah pemakaman.”
Jari Arman berhenti mengetuk meja.
Rudi melanjutkan, “Rayyan … pria yang tadi muncul di depan gedung catatan sipil … dia adalah calon tunangan Nyonya Kinara dulu. Tapi setelah Nyonya Kinara terusir, Mimi mengambil alih. Mereka berdua sekarang tinggal bersama dengan ibunya Mimi.”
Arman menajamkan tatapannya. “Jadi mereka mengkhianatinya.”
Rudi mengangguk perlahan. “Iya, Tuan. Dan satu hal lagi … cukup mengejutkan.”
Ia menyerahkan berkas lain.
“Nyonya Kinara lulus sebagai lulusan terbaik Farmasi. Nilainya … sempurna. Dan harusnya dia pemimpin perusahaan Thropy sebelum masalah keluarganya membuat semua itu berhenti.”
Arman kembali diam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi Rudi tahu pikirannya bergerak cepat.
“Perusahaan Thropy…” gumam Arman pelan sambil membuka map.
Rudi mengangguk. “Baru saja ada rencana penandatanganan kerja sama dengan Mission Bar. Dan … perusahaan itu nantinya akan dipimpin oleh Rayyan setelah menikah dengan Mimi.”
Kali ini, reaksi Arman terlihat jelas. Ia mengerutkan kening dalam untuk Arman, itu setara dengan orang lain meninju meja.
“Menarik,” katanya dingin. Lalu matanya menatap lurus ke berkas seolah ingin membakarnya.
Kemudian, tanpa ragu sedikit pun, “batalkan kerja sama itu.”
Rudi terpaku. “T-Tuan?”
Arman mengangkat wajah, tatapannya setajam pisau bedah.
“Aku tidak akan bekerja sama dengan perusahaan yang dipimpin oleh pria sepertinya.”
Nada suaranya turun satu oktaf gelap, dingin, berbahaya.
“Dia tidak layak berada di orbit yang sama dengan Mission Bar.”
Rudi hampir ingin bertanya apakah keputusan itu murni untuk mencegah pengaruh buruk pada Aksa atau karena alasan lain yang Arman sendiri belum sanggup akui. Arman menambahkan dengan suara rendah yang mengandung sesuatu, amarah, proteksi, dan cemburu.
“Tidak ada orang yang pernah menginjak-injak istri Arman Pramudya tanpa menerima balasannya.”
Rudi menunduk. “Baik, Tuan. Saya mengerti.”
Saat ia hendak pergi, Arman kembali bersuara, pelan namun tegas,
“Dan Rudi … cari tahu lebih banyak tentang kecelakaan ayahnya.”
Tatapannya menajam.
“Aku punya firasat … ini bukan kecelakaan biasa.”
Rudi membungkuk hormat. “Siap, Tuan.” Ia keluar meninggalkan Arman dalam kesunyian.
Di luar pintu, Rudi bisa mendengar Aksa tertawa kecil bersama Kinara suara yang membuat suasana rumah besar itu terasa sedikit hidup.
Namun di balik pintu tertutup itu, Arman hanya menatap berkas di hadapannya.
"Kinara..." gumam Arman pelan.
Sekarang Arman sudah sukses, jangan harap kamu bisa kembali lagi Amira
pilih yg pasti pasti Ajja Arman..
yg sudah jelas tulus tanpa syarat 👍👍
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....