Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22.
Fadila hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa selain memangku Anan. Pikiran Fadila benar-benar kosong saat ini. Tidak mampu memikirkan apapun selain mendekap putranya.
Sampai Anan tertidur di pangkuannya, Fadila tak mau melepaskan bocah gembul itu saat Marni menawarkan untuk membawanya ke kamar.
Dwi dan Sinta datang bersama pasangan mereka maisng-maisng. Ada juga Jack yang masuk ke membawa beberapa paper bag. Di belakang pria itu ada dua orang wanita yang membawa tas berbentuk kotak.
"Fa! Kamu kenapa?" Dwi dan Sinta menghampiri Fadila yang diam bagaikan patung.
Fadila tersentak ketika Sinta mengguncang pundaknya. Pandangan wanita itu yang tadinya kosong kini beralih ke dua temannya dan orang-orang yang ada di sana.
"Bawa aku pergi dari sini, Dwi, Sinta! Aku gak mau di sini." Fadila panik lagi saat ingat dia akan di nikahkan tanpa alasan yang jelas.
"Tapi kamu mau menikah, Fa." Dwi berusaha menahan Fadila.
"Aku gak mau nikah, Dwi. Aku gak kenal dekat sama mas Arnan dan keluarganya. Bagaimana aku bisa nikah tanpa cinta? Apa jadinya keluargaku nanti? Aku gak mau gagal untuk yang kedua kalinya."
Fadila benar-benar ketakutan saat ini. Dwi dan Sinta tentu dapat melihat itu dengan jelas.
"Fa, percaya sama kami. Kali ini kamu bakalan bahagia. Kami kenal sama Arnan dan keluarganya. Bahkan papa juga kenal, mereka keluaga baik-baik, Fa. Percayalah!" Sinta menggenggam erat tangan Fadila.
Menatap penuh keyakinan pada Fadila dengan harapan temannya itu mengerti.
"Tapi gak begini, Sin? Pernikahan ini tanpa cinta, aku ..."
"Apa dengan cinta kamu bahagia? Apa laki-laki yang kamu cintai memberikan pernikahan yang menjanjikan padamu?" Fadila terdiam menunduk mendengar ucapan Dwi.
"Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, Fa. Kami semua sebagai jaminan kalau Arnan gak akan pernah menyakiti kamu. Kalau dia sampai menyakiti kamu, maka kami yang akan habisi dia." Sinta mengepalkan tangan kanannya.
"Bukannya kamu sudah berjanji untuk mengabulkan harapan Anan, Fa? Inilah harapan kecilnya. Seorang daddy yang bisa melindungi dia dan kamu. Seorang daddy yang bisa memberinya kasih sayang, selain ibu. Baby boy kita butuh itu, Fa."
Dwi meremat pelan bahu Fadila yang bergetar karena tangisnya. Fadila mengecupi wajah anaknya yang tertidur.
"Mami!" Anan terbangun karena merasakan dingin dari air mata Fadila yang mengenai wajahnya.
"Mami, tenapa angis? Mami, malah cama aku?" Tanya Anan dengan kedua mata yang ikut berkaca-kaca melihat maminya menangis.
"Mami gak marah sama kamu, Nak. Mami nangis karena senang mau nikah sama daddy." Fadila menatap Dwi dengan alis bertaut.
Yang di tatap hanya nyengir saja.
"Ikah itu, apa?" Tanya Anan tak mengerti.
"Nikah itu artinya, Anan bisa selamanya tinggal sama daddy. Setiap hari Anan bisa ketemu daddy," ucap Sinta yang membuat kedua mata Anan yang tadi hendak menangis jadi cerah.
"Daddy ndak akan pelgi lagi, Bun?"
"Iya," ucap Sinta tersenyum lebar.
Anan bergerak duduk di pangkuan maminya.
"Mau daddy, Mam. Aku mau bobok cama, daddy." Semangat Anan yang membuat hati Fadila tak tega.
Wanita itu tersenyum tipis pada anaknya yang sedang tersenyum lebar.
"Iya," sahut Fadila singkat yang membuat seseorang tersenyum senang pula.
Meski terkesan memaksa menggunakan Anan. Hanya itu satu-satunya cara yang dia bisa lakukan agar Fadila jadi miliknya.
"Gimana ide, Mama? Oke, kan?" Marni berbisik pada Arnan yang berdiri tak jauh dari sofa di mana Fadila dan teman-temannya duduk.
"Terimaksih, Ma." Marni tersenyum bahagia melihat anaknya bahagia juga.
