Raisa memiliki prinsip untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Awalnya Edgar, suaminya menerima prinsip Raisa itu. Tapi setelah 6 tahun pernikahan, Edgar mendapatkan tekanan dari keluarganya mengenai keturunan. Edgar pun goyah dan hubungan mereka berakhir dengan perceraian.
Tanpa disadari Raisa, ternyata dia mengandung setelah diceraikan. Segalanya tak lagi sama dengan prinsipnya. Dia menjadi single mother dari dua gadis kembarnya. Dia selalu bersembunyi dari keluarga Gautama karena merasa keluarga itu telah membenci dirinya.
Sampai suatu ketika, mereka dipertemukan lagi tanpa sengaja. Di saat itu, Edgar sadar kalau dirinya telah menjadi seorang ayah ketika ia sedang merencanakan pernikahan dengan kekasihnya yang baru.
Akankah kehadiran dua gadis kecil itu mampu mempersatukan mereka kembali?
Follow Ig : @yoyotaa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoyota, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Roni merasa gelisah, ia bimbang antara mau cerita ke Raisa atau tidak tentang pertemuannya dengan Elsa tadi. Kalau dilihat dari reaksinya sih, Elsa tidak curiga. Tapi tetap saja kalau mau membicarakan salah satu anggota keluarga dari Gautama, rasa-rasanya begitu mencekam.
Tepukan tangan di bahu Roni menyadarkan dari lamunannya sendiri.
"Kamu lagi mikirin apa sih, Ron?" tanya Raisa yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
"Nggak mikirin apa-apa kok, Mba," jawab Roni yang masih menutup mulutnya.
"Kimi udah pada tidur, Mba?" tanya Roni lagi untuk membuka topik obrolan.
"Udah, ini kan sudah jam 8 lewat. Aku juga tidak akan izinkan mereka tidur malam-malam. Nggak bagus masih kecil tidurnya malam. Sebenarnya walaupun kita sudah dewasa pun, tidur malam tetap tidak bagus."
Roni mengangguk-angguk setuju.
"Berapa uang yang tadi kamu habiskan untuk bermain seharian dengan anak-anakku?" tanya Raisa.
"Apa sih Mba tanya-tanya begitu. Pokoknya aku nggak mau jawab kalau Mba malah ingin bayar uang yang tadi aku habiskan untuk mereka. Mereka keponakanku, jadi sudah sewajarnya kalau aku menyenangkan mereka."
"Tetap aja Ron, kamu itu juga harus punya tabungan, emangnya kamu nggak ingin menikah? Nggak mau punya rumah sendiri? Uang kamu selalu kamu habiskan untuk menyenangkan mereka kalau kamu kesini."
"Umurku masih muda, Mba. Baru juga 32 tahun. Kalau soal tabungan mah, aku ada. Tapi untuk urusan menyenangkan keponakanku itu juga sudah aku bedakan. Jadi aman semuanya Mba. Lagipula aku juga belum ingin menikah."
Raisa pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Karena untuk menasehati tentang pernikahan, ia pun rasanya tak pantas karena pernikahannya pun kandas. Ia hanya berharap adiknya punya keluarga baru, alih-alih terus selalu mengkhawatirkan dirinya dan juga si kembar.
"Mba," ucap Roni lagi. Sepertinya Roni berubah pikiran. Ia tak mau kakaknya jadi semakin tertekan dan khawatir kalau Tidka tahu apapun.
"Tadi di mall aku tidak sengaja bertemu dengan Mba Elsa."
Lihat, baru menyebut namanya saja, Raisa langsung tersentak dan raut wajah ketakutan terlihat begitu jelasnya.
"Tenang aja Mba, Mba Elsa nggak tahu kok kalau Kimi adalah anak-anak Mba. Dia ngiranya Kimi anak-anak aku. Jadi, Mba nggak usah khawatir. Aku juga cerita kalau aku tidak tinggal disini lagi."
Hanya saja, tanggapan Raisa masih belum bisa terlihat tenang. Susah payah dia selalu bersembunyi dari keluarga Gautama, tapi kenapa pada akhirnya pertemuan kembali selalu ada?
Satu hal yang menjadi kekhawatirannya, Elsa tidak mungkin tidak mengira kalau si kembar adalah anak-anak dari Edgar. Apalagi wajah bule keduanya dan rambut berwarna pirang anaknya persis sekali dengan Edgar ditambah lagi ada lesung pipit di pipi si kembar. Kalaupun tidak tahu, mungkin hanya sekilas, pasti kalau Elsa terus mengamati wajah anak-anaknya, Elsa akan tahu kalau Edgar memiliki anak darinya.
"Kamu yakin dia tidak sadar dan curiga? Bisa saja dia hanya menyembunyikan keterkejutannya Ron. Gimana kalau dia memberitahukan itu ke keluarga besar Gautama. Aku takut, aku takut mereka akan mengambil si kembar dariku."
Itulah ketakutan dan kekhawatiran terbesar dalam hidup Raisa. Takut kehilangan dua buah hatinya. Meski awalnya sempat menolak tapi seiring berjalannya waktu, ternyata kehadiran si kembarlah yang mampu menguatkan dirinya untuk tetap menjalani hidup.
