Terlahir dari keluarga berada dan putri bungsu satu satunya, tidak menjamin hidup Sabira Rajendra bahagia.
Justru gadis cantik yang berusia 18 th itu sangat di benci oleh keluarganya.
Karena sebelum kelahiran Sabira, keluarga Rajendra mempunyai anak angkat perempuan, yang sangat pintar mengambil hati keluarga Rajendra.
Sabira di usir oleh keluarganya karena kesalahan yang tidak pernah dia perbuat.
Penasaran dengan kisah Sabira, yukkkk..... ikuti cerita nya..... 😁😁😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon devi oktavia_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Pagi hari, Sabira sudah rapi dengan seragam sekolahnya, dan dia berdandan seperti biasa, hanya memakai bedak bayi, handbody, lip balm untuk melembabkan bibirnya, rambut di kuncir kuda.
Berdandan sesederhana itu saja, sudah membuat kecantikan Sabira terpancar indah, apa lagi wajah Sabira yang baby face, dan mempunyai kulit yang memang sudah putih bersih dari orok, di tambah dengan tinggi badan Sabira yang sedikit melebihi tinggi rata rata wanita indinesia, membuat gadis remaja itu sudah seperti model, dan banyak di kagumi oleh para pria, membuat kakak angkat Sabira semakin iri kepada Sabira.
Sabira keluar dari kamarnya dengan menyandang tas ransel dan menjinjing tas laptop di tangannya.
"Pagi non Bira." sapa bi Tuti, yang keluar dari kamar Aura.
"Pagi bi." sahut Sabira lembut.
"Hati hati ya non." ucap Bi Tuti, pembantu yang sangat baik kepada Sabira, tidak seperti yang lain, yang di bawah kendali Aura.
"Makasih bi." ucap Sabira tulus, Sabira sangat sayang kepada bi Tuti, orang pertama yang akan datang saat dia terjadi sesuatu.
"Bekal non, sudah bibi letakan di jok motor non." bisik bi Tuti, yang selalu menyiapkan bekal untuk Sabira secara diam diam, takut ketahuan oleh Aura.
"Terimakasih bi, lain kali tidak usah, Bira bisa jajan di luar, aku nggak mau bibi di marahin oleh nenek lampir itu." lirih Sabira.
"Non, tenang saja, bibi bikin bekal diam diam, sebelum para pelayan lain masuk ke dalam rumah." sahut bibi pelan.
"Ya sudah, terimakasih ya, bi." ucap Sabira tulus.
"Sama sama, non." sahut bibi tersenyum senang.
"Oh, ya bi. Lusa ada pertemuan wali murid, apa bibi bisa datang ke sekolah? " tanya Sabira penuh harap.
Semenjak Sabira masuk SMA, orang tuanya tidak pernah lagi datang ke sekolah Sabira, dengan berbagai alasan, tentu saja alasan mereka adalah Aura yang tidak bisa di tinggal, karena tiba tiba sakit.
Dan abang abangnya juga khawatir dengan Aura, pernah beberapa kali Sabira berharap orang tua atau abangnya yang datang ke sekolah, namun harapan Sabira tinggal harapan, akhirnya Sabira tidak pernah lagi meminta bantuan kepada orang tua mau pun abang abangnya, sedapat mungkin Sabira akan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Klau harus di hadiri oleh wali murid, maka Sabira minta tolong sama bi Tuti, seperti saat ini, klau bi Tuti tidak bisa, maka orang tua sahabatnya lah yang menjadi wali Sabira.
"Siap non, bibi bisa datang ke sekolah, non. Karena lusa jatah bibi libur, jadi bibi tidak harus mencari alasan untuk pergi ke sekolah, non." sahut Bi Tuti semangat.
"Terimakasih bi." ucap Sabira berkaca kaca.
"Jangan berterimakasih mulu, ah... Bibi Bosan." kekeh Bi Tuti yang tidak mau nona mudanya bersedih.
Sabira jadi terkekeh mendengar ucapan bi Tuti itu.
"Sudah, non cepat turun, nanti di marahi lagi." usir bi Tuti.
"Baik lah." pasrah Sabira, berlaku dengan mengecup sayang pipi bi Tuti.
"Haiiiss... Anak itu." ucap bi Tuti lirih memegang bekas kecupan Sabira.
"Kasian sekali kamu, non." gumam bi Siti berkaca kaca.
