Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Janji
Arlen menganggukkan kepalanya setelah mendengar cerita singkat tentang bagaimana pegawai satu-satunya yang bekerja di kedai itu tahu tentang pernikahan Kalila dan Arlen.
Kalila sudah menggigit bibirnya, takut. Bisa saja Arlen tidak terima bagaimana status mereka diketahui, bahkan oleh Asri. Padahal saat itu, Arlen meminta Kalila untuk tidak memberitahukan tentang status mereka kepada siapa pun.
"Jadi," Arlen mencoba menarik kesimpulan. "Sejak awal pernikahan kita, Rafa dan Miska sudah curiga, dan akhirnya kamu menceritakan semuanya pada mereka, disaat ada Asri yang juga ikut mendengarkan?"
Kalila mengangguk takut-takut. Ia meremat tangannya di atas pangkuan. Dia bahkan tidak berani menatap Arlen.
Oh, sungguh Arlen sangat ingin menggenggam tangan Kalila.
"Maaf Mas, tapi Mbak Lila ga salah, kan? Jangan dimarahin ya, Mas." Asri memohon atas nama Kalila. Gadis muda itu bahkan mengulurkan tangannya di depan Kalila seolah tangan kurusnya bisa melindungi Kalila dari Arlen.
"Sebenarnya," Arlen menarik napas. Ia mengurungkan niatnya. "Kalila salah karena membicarakan tentang status pernikahan kami, padahal saat itu aku sudah memintanya supaya ga ada seorang pun tau."
"Maaf." sahut Kalila dengan suaranya yang lirih.
"Tapi, aku juga salah. Seharusnya ga perlu ada yang dirahasiakan dari pernikahan ini. Maaf." Ujar Arlen penuh sesal. Penyesalan yang dia perlihatkan sampai membuat Kalila mengerjapkan kedua matanya. Asri juga sampai melongo.
"Kamu... ga marah?"
"Marah? La, aku sama sekali ga punya alasan untuk marah. Justru, aku minta maaf karena terlambat menyadari semuanya."
Dan tiba-tiba saja setetes air mata keluar dari sudut dalam mata Kalila. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa dia malah menangis. Ada perasaan yang sangat asing tapi perasaan itu begitu nyaman dia rasakan, karena itu air matanya sampai menetes tanpa dia bisa tahan. Buru-buru Kalila mengusap pipinya dan memalingkan wajahnya.
Ah, dia tidak ingin menangis di depan Arlen. Tapi sayangnya, Arlen keburu menyadari air mata itu.
"Asri jadi saksinya sekarang." ujar Arlen.
"Eh, kok tiba-tiba saya jadi saksi? Saksi apa, Mas?" Asri bertanya bingung.
"Aku janji akan memperbaiki semuanya, dan ga akan membiarkan kamu menangis lagi gara-gara aku." ucap Arlen dengan kesungguhan yang terpancar dari kedua matanya.
"Wiiih, so sweet juga ternyata Mas Aren, ya." kata Asri memuji. "Bisa diulang ga, Mas? Biar saya rekam, siapa tau kapan-kapan Mas Aren lupa, saya bisa tunjukkin rekamannya."
"Sri!" Kalila menegur Asri agar gadis itu berhenti kebanyakan bicara.
"Kita jalani saja dulu, Ar." kata Kalila pada Arlen. "Lagi pula, kita masih belum tau apa yang akan terjadi tiga bulan lagi."
"Ada apa dengan tiga bulan lagi?" suara Rafa yang tiba-tiba masuk membuat Kalila, Arlen dan Asri bangkit dari tempat mereka duduk.
"Rafa?" Kalila bersuara dengan sedikit terkejut.
Sementara Arlen hanya menatap Rafa dengan tatapan datar.
"Ada apa dengan tiga bulan lagi?" Rafa mengulangi pertanyaannya.
"Oh, itu...aku dan Arlen..."
"Kami sepakat akan memberikan kesempatan untuk kami mencoba saling menerima dan membangun perasaan." Arlen mengambil alih jawaban. Dia menggerakkan kakinya untuk berdiri di samping Kalila.
"Kesempatan untuk mencoba membangun perasaan?" Rafa mengulangi dengan nada sarkas. "Lalu bagaimana kalo ga berhasil?"
"Bagaimana kalo berhasil?" Balas Arlen.
Ada ketegangan yang tercipta di antara Arlen dan Rafa. Dua pria tinggi itu sama-sama saling melemparkan tatapan dingin seolah siap bertarung di atas ring.
