NovelToon NovelToon
MY ARROGANT EX HUSBAND

MY ARROGANT EX HUSBAND

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Wanita Karir / Trauma masa lalu
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Agura Senja

Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.

Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.

Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!

Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.

Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?

***

"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."

"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Ibunya!

"Maaf," lirih Ravendra setelah melihat netra gelap wanita di pangkuannya tampak berkaca. Emosi yang memenuhi tatapan wanita itu membuatnya tidak nyaman.

Gaitsa segera berdiri setelah Ravendra melepas pelukannya. Mundur beberapa langkah, wanita itu hampir terjatuh kalau tidak mengingat harus tetap berdiri tegak di depan pria arogan yang hampir membuatnya tertipu. Ravendra tidak pernah menatap Gaitsa dengan lembut atau memberikan senyum hangat.

Pria itu selalu menampilkan raut jengkel dan pandangan merendahkan setiap kali mereka bersitatap. Ravendra merasa gila karena ingin mencumbu Gaitsa? Benar-benar omong kosong! Kalau ingin mengatakan hal lucu seperti itu, kenapa tidak saat mereka menikah? Kenapa tidak mengatakan kebohongan itu saat hakim belum mengetuk palu?

Gaitsa hampir tertawa mengejek. Bagaimana ia bisa tersipu mendengar godaan sampah dari pria yang langsung meninggalkannya begitu saja setelah malam pertama pernikahan mereka?

Tidak peduli seberapa keras Gaitsa menghapusnya, air matanya kembali jatuh tanpa izin. Wanita itu langsung pergi dan mengabaikan panggilan Ravendra juga tatapan penasaran Denara.

Gaitsa tidak mudah sakit hati terhadap apa pun yang orang katakan atau lakukan padanya, tapi Ravendra selalu berhasil membuatnya merasa lemah.

"Dasar bodoh."

Mungkin bodoh saja tidak cukup menggambarkan betapa wanita itu mudah sekali merasa terluka. Ravendra adalah satu-satunya orang yang membuat Gaitsa menangis, merasakan sakit hati teramat hanya karena pria itu menatap rendah padanya.

***

Pria berusia tiga puluh tahun itu mengusap wajah kasar. Ia tidak mengerti apa yang membuatnya melakukan hal gila seperti itu, apalagi pada wanita yang mengambil seluruh atensi ayahnya.

Mahendra mengirim Ravendra dan adik perempuannya ke luar negeri tanpa sebab saat mereka masih sangat kecil. Mereka bahkan dilarang pulang dan bertemu sang ibu. Tiga tahun kemudian ibunya meninggal. Sakit, katanya. Ravendra mencoba mempercayai ayahnya yang mengatakan ibunya memang sudah lama sakit.

Gaitsa sudah ada di rumah utama, seseorang yang katanya tiba-tiba dibawa oleh Mahendra. Ravendra bahkan tidak tahu identitas gadis itu. Kenapa ayahnya berbaik hati merawat anak perempuan lain sedangkan dua anak kandungnya dikirim ke luar negeri?

Ravendra tidak pernah mendapat jawaban. Ia hanya akan berakhir bertengkar hebat dengan pria tua itu setiap kali meminta penjelasan tentang Gaitsa. Ravendra sempat berpikir gadis itu adalah anak sang ayah bersama wanita lain, tapi hasil tes DNA mengatakan sebaliknya.

Ravendra benci bagaimana ayahnya memperhatikan segala hal tentang Gaitsa, bahkan menceritakan kecerdasan anak itu kemana pun ia pergi. Hanya ada nama Gaitsa yang disebut, seolah gadis itu adalah putri kandungnya.

Hah, lucu! Bagaimana ia bisa menyayangi Gaitsa sedangkan mengabaikan putri kandungnya sendiri? Ravendra tidak pernah mengerti. Ayahnya tidak memberi pengertian atau mencoba menjelaskan kalau memang semuanya hanyalah salah paham.

Usia adiknya masih lima tahun saat ia harus meninggalkan rumah dan jauh dari orangtuanya. Ia bahkan tidak diizinkan pulang saat ibu mereka meninggal. Adiknya nyaris tidak memiliki kenangan yang bisa diingat dengan ibu kandungnya.

