Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Informasi
Resign-nya Inayah tidak banyak yang tahu. Sejauh ini hanya kepala sekolah, guru-guru BK dan kepala tata usaha yang mengetahui jika per dua minggu yang lalu Inayah resmi tidak lagi menjadi guru di sekolah itu.
Sejak kejadian waktu itu Inayah memang tidak lagi masuk sekolah. Berita awal yang mereka terima adalah Inayah yang cuti untuk menenangkan diri. Walau pun Inayah tidak bersalah mereka mengerti Inayah pasti syok dengan kejadian yang menimpanya.
Suasana berbeda tentu sangat dirasakan oleh ketiga rekan Inayah di ruang guru BK khususnya. Semenjak Inayah pergi mereka hanya terlibat beberapa obrolan yang penting-penting saja. Tidak ada lagi diskusi di sela-sela jam istirahat, membahas berbagai temuan dan pengalaman pembimbingan yang mereka lakukan. Tidak ada lagi evaluasi di penghujung minggu yang berlanjut pada penyusunan rencana pembelajaran minggu berikutnya yang di lakukan di ruang guru BK.
Ketiga rekan Inayah seakan masih larut pada kepergian Inayah, perginya sang penggerak perubahan benar-benar telah memberikan dampak yang sangat besar pada kinerja mereka.
Tok ...tok ...tok ...
"Assalamu'alaikum." Rayyan berdiri di ambang pintu yang terbuka, dia baru kembali setelah mengikuti program pemantapan persiapan menuju olimpiade tingkat nasional yang diadakan di Bandung selama dua minggu itu.
Waktu itu kejadian dimana Inayah dipermalukan, Rayyan hanya sempat mengamankan ruang audio, setelahnya dia langsung pergi karena mobil jemputan dari dinas pendidikan sudah datang dan Rayyan bahkan tidak sempat berpamitan pada guru pembimbingnya itu.
Semalam dia baru kembali dan pagi ini alangkah terkejutnya saat mendapati jika nama guru pembimbing yang akan membersamainya ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade tingkat nasional berubah bukan lagi Inayah.
"Saya mau bertemu Bu Inayah." ucap Rayyan tanpa basa-basi setelah ucapan salamnya di jawab oleh ketiga guru BK yang sedang beristirahat di ruangannya.
"Masuklah, duduklah dulu." Pak Fikri yang lebih dulu merespon, dibanding kedua rekan wanitanya dia lebih bisa menguasai diri saat benar-benar kehilangan rekan kerjanya itu. Walau dalam hati Pak Rifki pun sangat sedih karena kehilangan rekan seperjuangan seperti Inayah.
Inayah dan Rifki adalah pejuang beasiswa, mereka berasal dari keluarga yang sederhana namun karena kegigihannya mereka dapat sampai di pencapaian saat ini. Bertemu dengan Ulfah yang ceria sekaligus blak blakan dan apa adanya, meskipun berasal dari lingkungan yang sosialnya lebih dari Inayah dan Fikri tapi Ulfah tidak pernah menunjukkan siapa dirinya, dia berbaur apa adanya tanpa membawa embel-embel apapun, ketiganya benar-benar frekuensi sehingga mampu menciptakan harmonisasi tim kerja yang keren.
"Terima kasih Pak." Rayyan melangkah menuju sofa yang ada di tengah-tengah ruangan itu.
"Bagaimana persiapan lombanya? Sudah sampai mana, Rayyan?" Fikri berusaha tampil biasa, dia mengawali perbincangan dengan topik yang konstekstual.
"Baik Pa, semua baik. Saya sudah siap untuk ke Jakarta lusa. Tapi saya ingin bertanya mengenai pergantian guru pembimbing, kenapa Bu Inayah diganti?" Rayyan tidak suka berbasa-basi dia langsung pada tujuan utamanya.
"Kamu sudah bertanya ke bagian kesiswaan?" tanya Ulfah yang akhirnya buka suara setelah sebelumnya hanya menatap Rayyan dengan tatapan yang entah apa artinya.
"Sudah."
"Kalau begitu kamu sudah tahu jawabannya."
"Tapi saya tidak puas."
"Memang jawaban apa yang kamu inginkan." Bu Habibah menimpali dengan intonasi khasnya, sedikit ketua dan berwajah datar.
"Kemana Bu Inayah?"
Ketiga guru diam, tak ada yang langsung menjawab pertanyaan Rayyan. Ketiganya kompak menatap Rayyan dengan pemikiran masing-masing membuat Rayyan sedikit jengah ditatap lama seperti itu.
"Tolong, beri tahu saya dimana Bu Inayah?"
"Bu Inayah sudah pergi, dia sudah resign dari sekolah dan tidak akan mengajar lagi di sini."
"Apa?" pekik Rayyan, terkejut mendengar perkataan Bu Habibah.
"Jadi Bu Inayah bukan cuti?"
"Bukan." Bu Ulfah yang kini menjawab,
"Apa karena peristiwa hari itu?" Rayuan masih belum berhenti, dia benar-benar tidak terima denga informasi faktual yang baru saja diterimanya.
"Sedikit banyak iya."
"Maksudnya?" jawaban Ulfah dipikirnya ambigu.
"Iya, intinya peristiwa itu menjadi puncak keputusan Inayah untuk akhirnya pergi.''
"Kemana Bu Inayah pergi?"
"Kami tidak tahu."
"Kalau begitu dimana rumahnya? Aku akan menemuinya di rumahnya." Rayyan belum menyerah.
