"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Ternyata mengucapkan istighfar saja tidak mampu memperluas rasa sabarku, entah karna aku tidak memiliki kesabaran yang luas, atau karna di uji berulang kali oleh Mas Erik. Semakin lama menahan diri, rasanya semakin ingin meluapkan amarah padanya. Di tambah lagi dua paper bag penuh yang ada di pangkuan ku saat ini. Aku tidak kuasa menolak saat Mama memberikan barang-barang itu pada ku.
Kaget bercampur bingung, itu yang aku rasakan ketika menerima semua barang dari Mama yang di beli dari toko underwear. Aku pikir Mama membeli barang-barang itu untuk dirinya sendiri, ternyata malah semuanya di limpahkan padaku. Dengan alasan ingin menyenangkan menantu sekali-kali, Mama memberikan baju tidur, beberapa lingerie, celana da lam dan kaca mata penutup dada berbagai warna.
Aku yang di belikan barang-barang ini, anehnya malah Mas Erik yang terus mengulum senyum sejak keluar dari toko underwear. Sepertinya ada yang salah di kepala Mas Erik. Ingin rasanya aku mencubit ginjalnya sekali-kali. Apalagi saat dia melirik ku dan melempar senyum penuh arti tanpa dosa, seolah-olah hubungan kami seharmonis itu.
Mobil Mas Erik berhenti di halaman rumah Mama. Kami bergegas turun, tidak mungkin juga hanya mengantar Mama sampai di depan rumah, lalu pulang lagi tanpa mampir meski hanya sebentar. Mama yang lebih dulu turun dari mobil dengan barang belanjaannya, sementara aku melempar paper bag ke jok belakang. Sedikit kesal. Ya, kesal saja pada pria yang tengah menatapku.
"Bulan, kok dilempar? Kalau Mama tau bisa tersinggung." Teguran pelan nan lembut itu berhasil membuatku menarik nafas dalam.
"Iya maaf." Hanya itu yang lolos dari bibirku sebelum turun dan menyusul Mama.
Orang-orang ada di rumah karna hari libur. Erina langsung menyambut ku begitu aku masuk. Setelah bersalaman dengan Papa, aku di tarik Erina dan di ajak ke kamarnya.
"Loh,, mau di bawa kemana menantu Mama?!" Teriak Mama.
"Pinjem dulu Mah, aku mau curhat, biar urusan anak muda." Jawab Erina yang sempat menoleh kebelakang sebelum menaiki anak tangga.
Aku yang tidak bisa menolak, hanya pasrah saja ketika di ajak masuk ke kamarnya.
"Kak, aku mau kasih tau sesuatu. Tapi sebaiknya jangan sampai Mama dan Papa tau dulu soal ini." Dengan wajah serius, Erina bicara padaku setelah mengunci kamar.
Aku yang awalnya biasa saja, mendadak jadi penasaran. "Memang soal apa Er?"
"Sini, duduk dulu." Erina mengajakku duduk di sofa. Dia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku memperhatikan gerak-gerik Erina yang tengah membuka galery di ponsel.
"Sebelum menunjukkan rekaman ini, aku mau memberitahu sesuatu dulu sama Kak Bulan, tapi janji ya jangan kaget." Pintanya.
Aku mengangguk pelan. "Ada apa memangnya?" Sungguh, aku benar-benar dibuat penasaran, terlebih pada rekaman di tangan Erina.
"Sebelum menikah dengan Kak Bulan, Kak Erik punya pacar." Ungkapnya.
"Oh,, aku pikir apa. Semua orang pasti punya masa lalu, Erina." Sahutku tersenyum santai.
"Tapi bukan itu saja yang mau aku kasih tau, Kak Bulan dengerin dulu ya, ceritanya lumayan panjang." Ucap Erina dan tampak menarik nafas dalam. Aku hanya mengangguk.
"Jadi Mas Erik dan pacarnya beda keyakinan,,,"
Erina menceritakan kisah percintaan Mas Erik dari awal sampai akhir. Cerita itu sudah sempat aku dengar dari Mas Erik di malam pernikahan kami. Tapi Versi Mas Erik tidak selengkap yang Erina ceritakan padaku.
"Setahun lalu, keluarga kami datang baik-baik ke rumah Kak Celine untuk memutuskan hubungan mereka. Kedua orang tua Kak Celine tentu saja menerima keputusan itu dengan senang karna mereka juga tidak setuju melepaskan Celine jika harus mengorbankan keyakinannya."
