Raina cantika gadis berusia 23 tahun harus menerima kenyataan jika adiknya sebelum meninggal telah memilihkannya seorang calon suami.
Namun tanpa Raina ketahui jika calon suaminya itu adalah seorang mafia yang pernah di tolong oleh adiknya.
Akankah Raina menerima laki-laki itu untuk menjadi suaminya?
Apakah Raina dapat bahagia bersama laki-laki yang tidak dia kenal?
Ikuti kisah mereka selanjutnya, ya!
Jangan lupa untuk follow, like dan komentarnya!
Terima kasih 🙏 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Awal pertemuan
Dinginnya malam yang sepi, seorang laki-laki bertubuh tinggi,tampan dan mempunyai rahang yang tegas, terlihat berjalan tertatih dengan sekujur luka di badannya. dia berjalan menelusuri hutan belantara, yang pada akhirnya membawanya ke sebuah pedesaan yang terlihat sangat sepi.
Dia Arsenio Gaozhan, seorang ceo sekaligus pimpinan Mafia yang terkenal dingin dan kejam. saat ini dia sedang mencari jalan keluar, akibat pesawat helikopter yang dia tumpangi jatuh karena berhasil di serang oleh musuh.
Arsenio menyusuri jalan menuju, ke sebuah rumah kecil dan sederhana. dia pun mendekatinya dan mengetuk pintu, berharap ada seseorang yang mau menolongnya.
Tok Tok Tok
Tidak ada sahutan dari dalam, membuat Arsenio mengetuk kembali pintu rumah itu.
"Ma- maaf anda siapa?" Seorang pemuda berusia 18 tahun berpakaian sederhana, terlihat ketakutan saat melihat keberadaan Arsenio di ambang pintu. apalagi saat ini pemuda itu, melihat keadaan Arsenio yang terluka parah.
"Tolong saya." Arsenio, menodongkan senjata kepada pemuda.
Pemuda itu sontak menjauhkan dirinya, saat melihat senjata yang di arahkan kepadanya. dia pun memberanikan diri untuk berkata ,"Ja- jangan bunuh saya, tuan," pekik pemuda, yang di ketahui bernama fikri itu.
Laki-laki itu pun menatap tajam fikri, yang terdiam dengan tubuh yang gemetar ketakutan. " Tolong saya." ucapnya dingin, tak lama kemudian laki-laki itu pun jatuh pingsan, tidak sadarkan diri.
"Tuan." Fikri menghampiri laki-laki itu, meskipun rasa takut masih menyelimuti benaknya. namun di sisi lain, fikri tidak tega melihat keadaan laki-laki itu. apalagi saat ini dia melihat, jika seluruh tubuh laki-laki itu penuh dengan luka. fikri pun bergegas membawanya ke dalam rumah, meskipun sedikit kesusahan.
*
*
*
Keesokan harinya...
"Selamat pagi tuan." Fikri tersenyum, menyapa laki-laki itu.
Laki-laki itu menatap sekilas, pada fikri. "Di mana, kamar mandi?" tanyanya dingin.
"Ka- kamar mandi? Oh... pasti anda mau membersihkan diri. Mari, saya antar!" Fikri yang takut pun, mengantar arsenio pergi ke kamar mandi.
"Maaf tuan, di sini kamar mandinya seperti ini. Jika anda kurang nyaman, harap di maklumi."
Arsenio masuk ke dalam kamar mandi, tanpa menyahuti perkataan fikri. dirinya ingin menuntaskan panggilan alamnya, meskipun merasa tidak nyaman dengan keadaan kamar mandi yang terlihat berbeda, dengan yang ada di rumahnya.
Setelah memastikan arsenio masuk, ke kamar mandi. Fikri pun bergegas ke dapur, untuk membuat sarapan. dia hanya membuat makanan seadanya, sebab keadaannya memang serba kekurangan.
"Maaf tuan, sebaiknya anda sarapan dulu. Saya sudah membuatkan bubur, untuk anda." Fikri menghampiri arsenio, yang duduk di kursi bambu miliknya.
Arsenio melirik sekilas pada Fikri, yang tersenyum canggung kepadanya. dia bangkit berdiri dengan jalan tertatih, akibat luka pada kakinya lumayan parah. namun keadaannya lumayan membaik, setelah semalam Fikri mengobatinya dan merawatnya.
Mereka pun duduk berhadapan, dengan semangkok bubur nasi yang berteman kan kecap dan kerupuk saja. Fikri tersenyum kikuk, saat arsenio hanya memandang bubur itu dengan tatapan, sulit di artikan.
"Maaf, tuan. Hanya bubur ini, yang saya punya. Jika memang anda tidak terbiasa, biar saya carikan saja makanan lain, di warung." sahut Fikri canggung.
"Tidak perlu," balas arsenio, dingin. mulai memakan buburnya meskipun terpaksa, karena perutnya saat ini benar-benar lapar.
Fikri mengangguk pelan, kemudian segera memakan buburnya.
