Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setelah meluapkan segala kesedihan dan amarah, Lily duduk sebentar di pinggiran sungai tersebut dan membiarkan tubuhnya diterpa hembusan angin yang semilir.
Sambil memeluk lutut, gadis itu memandang jauh ke hamparan air yang mengalir tenang. Tidak bisa dipungkiri, dia masih memikirkan kata-kata pria itu.
Namun, setelah memikirkan sang ibu, Lily tahu dia tidak bisa menyerah. Walau mereka hanya terikat kontrak, dia tidak mau dihina dan diinjak seperti sebelumnya.
Lily meyakinkan diri bahwa dia bukan wanita lemah yang mudah terpengaruh pada caci maki. Tidak ingin membenarkan ucapan Xander, dia akan mengambil tindakan.
Lily berencana akan berbicara pada pria itu untuk membatalkan semua kontrak dan sekaligus memintanya membatalkan pernikahan mereka. Dia juga berencana akan mengembalikan uang muka yang sudah diterima dengan mencicil.
Pria itu mungkin akan marah besar dan juga tak akan mudah meloloskan inginnya. Namun, Lily optimis semua belum terlambat dan dia masih punya kesempatan untuk mengubah jalan hidupnya.
Setidaknya itu adalah rencana terbaik yang mungkin dia lakukan saat ini. Lebih baik baginya bekerja sangat keras dan mencari pinjaman kesana kemari daripada dihina dan disakiti.
Lily membulatkan tekad untuk menemui Xander. Dia kemudian bangkit dan masuk kembali ke dalam taksi yang membawanya tadi. Bahkan sang supir pun menyambutnya ramah.
"Ah, Nona. Apakah Anda sudah merasa lebih baik?" tanya sang supir taksi saat Lily duduk di jok belakang mobil.
Lily akhirnya bisa tersenyum walau canggung. Dia merasa malu karena sudah menangis dengan tersedu di hadapannya juga sungkan karena malah membuang waktu sang supir.
"Sudah, Tuan. Terima kasih untuk sarannya. Cara ini benar-benar bekerja. Bebanku yang tadinya terasa berat, tiba-tiba hilang. Rasanya sangat melegakan. Sekali lagi, terima kasih untuk ini."
Pria paruh baya yang sedari tadi melihat Lily dari kaca tengah mobil pun sedikit memutar tubuh ke belakang untuk memberikan beberapa lembar tisu dan air mineral.
"Ambil ini, Nona. Pasti akan berguna untukmu saat ini Kembali Lily mengulas senyumnya lalu mengulurkan tangan untuk menerima kebaikan dari supir taksi itu.
"Sekali lagi terima kasih, Tuan. Sepertinya aku sudah menjadi penumpang yang paling merepotkan mu hari ini."
Supir taksi itu pun terkekeh mendengar ucapan Lily. Namun, gurat kesedihan terlihat samar di wajah sang pria.
"Sama sekali tidak, Nona. Sebenarnya aku mempunyai seorang anak perempuan seusiamu. Hanya saja, dia sudah tiada belum lama ini karena sebuah kecelakaan. Melihatmu menangis seperti tadi, mengingatkanku akan putriku jika sedang bersedih."
Lily terkejut mendengarkan penuturan sang supir taksi. Gadis itu menatap pria paruh baya yang tampak jelas sangat hangat dan lembut itu dengan prihatin.
"Aku turut berduka atas kepergian putrimu, Tuan. Aku yakin dia pasti bahagia di sana."
Supir taksi yang tidak bisa menahan tetesan air mata di pipinya itu menghapusnya dengan cepat lalu kembali memantau Lily dari cermin.
"Tentu saja. Dia adalah anak yang sangat ceria. Kalian sebetulnya punya sedikit kemiripan. Dia juga akan menangis sepertimu jika sedang sedih. Biasanya aku akan mengajaknya ke danau dekat tempat tinggal kami dan menyuruhnya untuk berteriak seperti yang kamu lakukan tadi sampai kesedihannya berkurang. Baru saat dia sudah tenang, aku akan bertanya apa yang terjadi padanya sampai dia sedih seperti itu." Pria paruh baya itu mengenang.
"Kapan-kapan kamu harus mengunjungi rumahku, Nona. Ada istri dan anak laki-lakiku yang berusia sepuluh tahun. Dia pasti sangat senang bertemu denganmu. Kami akan mengajakmu ke danau itu kalau kamu mau. Di sana pemandangannya cukup indah. Kita bisa bersantai ketika akhir pekan di sana sambil memancing dan membakar ikan. Istriku pasti akan benar-benar senang ketika melihatmu. Dia sangat merindukan putri kami.
Melihat gadis sebayanya, istriku pasti akan langsung menganggap mu seperti anak sendiri."
