NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 24

Calvin hanya menatap kosong makanannya. Suara tawa ringan dan obrolan di sekeliling meja makan seolah menjadi latar belakang samar yang nyaris tidak ia dengar. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengakuan Sartika tadi di dalam mobil.

Sartika sudah memiliki keluarga.

Entah kenapa, fakta itu terasa mengganggu. Ia seharusnya tidak peduli. Seharusnya ini bukan masalah baginya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

"Calvin?"

Suara lembut Alana membuyarkan lamunannya. Ia mendongak dan mendapati wanita itu menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.

"Kau baik-baik saja?" tanya Alana. "Dari tadi kau hanya diam."

Calvin menegakkan bahunya sedikit, berusaha mengembalikan ekspresinya yang biasa. "Aku baik-baik saja."

Ny. Lisna menatap putranya dengan tajam. "Kau tidak bersikap sopan, Calvin. Keluarga Wijaya mengundangmu makan malam, tetapi kau hanya melamun."

Calvin menghela napas, kemudian mengambil garpu dan mulai menyentuh makanannya, meskipun tanpa nafsu makan.

Alana tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. "Mungkin Calvin sedang banyak pikiran. Tidak apa-apa, Bibi Lisna."

Calvin menatap Alana sekilas. Wanita itu memang baik, lembut, dan penuh pengertian—terlalu mirip dengan Hazel, hingga membuatnya semakin sulit bernapas malam ini.

Dan tanpa ia sadari, pikirannya kembali melayang ke Sartika. Apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap wanita itu? Dan kenapa ia begitu terganggu dengan kenyataan bahwa Sartika sudah memiliki keluarga?

Calvin mencoba mengabaikan pikirannya tentang Sartika dan fokus pada makan malam yang berlangsung. Namun, semakin ia berusaha, semakin sulit rasanya.

Di sekeliling meja, perbincangan antara keluarga Wijaya dan Ny. Lisna mengalir dengan lancar, tetapi bagi Calvin, semuanya terasa seperti suara samar di latar belakang. Sekali lagi, pikirannya kembali kepada Sartika.

Ia mengingat ekspresi wanita itu saat mengatakan bahwa ia ingin pergi ke kampung sendirian. Ada ketegangan di sana, seolah Sartika takut sesuatu akan terjadi jika Calvin ikut.

Apakah Sartika menyembunyikan sesuatu?

Atau ia hanya benar-benar tidak ingin orang-orang salah paham tentang hubungannya dengan Calvin?

"Calvin," suara ayah Alana tiba-tiba menariknya kembali ke dunia nyata. "Bagaimana menurutmu tentang peluang ekspansi proyek kita ke luar negeri?"

Calvin berusaha mengendalikan pikirannya dan menyesuaikan diri dengan pembicaraan bisnis yang mendadak itu. Ia menegakkan bahunya, memasang ekspresi serius seperti biasa. "Aku rasa itu langkah yang bagus, tetapi kita harus menganalisis pasar lebih dalam sebelum mengambil keputusan besar."

Ayah Alana mengangguk puas. "Aku setuju. Akan lebih baik jika kita mengadakan pertemuan khusus untuk membahas ini lebih rinci."

"Baik, aku akan mengatur jadwalnya," jawab Calvin singkat.

Di sisi lain meja, Alana menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi menahan diri. Calvin menyadari itu, tetapi memilih untuk tidak menanggapinya.

Ketika makan malam hampir selesai, Ny. Lisna meletakkan gelasnya dan berkata dengan nada ringan, tetapi penuh makna, "Aku harap, setelah malam ini, kau dan Alana bisa lebih mengenal satu sama lain, Calvin."

Calvin hanya merespons dengan anggukan kecil, tanpa memberikan komentar lebih lanjut. Ia tahu apa yang diinginkan ibunya, tetapi ia tidak memiliki energi untuk mendebatkannya sekarang.

Tak lama kemudian, setelah semua salam perpisahan selesai, Calvin akhirnya keluar dari rumah keluarga Wijaya. Ia masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, tetapi tidak segera beranjak.

Ia menghela napas panjang, menyandarkan kepala ke kursi, lalu memejamkan mata sejenak.

Namun, lagi-lagi, wajah Sartika muncul di pikirannya.

Sial.