Bagaimana Ravendra bisa memaafkan Gaitsa yang merebut seluruh tempat yang seharusnya menjadi milik adik perempuannya? Gadis itu bahkan menangis di pemakaman seseorang yang bukan ibu kandungnya. Hanya sekali lihat Ravendra tahu Gaitsa pasti berada di sisi ibunya selama tiga tahun terakhir.

Ravendra membenci semua hal tentang Gaitsa, tapi kenapa hanya wanita itu yang bisa ia sentuh tanpa merasa mual, takut atau gemetar selain adik perempuannya? Ia tidak ingat sejak kapan memiliki trauma terhadap perempuan. Ravendra hanya tahu bahwa wanita sangat menakutkan.

Haah ... pria itu menghela napas, kepalanya terasa berat.

"Permisi, Pak."

Panggilan itu membuat Ravendra menoleh, hanya untuk menemukan sekretarisnya berdiri di ambang pintu.

"Bapak tidak pulang?" tanya Denara lembut.

Ravendra selalu bertemu wanita yang berusaha mencari perhatian dan menggodanya, tapi Denara untungnya tidak. Wanita itu selalu bersikap sopan. Hasil kerjanya juga bagus. Ravendra tidak mau merekrut sekretaris lagi. Sudah cukup.

Ia pernah mempekerjakan sekretaris laki-laki, tapi hasilnya sama. Ravendra masih merasa merinding dengan pengakuan cinta yang ia terima waktu itu.

"Pulanglah duluan, Denara,” perintah Ravendra tegas.

***

Gaitsa berdiri gugup di depan sebuah pintu apartement yang berada dua lantai di atas tempat tinggalnya. Ia pergi ke tempat penitipan, tapi ternyata orang yang bertugas berjaga harus pulang kampung dan belum ada yang menggantikan.

Karena Biyu satu-satunya yang belum dijemput, psikolog anak yang baru bekerja di sana selama satu bulan terakhir membawa Biyu ke apartementnya. Gaitsa mengingat gadis kecil yang sering ia lihat ketika menjemput Biyu. Katanya anak itu bersikeras membawa Biyu ke rumahnya daripada dititipkan ke tempat lain.

"Siapa?" Suara lembut menyahut setelah Gaitsa menekan bel beberapa kali.

"Maaf mengganggu, tapi katanya Biyu dibawa ke sini? Saya ibunya."

Pintu langsung terbuka setelah Gaitsa mengatakan maksud kedatangannya. Keningnya mengernyit dengan kecepatan luar biasa wanita bersurai hitam panjang yang muncul dengan senyum cerah. Bukankah ia harusnya mengkonfirmasi ke pihak penitipan dulu?

Langsung membuka pintu setelah seseorang datang dan mengaku sebagai ibu dari bayi tujuh bulan yang belum bisa mengenali orang asing, bukankah wanita itu terlalu ceroboh? Gaitsa tiba-tiba meragukan keabsahannya sebagai psikolog anak.

"Ah, aku bukannya ceroboh!" ujar wanita itu setelah Gaitsa menatapnya dengan seksama. "Pihak penitipan sudah memberikan fotomu, makanya aku langsung membuka pintu."

Lalu kenapa masih bertanya 'siapa'?

"Itu kebiasaanku untuk bertanya siapa yang datang," lanjutnya seraya terkekeh malu.

Gaitsa mengangguk dan tersenyum maklum. Bukan karena ia menerima alasan sederhana wanita itu, tapi caranya menjawab semua keraguan Gaitsa padahal ia tidak mengatakan apa-apa, membuatnya terlihat agak menakutkan. Apa semua psikolog memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain?

"Dengan membaca ekspresi wajah seseorang, kita bisa membaca apa yang dia pikirkan. Silahkan masuk," ucap wanita itu seraya membuka pintu lebih lebar, setelah lagi-lagi mengejutkan Gaitsa karena berhasil menjawab apa yang sedang ia pikirkan.

"Terima kasih." Gaitsa mengatakan 'permisi' saat memasuki rumah seseorang yang baru saja ia temui. Rapi dan elegan. Rumah seseorang mencerminkan kepribadian pemiliknya. Gaitsa bisa melihat beberapa lukisan tergantung di dinding putih yang tampak polos.

"Suamiku menyukai seni," katanya setelah melihat Gaitsa memperhatikan salah satu lukisan. "Dia mendapatkan lukisan itu sebagai hadiah, katanya dari temannya teman."

