Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 00
...11 Januari 2021...
"Let's get divorced, Dio."
Tepat di perayaan pernikahan mereka yang ketiga tahun, Kiana mengatakan hal itu sebagai hadiah untuk Dionata. Ia mengatakannya dengan wajah secerah matahari di pagi hari. Tanpa beban, tanpa rasa keragu-raguan sedikitpun.
Dio tentu saja terkejut. Meski keterkejutannya tak ditampilkannya dalam ragam ekspresi wajah -sebab ia memang selalu berekspresi datar dan dingin. Ia sejenak diam dan mencoba mencerna. Ditatapnya mata Kiana sesaat.
"Oke, kalau memang itu kemauan kamu."
"Aku harap kamu bahagia."
"You too."
Kiana meniup lilin yang ada di kue anniversary ketiga tahun pernikahan mereka. Kue yang dibuat oleh Kiana sendiri seharian ini. Kue red velvet kesukaan Dio yang selalu Kiana buat setiap momen spesial tanpa Dio minta.
"Kamu jangan lupa cicip kuenya ya. Aku mau istirahat dulu."
"Oke."
Kiana melangkah menuju kamarnya dengan wajah riang yang hilang. Senyum cerah yang ia tunjukkan di hadapan Dio tak lagi terukir. Seolah Kiana telah melepaskan topengnya. Menampilkan sisi muram durja yang sebenarnya. Ekspresi paling tepat ketika ia akhirnya mengatakan hal yang paling ingin dihindarinya selama ini.
Saat pintu kamarnya tertutup, Kiana merasakan tubuhnya luruh. Tersandar sempurna pada pintu, ditemani derai air mata yang datang berbondong-bondong. Napasnya tertahan, sesak bukan kepalang. Dipukulnya kuat-kuat agar mereda, namun justru tak berkurang.
Nothing hurt more than realizing the meant everything to you but ... you meant nothing to him.
Kiana merasakan itu.
Dan memang semenyakitkan itu.
^^^^^^
...Dua Tahun Setelahnya...
Dio tahu, sepupunya memang paling bisa membuat orang lain merasa jengkel. Janji Cakra untuk menemaninya berkeliling Bandung harus dibatalkan sepihak tepat ketika Dio sudah bersiap. Satu jam setelahnya, ia jenuh juga menghabiskan hari di dalam hotel. Sebab itulah, ia memilih berkeliling seorang diri.
Pagi Bandung yang sendu. Mendung namun bukan yang bersiap hujan. Cuaca yang cocok untuk dinikmati berjalan kaki di sekitaran jalan Braga. Memotret beberapa hal menarik, mencicipi makanan enak, atau sekedar minum kopi di kafe dan melamun setelahnya. Tepat ketika kopinya tersisa setengah, mata Dio menangkap sosok itu.
Sosok perempuan yang telah menghilang selama dua tahun dari hidupnya.
Kiana.
Dio bergerak cepat. Tergesa meninggalkan kafe dan berusaha mengikuti kemana langkah sosok yang diharapkannya benar Kiana. Meski sempat beberapa kali hampir kehilangan jejak, namun sosok berbaju navy itu akhirnya berhenti.
Dia di sana, masuk ke Grey Art Gallery dan sedang menatap sebuah lukisan lamat-lamat. Meski hanya sosok belakangnya yang Dio lihat, namun hatinya 100% yakin bahwa perempuan itu benar Kiana.
"Kia."
Pelan sekali Dio memanggil nama itu, namun tak butuh waktu lama untuk sosok itu berbalik menghadapnya. Mata bertemu pandang. Bisu menjadi penengah. Dio dan Kiana saling bertemu setelah dua tahun lamanya mereka resmi bercerai.
"Kia, marry me again."
^^^^^^
Perkataan Dio terasa seperti sapaan konyol bagi Kiana. Terlebih, itu adalah kalimat pertama yang diucapkannya setelah mereka tidak pernah bertemu selama lebih dari dua tahun. Dengan berbagai perjuangan Kiana untuk melupakannya.
"Are you kidding me?"
Kiana melangkah tergesa, meninggalkan Dio yang masih termangu di tempatnya.
"Tunggu, Kia."
"I'm not your Kia again."
"Let's first talk about us, Kia."
"Untuk apa?"