"Sebaiknya kamu fokus saja pada olimpiade tingkat nasional Ray, Bu Inayah mewanti-wanti agar kami bisa memotivasi kamu agar semangat mengikuti olimpiade itu. Dia pasti akan sangat bangga jika kamu kembali berhasil menjadi pemenang." Pak Fikri mengalihkan pembahasan, dia teringat pesan Inayah agar mereka mensupport Rayyan di olimpiade tingkat nasional yang akan diadakan tiga hari lagi itu.
Rayyan mengelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak puas dengan apa yang dengannya hari ini.
"Terima kasih untuk informasinya, saya pamit. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu jawaban salamnya Rayyan keluar dari ruang BK dan berjalan terburu-buru.
Kegiatan pembelajaran masih berlangsung tapi seorang siswa laki-laki berseragam SMA dengan mengenakan hoodie hitam itu kini tengah duduk di atas motornya yang diparkirkan di seberang sebuah rumah sederhana yang tampak sepi.
Dia menatap rumah itu tanpa kata, tidak juga terlihat tanda-tanda akan memasukinya. Hanya duduk di atas motor dengan tatapan yang tak beralih sedikit pun dari rumah itu.
Tepat di menit ketiga puluh dirinya berdiam diri di tempat itu, seorang ibu berjilbab instan keluar dari pintu utama rumah itu.
Rayyan, ya, anak SMA yang sejak tadi hanya duduk di atas motor dan memandangi rumah itu adalah Rayyan. Dia tidak bisa berdiam diri hanya dengan mendapat informasi dari pihak sekolah tentang Bu Inayah, tidak ada yang memberitahunya mengenai keberadaan Bu Inayah saat ini. Padahal itu yang ingin Rayyan tahu.
Dia bergegas turun dari motornya saat melihat ibu paruh baya itu hendak menyebrang. Di kedua tangannya beliau menenteng barang bawaan hang cukup banyak.
Dengan ramah Rayyan membantu ibu itu untuk menyebrang.
"Silakan, Bu." ucap Rayyan setelah memastikan dia menahan beberapa kendaraan yang akan melaju.
"Hatur nuhun, Jang." ucap Ibu itu dengan senyum ramahnya. Dia pun berdiri di pinggir jalan tampak menunggu angkutan kota lewat.
"Ibu mau kemana?" tanya Rayyan, dia sudah berdiri di samping sang ibu yang berdiri tepat di dekat motornya.
"Mau ke pasar. Ujang mau kemana?" tanya Ibu itu, panggilan Ujang membuat Rayyan mengernyit, sempat bingung, namun kemudian dia menormalkan kembali menormalkan raut wajahnya, ingat jika Ujang adalah panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa sunda.
"Nama saya Rayyan Bu, panggil saja saya Rayyan." Rayyan memperkenalkan diri, dari raut wajah ibu itu Rayyan melihat dengan jelas ada garis wajah Bu Inayah, besar kemungkinan jika ibu itu adalah ibunya bu Inayah. Pikir Rayyan.
"Baik Jang Rayyan, nuhun nya sudah membantu Ibu menyebrang."
"Ibu bisa panggil Rayyan saja jangan pake Jang." protes Rayyan, dia tidak terbiasa dengan panggilan itu.
"Oh iya iya Rayyan."
"Ibu mau ke pasar mana?"
"Ke pasar mandalagiri."
"Oh yang di daerah Pengkolan itu kan?" tanya Rayyan dan dijawab anggukan kepala oleh Ibu itu.
"Kalau begitu mari saya antar, kebetulan saya juga mau ke Pengkolan." Rayyan mulai melancarkan misinya.
"Nak Rayyan tidak sekolah?" Ibu yanh tak lein memang Bu Ani ibunya Inayah menelisik, mengamati penampilan Rayyan dari atas sampai bawah.
"Saya ada tugas di luar Bi, kebetulan mau ke Pengkolan juha mau ke toko buku, ada yang buku yang harus saya beli."
"Oh begitu" Bu Ani manggut-manggut.
"Tapi Ibunya raridu (repot), bawa banyak barang-barang." Bu Ani mangacungkan barang bawaan di kedua tangannya.
"Tidak apa-apa Bu, Insya Allah muay di motor saya." Rayyan menunjukkan motor matic uang dipakainya, motor yang memang memiliki ruang cukup luas di area depan untuk menyimpan barang bawaan.
"Tidak merepotkan Nak Rayyan?" panggilan Nak kembali disematkan oleh Bu Ani saat menyebut nama Rayyan.
"Tidak Bu, mari saya bantu."
Rayyan pun membantu Bu Ani membawa barang-barangnya dan menggantungkannya di bagian depan motor. Dia menyalakan mesin motor dan mempersilakan Bu Ani untuk naik.
"Sudah nyaman, Bu?" tanya Rayyan memastikan kenyamanan dan keamanan Bu Ani.
"Sudah, Bismillah." ucap Bu Ani yang dikuti pula oleh Rayyan dalam hati sebelum melajukan motornya.
"Nak Rayyan sekolah dimana?" Bu Ani membuka percakapan di atas motor yang sengaja melaju pelan itu.
"Di SMA Ar-Rahmah Bu."
"Oh, iya iya Ibu tahu. Anak Ibu juga pernah mengajar di sana."
"Yess ..." dalam hati Rayyan bersorak, strateginya untuk mencari informasi tentang Bu Inayah berhasil.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️