"Apa kamu ga sadar betapa egoisnya kamu sekarang?" ucap Rafa dengan nada gusar.
"Apa kamu juga ga sadar, betapa pemaksanya kamu sekarang?" Arlen membalasnya. "Aku tau kamu marah padaku, tapi apa perlu kamu seberubah ini?"
"Aku ga berubah, aku masih tetap Rafa yang sama. Aku hanya berubah kepadamu saja."
Arlen mendengkus. "Aku jadi curiga, kamu sangat ngotot meminta Kalila untuk berpisah dariku, kamu bahkan ga peduli kalo aku sangat ingin mempertanggung jawabkan apa yang sudah aku kacaukan. Jangan-jangan, kamu menyukai Kalila?"
"Oke, cukup ya." Kalila menarik lengan Arlen agar tidak perlu lagi meneruskan apa yang ada dipikirannya.
"Rafa," Kalila menatap temannya itu. "Ini sudah menjadi keputusanku untuk memberikan kesempatan pada rumah tangga ini. Lagi pula-"
"Tuan," Noe yang masuk terpaksa membuat Kalila menghentikan kata-katanya. "Barangnya sudah sampai."
Rafa mengerutkan kening.
Sementara Arlen langsung meninggalkan tempatnya untuk melihat barang-barang yang sejak tadi mereka tunggu.
"Barang apa?" tanya Rafa.
"Mas Arlen beliin Mba Lila mesin kopi dan oven baru, Mas Raf." Asri lagi-lagi nyeletuk tanpa sempat Kalila rem.
Kedua alis mata Rafa bergerak naik, dia menatap Kalila seolah mengatakan. "Oh jadi begitu rupanya kamu disogok."
"Apa kamu lupa bagaimana kamu menangis di tengah taman sampai Miska harus menjemputmu? Apa kamu lupa bagaimana kamu menghabiskan air matamu semalaman untuknya? Dan sekarang kamu memberikan kesempatan untuknya? Supaya kamu terluka lagi?"
"Apa salah kalau aku dan Arlen ingin mencoba untuk saling membuka hati kami dan memulai kembali rumah tangga ini dari awal? Apakah seseorang yang telah menyesal ga boleh mendapatkan kesempatan untuk berubah?"
Tak hanya Rafa yang terdiam. Asri pun sampai menganga mendengarkan kata-kata yang keluar dari bibir Kalila.
Rafa sampai tidak dapat menemukan kata untuk bisa menyangkal Kalila, hingga petugas-petugas dari toko masuk dengan menggotong mesin kopi dan meletakkan mesin itu ditempat yang sudah disediakan oleh Kalila sebelumnya dengan instruksi dari Arlen.
"Jadi, sepertinya aku ga perlu lagi memperbaiki mesin kopimu yang dulu." ujar Rafa. "Kuharap kamu memberikannya kesempatan bukan karena dia membelikanmu barang-barang mahal itu."
Kalila mendengkus. " Apa kamu ga sadar, barusan caramu berpikir sama persis seperti Arlen sebelum dia tau tentang kebenaran semuanya."
"Aku hanya..."
"Apa karena hidupku yang selalu berputar pada kesulitan ekonomi, kamu jadi berpikiran tentangku seperti itu?"
"Maaf, La, aku hanya..."
"Kamu menyesal karena sudah berpikiran seperti itu tentangku, kan?"
"Ya." Rafa mengangguk.
"Itu juga yang dirasakan Arlen setelah menyadari semuanya."
Lagi-lagi Rafa terdiam. Ekor matanya memperhatikan bagaimana Arlen mengawasi para petugas dari toko itu meng-install mesin kopi dan oven yang baru saja ditempatkan di tempat mereka masing-masing.
Akhirnya Rafa menghela napas panjangnya, dia terlihat menyerah.
"Baiklah, maaf, kalo sikapku telah berlebihan. Aku hanya khawatir dia akan melukaimu lagi."
"Kalila akan baik-baik saja." kali ini bukan Kalila yang menjawab, tapi Arlen yang kembali bergabung dalam perbincangan yang masih alot.
"Kamu boleh menjadikan aku karung samsakmu kalo sampai Kalila terluka lagi karena aku."
"Oke." Rafa mengulurkan tangannya yang disambut oleh Arlen. "Kupegang janjimu. Asri menjadi saksinya."
"Eh, saya lagi yang jadi saksi?"
.
.
.
Bersambung
lanjut Thor,, smangat💪
ayo Thor semangat 💪💪