Wanita itu tertawa kecil ketika menceritakan tentang suaminya, sedangkan Gaitsa merasa jantungnya diremat dengan kuat. Sesak dan menyakitkan. Lukisan itu adalah hadiah yang ia berikan pada Ravendra di hari pernikahan mereka. Gaitsa melukisnya sendiri.

"Di mana Biyu? Ini sudah sangat larut, saya harus segera membawanya pulang."

Wanita bersurai panjang itu menoleh pada Gaitsa yang sedang tersenyum kikuk dan segera membawanya ke salah satu kamar. Gaitsa segera mengangkat bayinya yang tertidur di samping seorang gadis kecil. Senyumnya getir saat merasa familiar dengan netra coklat gadis itu. Kenapa tidak pernah terpikir bahwa gadis kecil itu adalah anak Ravendra?

Gaitsa segera berpamitan setelah mengucap terima kasih berulang kali, sebisa mungkin menyembunyikan emosi yang kembali menyelimutinya setiap kali melihat wajah wanita itu.

Ia tidak sempat memperhatikan wajah wanita yang sedang dipeluk Ravendra setahun lalu. Gaitsa juga tidak pernah melihat video yang ia ambil dengan ponselnya. Bagaimana Gaitsa sampai tidak mengenali wanita itu? Orang yang membantunya memiliki alasan untuk mengajukan gugatan cerai.

Seseorang yang menerima tatapan hangat dan penuh kasih sayang Ravendra.

Sepeninggal Gaitsa, wanita itu—Ravasya, baru akan memasuki kamar ketika bel kembali berbunyi. Pastinya bukan wanita sebelumnya yang kembali. Ravasya menatap malas seorang pria yang berdiri dengan senyum lebar di depan pintu.

"Kakak tidak punya rumah sendiri?" tanyanya sedikit ketus pada pria bersurai hitam yang langsung melangkah masuk.

"Alan bilang aku harus menjagamu selama dia di luar kota," jawab pria itu seraya merangkul Ravasya.

"Aku bukan anak kecil," keluh Ravasya, tapi tidak menolak dengan tangan besar yang mengacak rambutnya.

"Bagiku kau tetaplah bayi."

"Cih!"

Ravendra tertawa melihat wajah cemberut sang adik, satu-satunya wanita yang bisa ia percaya. Netra coklatnya berhenti pada sebuah lukisan yang tergantung. Hadiah pernikahan dari Gaitsa yang langsung ia berikan pada Alan untuk dibuang. Ia tidak tahu lukisan itu ternyata disimpan baik-baik. Alan bahkan memarahinya karena berniat membuang sebuah mahakarya.

"Aku tidak mengerti seni, tapi kenapa orang-orang suka sekali melihatnya lebih lama daripada lukisan yang lain?"

Ravendra mengernyitkan dahi. Orang-orang? Alan memang sering mengatakan bahwa lukisan itu terasa sangat menyedihkan. Padahal itu hanyalah lukisan sebuah taman. Seorang pria sedang duduk di bawah kanopi putih di sebuah taman. Kalau itu adalah foto, maka gambarnya diambil dari atas. Alan bilang seperti sedang melihat pemuda itu dari jendela. Lukisan yang terasa dipenuhi kelembutan dan kerinduan, juga kesedihan.

Tapi bagi Ravendra itu hanyalah hadiah tidak penting yang diberikan Gaitsa. Ia tidak tahu mantan istrinya membeli lukisan itu di mana.

"Memangnya selain aku dan Alan, siapa lagi yang melihat lukisan itu?"

"Mamanya Biyu," jawab Ravasya dan segera menyadari bahwa ia tidak sempat menanyakan nama wanita itu. Aish!

1
Agnes🦋
blm update ya kak
Agnes🦋
seruuuu
Agura Senja: Terima kasiiihh
total 1 replies
Agnes🦋
aslii seru tor ceritanyaaa, pliss update dong torr
Agura Senja: Terima kasih sudah mampir yaa... Gaitsa akan tayang 5 bab setiap hari 😍
total 1 replies
Agura Senja
otewe bucin parah
Sunarmi Narmi
Itu pak CEO kena karma
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant
Agura Senja: otewe bucin parah 😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!