Erina menghela nafas berat. "Aku pikir malam itu menjadi malam terakhir keduanya menjalin hubungan, ternyata sampai sekarang mereka masih berhubungan." Erina tiba-tiba menggenggam tanganku.
"Sungguh aku tidak berniat membuat Kak Bulan terluka dengan fakta ini. Aku tau betul bagaimana sifat Kak Erik. Jika aku menegurnya dan memintanya memutuskan Kak Celine, rasanya hanya buang-buang waktu." Sorot mata Erina tampak putus asa.
"Kak Bulan kok biasa saja? Apa jangan-jangan sudah tau?" Selidiknya curiga.
Aku bingung harus bereaksi seperti apa di depan Erina. Tidak mungkin juga pura-pura terkejut. Akhinya memilih menggeleng saja.
"Aku dan Mas Erik menikah karna di jodohkan. Dia mungkin masih mencintai wanita itu, lalu aku bisa apa?" Tanyaku tenang.
"Loh, kok begitu sih Kak? Minimal marah, temui Kak Celine dan beri peringatan. Bilang sama dia supaya menjauhi Kak Erik." Seru Erina tersungut-sungut.
Aku terkekeh. Siapa yang di sakiti, siapa yang emosi.
"Kak Bulan tidak salah tertawa?"
"Erina, jika kamu berharap aku akan melabrak Celine, maka jangan berharap apa-apa. Sungguh, aku tidak akan membuang waktu dan tenaga untuk orang seperti itu." Aku berucap yakin dan sampai kapanku tidak akan pernah menemui Celine hanya untuk melepaskan Mas Erik.
"Rasanya aku tidak perlu tunjukkan rekaman ini. Meskipun disini Kak Celine mengatakan akan menghancurkan rumah tangga kalian dan menikah dengan Kak Erik, sepertinya tidak bisa mengubah keadaan." Lirih Erina sembari memasukan ponselnya lagi ke dalam kantong celana.
"Padahal Kak Erik orang perasa, tidak mudah juga meluluhkan hatinya. Apalagi kalian tinggal serumah. Menyingkirkan Kak Celine dari hati dan hidup Kak Erik sangat mudah. Cukup Kak Bulan memberinya perhatian, membuat Mas Erik merasa diandalkan. Dia sangat suka jika ada yang bergantung padanya karna merasa berarti." Ujar Erina panjang lebar.
*****
Selepas keluar dari rumah Mama. Aku merenungi semua ucapan Erina. Banyak perkataan Erina yang tidak sedikit mampu membuka pikiranku. Mas Erik memang bukan pria yang buruk, hanya saja dia belum bisa merelakan masa lalu dan menerima takdirnya.
"Kapan Mas Erik mengajakku bertemu dengan Celine?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya.
"Huh?!" Mas Erik tampak terkejut, sontak aku menoleh.
"Apa bisa sekarang saja?" Bukan tanpa alasan aku ingin segera dipertemukan dengan Celine. Aku ingin semuanya jelas dan memastikan Mas Erik tidak berbohong soal putusnya hubungan dengan Celine.
"Soal itu, nanti aku cari waktu yang tepat. Celine belum terima aku memutuskannya, khawatir dia nekat melakukan sesuatu pada kamu." Ujarnya menjelaskan.
"Seperti itu?" Tanyaku sedikit tidak yakin. Apa bedanya bertemu sekarang atau nanti. Lagipula aku mengajak bertemu bertiga, bukan hanya aku dan Celine saja. Kalau hanya khawatir Celine melakukan sesuatu pada ku, bukankah dia tinggal memintaku jaga jarak dan memastikan Celine tidak lepas kendali.
"Kenapa kamu menatapku begitu, tidak percaya ya?" Tanyanya.
"Mas Erik pikir, siapa yang bisa menerima alasan seperti itu? Kalau takut dia lepas kendali, kan bisa duduknya jauhan. Lagipula apa gunanya aku meminta kita bertemu bertiga kalau Mas Erik hanya akan diam saja jika dia melakukan sesuatu.!" Tegas ku.
"Iya, iya. Nanti aku atur dulu waktunya, tapi tidak hari ini juga ya."
"Alasan!" Lirih ku dan memilih membuang pandangan ke luar jendela.
Erina Delia pinter jdi kompor mleduk.....lgsung tuh bulan di bawa kabuurr 😄😄😄😄😄
bisa"nya dulu cuek sma Bulan skrg sebaliknya ga bsa klirik cwo lain 😁