Masih teringat dengan jelas di ingatan, memori ketika Edgar meminta Raisa untuk memiliki seorang anak.
"Ca," panggil Edgar padanya. Caca adalah panggilan dari keluarga Edgar untuknya.
"Aku tahu, ini sangat berat untuk kamu. Tapi aku juga nggak ingin mengecewakan mama dan keluarga besarku. Mereka benar-benar mengharapkan keturunan dariku. Apalagi aku ini satu-satunya laki-laki dalam keluargaku. Apa tidak bisa, kita miliki satu anak saja?"
Raisa tersenyum kecut mendengarnya. Padahal Edgar sudah tahu penderitaannya. Sudah tahu rasa takutnya. Raisa takut, kalau tidak bisa membahagiakan anaknya, takut tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya. Terlebih ia memiliki kenangan pahit tentang ibunya. Ia sadar diri, kalau dirinya tidak sempurna. Terlalu banyak kepiluan dan kesedihan dalam hidupnya. Ia rasa, ia tidak mampu untuk melihat anaknya menangis. Makanya ia tak ingin memiliki anak sama sekali. Seharusnya Edgar mengerti.
"Kamu sudah tahu alasanku, sudah tahu prinsipku. Tapi kenapa kamu justru memaksaku? Kamu ingin aku jadi gila?"
"Bukan, bukan begitu Ca. Aku hanya ingin menyenangkan keluargaku."
"Lalu bagaimana dengan aku? Kamu tahu aku tidak siap untuk itu. Aku bahkan masih terus menjalani pemeriksaan ke psikiater."
"Maaf Ca."
Ingatan itu membuat Raisa tak bisa untuk tidak menangis. Rasa takut, khawatir, kalut, gelisah, bercampur jadi satu. Mungkin kalau tidak ada Roni dan Pamela yang berada di sisinya juga. Raisa tak tahu apa di awal-awal kelahiran si kembar bisa ia jalani atau tidak.
Roni yang melihat ketakutan dari kakaknya pun hanya bisa mengelus punggung kakaknya untuk memberikan dukungan dan memberitahukan kalau dia akan selalu ada.
"Ada aku, ada Mba Pamela, kami pasti tidak akan membiarkan Mba ketakutan dalam kesendirian. Berdoa aja semoga Mba Elsa benar-benar tidak curiga di kembar anak Mba. Bohongi diri untuk kewarasan itu tidak apa-apa Mba."
Hanya isak tangis yang bisa Roni dengar dari kakaknya. Selama hidupnya, hanya Raisa satu-satunya keluarga yang dia punya. Raisa bahkan selalu mengunci pintu kamar di saat ibu mereka dulu mengamuk dan memukul-mukuli Raisa. Ia tidak melihatnya, tapi ia mendengar semua keributan itu. Sayangnya, ia masih terlalu kecil saat peristiwa itu terjadi. Kalau saja dia sudah besar sedikit, mungkin ia akan menolong kakaknya supaya kakaknya tidak memiliki trauma sebesar itu sampai sekarang.
Apapun yang membuat Mba bahagia. Aku akan selalu mendukung. Jadilah kuat Mba. Kalau Mba rapuh, Kimi pasti bisa merasakan itu. Mba mungkin hanya menganggap mereka anak kecil. Tapi Mba salah, mereka justru dewasa sebelum waktunya. Mereka begitu menjaga perasaan Maminya. Tidak ingin membuat Mba menangis atau terluka. Makanya mereka selalu jadi anak yang baik dan penurut.
*
*
"Ron, aku berangkat kerja dulu. Jangan telat antar si kembar ke sekolahnya. Aku sudah siapkan sarapan juga bekal mereka di meja makan."
"Iya Mba, hati-hati di jalan."
Raisa harus berangkat lebih pagi dari biasanya karena di restoran tempatnya bekerja sedang ada acara ulang tahun dari salah satu pelanggan disana. Jadi dia harus menyiapkan banyak makanan.
"Kalau lagi ada acara begini, upah lemburan kita jadi banyak Mba. Cuma tenaga yang kita keluarkan pun lebih besar. Ya sebanding sih sama upahnya. Aku kadang suka mikir, kapan ya aku bisa bikin acara begini, ngerayain ulang tahun sama keluarga dan teman-temanku di restoran mewah. Mikirinnya aja yang seneng, tapi abis itu langsung pusing sama duit yang harus dikeluarin."
Raisa yang mendengar curhatan Rani cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Ulang tahun itu kan dimana kita bertambahnya usia. Mau dirayain secara besar-besaran atau sederhana sebenernya sama aja. Emang ngaruh sama usia kita nantinya? Nggak kan? Yang ngatur usia kita sampai usia berapa ya Tuhan. Yang kebanyakan orang cari dari perayaan ulang tahun ya momen kebersamaannya dan euforia ketika itu."
"Ah, Mba Raisa mah terlalu lempeng jadi orang. Sekali-kali mimpi dirayain besar-besaran lah Mba. Ya minimal sekali seumur hiduplah."
"Sekali seumur hidup?" gumam Raisa sambil teringat kenangannya bersama Edgar.
*
*
TBC