Kenapa justru Sartika yang terus menghantuinya malam ini?

******

Alana berdiri di ambang pintu rumahnya, memperhatikan mobil Calvin yang masih terparkir di depan rumahnya tanpa bergerak.

Matanya menyipit, membaca ekspresi pria itu dari kejauhan. Sejak awal makan malam, ia sudah menyadari bahwa pikiran Calvin tidak sepenuhnya ada di tempat ini. Ia seperti terjebak dalam dunianya sendiri.

Dan itu membuat Alana bertanya-tanya—apa yang sebenarnya mengganggu Calvin?

Dengan langkah pelan, ia turun dari teras dan berjalan mendekati mobilnya. Ia mengetuk jendela, membuat Calvin tersentak dan langsung menoleh ke arahnya.

Calvin menurunkan kaca jendela, menatap Alana dengan tatapan datar. "Ada apa?"

Alana menyilangkan tangan di depan dada. "Itu yang seharusnya kutanyakan padamu. Kau terlihat tidak fokus sepanjang malam. Sesuatu terjadi?"

Calvin menatapnya beberapa detik, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

Alana mendesah. "Kau tahu, aku tidak akan percaya jawaban itu."

Calvin tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas, lalu mengalihkan pandangan ke jalanan sepi di depan rumah keluarga Wijaya. "Aku hanya lelah, Alana."

Alana mengamati ekspresi Calvin dengan cermat. Ia tahu pria ini bukan tipe yang mudah terbuka, tetapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Seolah-olah ada sesuatu yang menekan pikirannya begitu keras, tapi ia menolak untuk mengatakannya.

"Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan," ujar Alana akhirnya, suaranya lebih lembut. "Tapi kalau kau butuh seseorang untuk mendengarkan, aku ada di sini."

Calvin menatap Alana sejenak, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Alana."

Alana tersenyum balik, meskipun dalam hatinya, ia merasa Calvin masih menyimpan sesuatu. Namun, ia tahu tidak ada gunanya memaksanya berbicara.

"Baiklah," katanya, melangkah mundur. "Hati-hati di jalan."

Calvin mengangguk, lalu menutup jendela dan menyalakan mobilnya. Alana berdiri di tempatnya, memperhatikan mobil itu melaju menjauh, meninggalkan perasaan aneh di dadanya.

Alana melangkah masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Suasana di dalam masih terasa hangat setelah makan malam keluarga tadi, tetapi pikirannya masih tertuju pada Calvin.

Ia melepas sepatu haknya, lalu berjalan menuju ruang tamu. Ibunya, Ny. Wijaya, masih duduk di sofa dengan secangkir teh di tangan, sementara ayahnya sudah masuk ke kamar.

"Kau mengantar Calvin sampai mobil?" tanya Ny. Wijaya tanpa menoleh.

Alana mengangguk, lalu duduk di seberang ibunya. "Ya, dia terlihat tidak fokus malam ini."

Ny. Wijaya menyesap tehnya dengan anggun. "Calvin memang pria yang sulit ditebak. Tapi, kau harus lebih dekat dengannya, Alana. Kesempatan seperti ini tidak selalu datang."

Alana mendesah. "Bu, hubungan bisnis kita dengan keluarganya tidak ada hubungannya dengan kedekatan pribadiku dengannya."

Ny. Wijaya menatap putrinya dengan lembut. "Tapi jika bisa lebih dari itu, kenapa tidak?"

Alana tidak langsung menjawab. Ia memang tidak pernah menutup diri dari Calvin, tetapi pria itu selalu menjaga jarak. Dan malam ini, ia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan wanita lain.

"Aku tidak ingin memaksakan sesuatu yang tidak pasti, Bu," katanya akhirnya.

Ny. Wijaya tersenyum kecil. "Aku hanya ingin kau bahagia, sayang. Dan menurutku, Calvin bisa menjadi bagian dari kebahagiaanmu, jika kau cukup bersabar."

Alana menatap ibunya, lalu tersenyum tipis. Ia tidak tahu apakah ia bisa menunggu atau tidak.

Tapi satu hal yang pasti, bahwa Calvin masih memikirkan Hazel.

******

Calvin menghela napas panjang saat mobilnya berhenti di depan rumah. Ia tidak langsung turun, malah bersandar sejenak di kursi kemudi, pikirannya masih dipenuhi dengan banyak hal.