"Siapa nama, mu, " tanya arsenio menatap Fikri tajam.
Fikri menelan salivanya kasar, ketika arsenio menatapnya tajam. "Na-nama ku Fikri, tuan." jawabnya, sedikit gemetar.
"Apa, kamu tinggal di sini sendirian?" Arsenio kembali bertanya.
Fikri menggeleng pelan. "Aku tinggal berdua, dengan kakak perempuan, ku. Tapi sekarang, dia sedang bekerja di kota, sebagai asisten rumah tangga. Kami hanya tinggal berdua saja, karena kedua orang tua kami sudah meninggal." jawabnya lirih.
Arsenio seketika tersentak, saat mendengar jawaban Fikri. dia tidak menyangka, keadaan Fikri sangat memprihatinkan seperti ini. bahkan Arsenio dapat melihat keadaan rumah Fikri, yang kecil dan jauh dari kata bagus.
"Apa, kamu masih sekolah?"
Fikri tersenyum. "Aku baru saja lulus, tuan. Dan sekarang, aku sedang mencoba mencari pekerjaan. Aku ingin membantu kakak, supaya dia tidak perlu bekerja di kota lagi." Kali ini fikri menjawab pertanyaan arsenio, dengan penuh semangat.
Arsenio mengangguk pelan, melihat perubahan sikap fikri yang memang bersemangat untuk bekerja.
"Apa, kamu punya ponsel? Jika kamu punya, aku ingin meminjamnya sebentar." ujar arsenio dingin.
"Aku hanya ponsel ini, tuan. Tapi masih bisa di gunakan untuk menelpon, kok." Fikri memberikan ponsel jadul miliknya, pada arsenio.
Arsenio lagi-lagi hanya menatap ponsel jadul milik fikri, dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Tuan. Apa anda jadi, untuk menggunakan ponsel ku?" tanya Fikri bingung.
Arsenio yang tersentak pun ,langsung mengambil ponsel milik Fikri. dia pun segera menghubungi seseorang, untuk menjemputnya.
"Terima kasih." ucap arsenio dingin.
Fikri tersenyum. "Sama-sama, tuan." balasnya sopan.
"Jangan panggil aku, tuan. Nama ku, Arsenio Gaozhan. Panggil saja, aku arsenio." titahnya, tanpa ekspresi.
Fikri Mengernyitkan dahi, mendengar perkataan Arsenio. dia tahu, jika usia Arsenio lebih tua darinya. maka dari itu fikri pun tidak akan melakukan apa, yang di katakan arsenio.
"Maaf tuan. Aku tidak akan memanggil mu, dengan sebutan nama. Aku akan memanggil mu, abang. Bo- boleh kah?" Fikri menundukkan kepala, setelah mengungkapkan keinginannya. dia takut, jika arsenio akan marah kepadanya.
"Terserah." Satu kata keluar dari mulut arsenio, membuat Fikri tersenyum senang.
"Terima kasih, bang Arsenio." Fikri yang senang pun, refleks memeluk tubuh atletis arsenio. dia senang, mendapatkan sosok laki-laki yang bisa dia anggap seperti kakak sendiri.
Arsenio tersenyum tipis nyaris tidak terlihat, ketika melihat sikap Fikri kepadanya. dia pun berdehem keras, supaya Fikri melepaskan pelukannya.
"Ma- maaf bang. Aku terlalu senang." Fikri tersenyum kikuk, kemudian menjauh dari Arsenio yang memasang wajah datar.
Di saat keadaan menjadi canggung, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Fikri pun segera membukanya. betapa terkejutnya dia, saat melihat ada dua orang laki-laki berbadan tinggi dan berwajah sangar berdiri, di ambang pintu. seketika dia pun, berlari dan bersembunyi di belakang tubuh arsenio.
"Bang, sepertinya mereka orang jahat! Sebaiknya, kita pergi dari sini!" Tubuh Fikri gemetar, merasa terancam.
Arsenio tersenyum tipis, kemudian memberi kode kepada kedua anak buahnya supaya pergi dari sana.
"Fikri, aku harus pergi. Terima kasih, karena kamu sudah menolong, ku. Maaf, jika kedua teman ku membuat mu takut. Aku berharap, kita bisa bertemu lagi." ucap Arsenio, tegas.
"Abang bercanda. Mereka orang jahat, bang. Aku takut mereka akan menyakiti, abang!" sahut Fikri khawatir.
Arsenio menepuk pundak Fikri. "Mereka, bukan orang jahat. Mereka teman-teman, ku."
Setelah mengatakan hal itu, arsenio pun keluar dari rumah Fikri. sebelum pergi, arsenio menatap Fikri dan rumahnya dengan tatapan sulit di artikan. mereka pun pergi dari sana, meninggalkan Fikri yang kini sendiri lagi.
"Yah... sendiri lagi. Padahal aku senang, punya teman ngobrol. Kak Raina... kapan kamu pulang?" lirih Fikri, yang tiba-tiba saja rindu pada kakak perempuannya.