Sementara di meja makan, tampak kehangatan di sana, Bira hanya bisa tersenyum kecut melihat itu semua.
Keluarganya bisa bahagia, tanpa ada dirinya, mereka sudah memulai sarapan bersama tanpa menunggu Sabira, klau Aura yang terlambat, pasti mereka akan menunggu gadis itu, tanpa mengambil makanan terlebih dahulu, sungguh menyesakkan dada.
*Jangan sedih Bira, bukan kah ini sudah biasa kamu lihat, anggap saja kamu anak yatim piatu, yang sedang menumpang di rumah saudara.* gumam Sabira dalam hati.
"Pagi semua." sapa Sabira.
Namun tidak ada yang menyahut, mereka sibuk dengan makanannya, dan orang tua Sabira hanya berdeham, tanpa melihat kearah sang putri.
Aura tersenyum puas dalam hati, melihat Sabira yang di abaikan orang tuanya.
Sabira hanya bisa menahan sesak di dadanya, begitu tidak berartinya dirinya di mata keluarganya itu, mungkin keputusannya untuk pergi jauh dari keluarganya adalah pilihan yang tepat.
Sabira menarik kursi yang biasa dia duduki, sebelah kursi Daren terpisah satu kursi kosong dari sisi kirinya dan di sebelah kanan juga ada kursi kosong dan sebelahnya duduk Aura, sungguh terlihat Sabira anak yang tersisihkan di meja makan itu.
Keluarganya seperti jijik berdekatan dengan Sabira.
Tanpa membuang waktu Sabira lansung mengambil makan, dia duduk dengan diam, memakan sarapannya, sementara keluarganya sedang bersenda gurau tanpa memperdulikan Sabira.
"Aku sudah selesai, aku berangkat duluan." ucap Sabira.
"Dasar anak nggak sopan, kau lihat kami belum selesai kau sudah mau pergi saja! " pekik sang Mama.
"Sekolah ku jauh, ma. Kalau aku menunggu kalian, aku akan terlambat kesekolah." sahut Sabira memberi alasan, yang memang itu adanya.
"Halah, sok sibuk dan sok pintar kau! " sentak sang Mama.
*Memang aku pintar, kalian saja yang nggak tau siapa aku. * gumam Sabira dalam hati.
"Sudah lah, ma. Biarkan saja dia pergi, merusak pandangan saja klau dia ada di sini." sinis Kaifan.
Pak Rusdi mengibaskan tangannya, menandakan Sahira boleh pergi dari hadapan mereka.
Tanpa menunggu waktu lagi, Sabira pergi dari ruang makan itu, dan berjalan cepat keluar rumah, dengan mata yang berkaca kaca.
"Tahan sebentar lagi, kamu pasti kuat, Bira." bisik Sabira kepada dirinya sendiri.
Sabira menunggangi motor metik sejuta umatnya, berbeda dengan ke tiga kakak kakaknya, yang memakai mobil mewah, Sabira memilih memakai motor metik sejuta umat itu, karena motor itu adalah kado ulang tahun dari ayahnya setahun yang lalu.
Ayahnya berniat membelikan mobil untuk Sabira, namun Aura melarangnya, takut Sabira akan kebut kebutan di jalanan, padahal dia saja yang iri, namun papanya membenarkan ucapan Aura, dan memberikan Sabira motor metik sejuta umat itu pada akhirnya.
Sabira menerima dengan senang hati, walau hadiahnya jauh berbeda dari kakak kakaknya, namun ini adalah kado pertama yang papanya berikan, semenjak Sabira duduk di bangku kls 2 SMP.
"Bira." panggil seseorang, saat Sabira di lampu merah.
"Ehh... Rud." sapa Sabira tersenyum tipis, kepada teman sekolahnya.
"Nanti kamu jadi ikut lomba, kan Bir? " tanya Rudi.
"In Syaa Allah, jadi." sahut Sabira.
"Haa.... Syukur lah." lega Rudi.
Tidak lama setelah itu, lampu jalan berubah menjadi hijau.
"Rud, aku duluan." ucap Sabira.
Rudi hanya menganggukan kepala, dan menyusul Sabira dari belakang.
Bersambung....
Haiii... Jangan lupa like komen dan vote ya.... 😘😘😘
ᴄᴘᴛ ʟᴀʜ ᴋᴀᴜ ʙᴋᴛ ᴋɴ