Makan malam tadi terasa lebih melelahkan daripada rapat bisnis. Ia tahu ibunya ingin dirinya membuka hati untuk Alana, tapi pikirannya justru terus tertuju pada Sartika dan pengakuannya.

Wanita itu sudah memiliki keluarga.

Calvin menutup matanya sejenak. Entah kenapa, ada perasaan tidak nyaman di dadanya sejak mendengar Sartika mengatakannya.

Ia tidak mengerti kenapa. Ia tidak memiliki hak untuk merasa seperti ini. Sartika hanyalah seorang yang ia bantu, tidak lebih. Tapi, kenapa saat mengetahui bahwa Sartika memiliki suami dan anak di kampung, ada rasa gelisah yang menyusup ke hatinya?

Calvin akhirnya keluar dari mobil dan berjalan masuk ke rumahnya. Malam sudah larut, dan suasana rumah begitu tenang. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan.

Ia melepas jasnya, meletakkannya di sofa, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Saat ia meneguknya, matanya tanpa sadar melirik ke arah tangga menuju lantai dua.

Sartika pasti sudah tidur.

Calvin mengusap wajahnya, lalu kembali ke ruang tamu dan menjatuhkan dirinya di sofa. Ia harus berhenti memikirkan wanita itu.

Tapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin jelas wajah Sartika terlintas di pikirannya. Bagaimana ekspresi ragu wanita itu saat meminta izin untuk pulang ke kampung. Bagaimana nada suaranya yang terdengar berat saat menyebutkan keluarganya.

Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di balik kata-kata Sartika.

Dan Calvin, untuk pertama kalinya, merasa ingin tahu lebih dalam.

Calvin menatap langit-langit rumahnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari sofa. Ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang membuat pikirannya tidak bisa tenang.

Tanpa berpikir panjang, ia melangkah menuju lantai dua. Langkah kakinya pelan, nyaris tanpa suara saat melewati lorong menuju kamar tamu tempat Sartika menginap.

Ia berhenti di depan pintu kamar Sartika. Tangannya terangkat, nyaris mengetuk, tapi kemudian ia ragu. Apa yang sedang ia lakukan?

Kenapa ia datang ke sini?

Seharusnya, ia tidak terlalu peduli. Seharusnya, ia tidak perlu memikirkan wanita itu sejauh ini. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam cara Sartika berbicara tadi yang membuatnya ingin tahu lebih dalam.

Ia mengepalkan tangannya, lalu akhirnya mengetuk pintu dengan pelan.

"Sartika." Suaranya terdengar dalam, namun cukup jelas.

Tidak ada jawaban.

Ia mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Sartika, kau sudah tidur?"

Masih tidak ada jawaban.

Calvin mengerutkan keningnya. Ia tahu ini sudah malam, tapi entah kenapa ia merasa gelisah. Setelah beberapa detik, akhirnya ia menghela napas dan memutar kenop pintu perlahan.

Saat pintu terbuka, ia melihat Sartika tertidur di tempat tidur kecilnya, tubuhnya sedikit meringkuk di bawah selimut tipis. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya lembut yang menyinari wajahnya.

Calvin berdiri di ambang pintu, memperhatikan wanita itu. Napasnya terdengar teratur, wajahnya terlihat damai dalam tidur. Namun, ada sesuatu yang membuat dada Calvin terasa sesak.

Sartika tampak lelah.

Calvin menyadari bahwa sejak wanita itu bekerja di kantornya, Sartika selalu terlihat sibuk, selalu berusaha melakukan yang terbaik meskipun tugasnya sederhana. Ia jarang mengeluh, dan selalu berusaha untuk tidak merepotkan orang lain.

Dan sekarang, melihatnya tidur seperti ini, Calvin merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya.

Ia tidak mengerti perasaan ini.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya menghela napas panjang, lalu menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan Sartika.

Calvin berjalan kembali ke kamarnya, mencoba menyingkirkan semua pikiran yang berputar di kepalanya. Namun, saat ia berbaring di tempat tidurnya, wajah Sartika masih terus muncul dalam benaknya.

Ia memejamkan mata, mencoba tidur.

Tapi malam ini, tidur Calvin tidak pernah benar-benar nyenyak.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!