Dio tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia meraih tangan Kiana, setengah memaksa membawa Kiana mengikuti langkahnya. Meski Kiana mencoba melepaskan, namun Dio tetap bersikukuh. Dan seperti dulu-dulu, Kiana memilih menyerah dan mengikuti langkah laki-laki itu kemanapun arah yang dimau.
Kiana ingat, ia mengikuti langkah Dio menuju pernikahan.
Kiana tidak lupa, ia mengikuti arah Dio dalam kepura-pura bahagiaan.
Bahkan saat Kiana meminta mereka bercerai, itu adalah satu-satunya langkah yang Dio harapkan.
"Ayo kita menikah lagi."
Mereka duduk saling berhadapan, di Wiki Kofffie, segelas Americano miliki Dio dan secangkir vanilla latte milik Kiana. Cuaca yang mendung terasa semakin dingin bagi Kiana saat mendengar omong kosong yang diucapkan Dio.
"Pernikahan seperti apa yang mau kita ulang?"
"Aku sudah tahu semuanya, Kia."
Kiana menyesap vanilla latte miliknya. Dalam pandangan matanya yang sudah berjuang mati-matian memupuskan cinta, Dio tetaplah si menawan itu. Wajahnya yang selalu terasa dingin, matanya yang tenang, bibirnya yang terlalu indah dan membuatnya ingin mengecup. Ah ... Kiana menggeleng pelan. Dirinya harus tahu batas.
"Aku akan bantu kamu dan mama."
Kiana menegang. Apa yang dimaksud Dio tentang 'tahu' pastilah berkisar soal masalah keluarganya. Masalah yang bersiap menendangnya dan mamanya menjadi gelandangan ketika pemilik mahkota sebenarnya adalah dirinya dan mamanya.
"Tapi kita harus menikah lagi."
Suara Dio yang dingin itu masih sama. Terbayang dalam benak Kiana masa-masa pernikahannya yang juga tak kalah dingin. Pun bila ia kembali terjerat dalam lubang yang sama, pasti rasanya tak jauh beda.
"Kalau kamu mau bantu, kenapa harus dengan syarat menikah lagi?"
Laki-laki itu diam sesaat. Dibuangnya pandangan pada jalanan di luar sana. Lalu lalang orang setengah berlari, juga mendung yang kini beralih menjadi hujan berirama deras.
"Eyang ingin kita rujuk."
Kiana tahu bahwa tidak boleh berharap sedikitpun pada manusia bernama Dionata Dierja. Sebab semua harapan-harapan Kiana yang berkaitan dengan Dio selalu berakhir dengan sakit hati.
Berharap dicintai balik, misalnya.
Berharap ajakannya menikah lagi adalah karena dirinya, contohnya.
"Aku nggak bisa."
"Kamu harus."
"Aku nggak bisa, Dio."
"Kamu butuh aku, paling tidak demi mamamu."
Kiana memijit pelipisnya pelan. "Tapi kamu nggak butuh aku. Untuk apa aku harus menikah ... 'lagi' ... dengan orang yang bahkan nggak butuh aku. Satu-satunya orang yang kamu butuh dalam hidup kamu hanya Rosa."
Dio tidak mengelak. Ia sepenuhnya diam. Matanya yang begitu Kiana kagumi itu sesaat tertutup. Menunjukkan betapa ia setuju dengan apa yang diucapkan Kiana, namun ia juga sepertinya terjepit. Eyang dan eksistensinya adalah primordial dalam kehidupan seorang Dierja. Walau entah bagaimana seorang Rudi Ramlie Dierja dikatakan membutuhkan dirinya.
"Maaf, Dio. Aku nggak bisa."
Kiana tak ingin terjebak kembali dalam perasaannya sendiri. Kiana tak ingin dikecewakan oleh harapannya sendiri. Kiana sungguh tidak ingin ... berjuang sendirian lagi.
Perempuan itu bangkit. Dilangkahkan kakinya menjauh, meninggalkan Dio yang masih berdiam diri tak mencegah. Dilupakannya semua yang ia dengar hari ini. Dihapuskannya kenangan yang sialnya bermunculan lagi.
Mulut Kiana mengumpat, sayang ... hatinya ternyata masih mendamba.
^^^^^
TO BE CONTINUED
Jangan lupa like dan komentar ya