Beberapa saat kemudian, semua persiapan sudah selesai. Fadila juga sudah berganti memakai kebaya sederhana namun modis. Dengan make up natural membuatnya terlihat seperti gadis muda yang baru pertama kali menikah.
Pemuka agama mulai melakukan tugasnya mebikahkan pasangan pengantin dadakan itu. Hingga kata sah terucap dari para saksi yang hadir di sana.
Meski sederhana namun penuh kesan bagi Arnan. Sedangkan Fadila tak mampu mendeskripsikan perasaannya saat ini. Ia hanya membulatkan tekadnya menjalankan pernikahan itu demi anaknya.
Mungkin juga demi keutuhan rumah tangganya dan pernikahannya yang kedua ini. Fadila tidak ingin merasakan sakitnya kegagalan lagi.
"Selamat, Fa! Kamu akhirnya menikah lagi." Sinta memeluk Fadila setelah pernikahan selesai.
Selamat, Fa! Walau aku kesel karena di dului sama kamu. Tapi gak masalah, semoga kalian bahagia selalu." Dwi ikut memeluk Fadila bersama Sinta.
"Itut peluk, Mi." Anan yang tadi di pangku Devan berlari mendekati Fadila dan dua temannya untuk ikut di peluk.
"Ugh ... Baby boy." Dwi mencubit pelan kedua pipi gembul Anan.
"Sekarang Anan sudah bisa tinggal sama daddy," ucap Sinta.
"Salam daddy, Nak." Perintah Dwi pada Anan yang langsung beranjakn mendekati Arnan.
"Tayang, Daddy." Arnan tersenyum mendengar ucapan sederhana Anan itu.
Hati pria itu sangat berbunga dan bahagia saat ini. Mendapatkan istri plus anak, mungkin nanti akan ada anak lainnya.
"Daddy, juga sayang sama kamu." Arnan mengecup kedua pipi Anan.
"Salim kakek, nenek." Arnan menunjuk kedua orang tuanya yang duduk tak jauh darinya.
Anan berjalan pelan mendekati Marni dan Simon. Marni langsung menyambut Anan dengan pelukan dan kecupan setelah bocah itu menyalami tangannya dan sang suami.
"Gemasnya cucu, Nenek. Gak nyangka bisa punya cucu secepat ini ya, Pa?" Marni menatap suaminya sebentar lalu kembali melihat Anan di pangkuannya.
"Iya, Ma. Gemesin banget cucu kita ini." Simon tak kalah gemas dengan Anan.
Keuda orang tua itu saling berbincang dengan Anan. Menjawab dan bertanya pada Anan segala hal yang bisa di pertanyakan.
Fadila tersenyum tipis melihat anaknya yang begitu bahagia memiliki keluarga lengkap. Apa keputusannya ini sudah tepat? Fadila berharap keputusannya tepat, agar tak ada penyesalan di hatinya kemudian hari.
Semua orang sudah pamit pulang termasuk para sahabat mereka. Kini Fadila sudah harus menetap bersama suaminya.
Pakaiannya dan Anan akan di antarkan oleh supir nantinya.
Fadila menghela napas saat menggendong Anan menuju sebuah kamar yang kini menjadi kamarnya juga.
"Kenapa?" Tanya Arnan saat mendapati Fadila diam tak bergerak.
Fadila mengangkat kepalanya menatap Arnan di sampingnya.
Arnan yang sudah mengerti alasan diamnya sang istri langsung membuka pintu kamar. Fadila sedang menggendong Anan, tentu sulit membuka pintu.
"Ayo, masuk. Sekarang ini kamar kamu dan Anan juga." Arnan menuntun Fadila agar masuk ke dalam kamarnya.
Aroma maskulin langsung menusuk indra penciuman Fadila. Aroma pria di sampingnya memang sangat menggoda.
Suasana kamar juga terlihat sangat elegan tapi macho. Layaknya kamar pria sejati yang suka segala sesuatu yang macho.
"Mas, berharap kita bisa memulai hubungan ini dengan baik tanpa adanya rasa canggung." Fadila menatap Arnan yang duduk di sampingnya.
Mengangguk saja sebagai jawaban dari ucapan Arnan. Fadila tak tahu harus berkata apa saat ini.
gk laku.fadila orang yg setia..
pasangan saling setia
sangat mengecewakan Thor....
ambisi terlalu tinggi sampai tega menghancurkan rumah tangga anaknya....
😱😱