Lily tersenyum penuh minat. Rasanya dia sendiri sudah lama tidak menghabiskan waktu dengan keluarga. Pria itu dan keluarganya mungkin bisa jadi penyejuk dahaganya.
"Aku yakin Anda adalah seorang ayah dan suami yang baik, Tuan. Aku bisa melihat itu dengan jelas. Dan soal tawaran untuk mengunjungi rumahmu, tentu saja aku mau. Kapan-kapan aku akan mengunjungi rumahmu kalau tidak keberatan." Senyum Lily makin kembang.
"Ah ya, panggil saja aku Lily. Kalau tidak keberatan, anggap saja aku putrimu, Tuan. Kebetulan aku juga sudah lama kehilangan ayah kandungku. Ibuku juga sedang sakit."
Supir taksi itu tidak kalah terkejutnya. Rasanya semua terjadi secara ajaib. Takdir mempertemukan gadis yang tidak memiliki ayah dengan seorang ayah yang tidak memiliki putri.
"Ya, Tuhan. Gadis yang malang. Aku turut bersedih mendengar itu. Namaku David. Panggil apa saja yang membuat mu nyaman. Kamu boleh memanggil namaku. Atau Paman... Uncle... Pak... mungkin juga-"
"Ayah David?" potong Lily cepat sambil mengembangkan senyumnya.
"Ya! Ide yang sangat bagus. Aku akan benar-benar merasa bahwa putriku kembali," ucap David sambil terkekeh senang. Maria akan sangat senang ketika mendengar ini. Terlebih melihat sikapmu. Kamu benar-benar mirip dengan putriku, Lily."
"Dia tidak akan merasa sungkan pada seseorang yang sudah ia membuatnya nyaman. Sungguh, Mila adalah gadis yang lugas. Dia sering berbicara tanpa banyak berpikir ketika ingin menyampaikan apapun yang ada di kepalanya." David jadi bersemangat.
"Walau sifat itu tidak terlalu bagus jika ia tunjukan di depan orang lain selain kami, tapi kami bangga dan senang ketika putri kami mau jujur bicara tentang apapun yang dia rasakan pada kami. Ya, memang begitulah Mila. Benar-benar memang apa adanya." David jadi bernostalgia.
"Ah ya. Ini kartu namaku, Lily. Kapanpun kamu ingin berkunjung, telepon aku di sana. Aku akan menunjukan alamat rumah kami padamu."
David memberikan selembar kartu namanya pada Lily. Gadis itu menerima dan membacanya sekilas sebelum menyimpan ke dalam tasnya. Terima kasih, Ayah David."
David merasa hatinya menghangat saat Lily menyebutnya dengan Ayah. Mungkin itu karena dia merasakan sang putri yang bernama Mila, kembali ada di sekelilingnya.
David pun juga tahu kalau Lily adalah gadis yang sangat baik, walau saat ini tampaknya dia sedang dilanda masalah. Dia hanya berharap gadis itu akan menjalani hidup bahagia ke depannya.
"Sama-sama, Lily. Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara padamu. Bukankah kamu harus pergi ke suatu tempat? Kemana aku harus mengantarmu pergi?" tanya David pada Lily.
"Tidak, Ayah. Jangan merasa begitu. Sungguh, aku benar-benar sangat senang mendengarkan semua ceritamu. Aku sangat menikmatinya. Seperti mendengarkan sebuah dongeng," ucap Lily berusaha membuat David merasa nyaman.
"Syukurlah kalau begitu. Kapan-kapan aku akan menyuruh Maria menceritakan dongeng untukmu. Sekarang, ayo katakan padaku, kemana kamu akan pergi? Kamu tidak boleh terlambat kalau itu menyangkut pekerjaan, Lily."
David ikut memburu. Sebetulnya Lily sendiri tidak yakin kemana dia akan pergi. Gadis itu memperhatikan jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul tiga sore.
Pergi ke perusahaan akan menjadi percuma karena Andres mungkin akan mencecarnya dengan pertanyaan. Pulang ke rumah yang menimbulkan trauma pun juga bukan pilihan.
Satu-satunya yang terlintas dalam benak Lily adalah menemui suami kontraknya. Dia ingin segera membatalkan pernikahan mereka sebelum terlambat.
Masalahnya, dia tidak tahu bagaimana caranya. Lily tidak tahu di mana pria itu bekerja atau tinggal. Dia bahkan juga tidak mengetahui nomor ponsel pria itu.
Seolah keberuntungan sedang berpihak padanya, Lily menyadari ponselnya bergetar di dalam tas. Segera Lily mengangkat telepon dari nomor yang tidak dia ketahui itu.
"Nona Lily. Saya adalah asisten Tuan Sebastian. Anda berada di mana?"
**