Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Reina menatap wajah Chakra yang terbalut perban dalam diam. Nafas pria itu tampak teratur, meski sedikit terseok-seok. Gadis kecil itu memutuskan untuk mengambil sebuah botol air mineral yang tadi dibeli oleh Joshua, berjaga-jaga jika pria itu terbangun.
"Ngghh..."
Chakra membuka matanya perlahan dan menatap sekelilingnya. Ketika menyadari dirinya berada di rumah sakit, pria itu tersentak dan berusaha untuk bangkit, namun rasa lelah mencegahnya.
"Paman, istirahat dulu," suara Reina menyapa pendengarannya, lembut namun penuh perhatian.
Chakra menoleh dan melihat Reina berdiri di sebelahnya sambil memegang sebotol air mineral. Gadis kecil itu menyerahkannya pada Chakra dengan tangan yang sedikit gemetar.
Chakra menerima botol itu dengan penuh haru, mengucapkan terima kasih, dan membuka tutup botol. Ia meminumnya perlahan, menikmati setiap tetes yang meresap.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Chakra, matanya memandang Reina dengan kebingungan, masih merasa asing dengan situasi ini.
Reina menerima botol yang masih tersisa setengahnya dan meletakkannya di atas nakas, lalu duduk di kursi di dekat ranjang Chakra. "Om Joshua yang membawa Paman kemari. Katanya Paman tersiram air keras," jawabnya tanpa ragu.
Rasa perih di wajah Chakra membuatnya kembali teringat dengan kejadian tadi. Ketika dia keluar menyeret Ikhsan dari kamarnya dan memarahi Lina, tiba-tiba Theo menyiram air keras ke wajahnya. Penderitaan itu terasa begitu nyata.
'Mereka benar-benar keterlaluan! Aku akan membalas mereka nanti!' geram Chakra dalam hati, menahan amarah yang hampir meledak.
"Apa Paman mau membalas mereka?" tanya Reina tiba-tiba dengan senyum tipis yang terpatri di wajah cantiknya, seolah sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Chakra.
Chakra menoleh dengan tajam. "Jika saja ada cara untuk membalas mereka tanpa ketahuan, aku akan dengan senang hati melakukannya," jawabnya dengan nada serius.
Reina menyeringai, terlihat lebih tajam daripada biasanya. Gadis kecil itu mengeluarkan dua boneka jerami dari tasnya, membuat Chakra mengernyit. "Untuk apa dua boneka itu, Reina?" tanyanya, curiga dengan apa yang akan dilakukan Reina.
"Black magic," jawab Reina sambil menatap Chakra dengan tatapan yang penuh teka-teki, "Jadi, katakan siapa yang ingin Paman siksa. Tante Lina atau si mesum itu?"
Chakra tersenyum dingin, rasa dendam membara dalam dirinya. "Lina. Dia yang memulai semua penderitaan ku," jawabnya dengan suara rendah, penuh kebencian.
Reina mengangguk, wajahnya penuh dengan kegembiraan yang sulit dipahami. "Nama lengkapnya siapa, Paman? Dan berikan aku rambutnya," tanya Reina, suaranya seolah memerintah meski dengan cara yang sangat halus.
"Angelina Crystalia Maheswari," jawab Chakra tanpa ragu, diikuti dengan gerakan cepat tangannya yang mengeluarkan plastik kecil dari saku celananya. Plastik itu berisi beberapa helai rambut yang diambil dari Lina beberapa waktu lalu, sebuah tanda yang penuh makna.
Reina menyeringai lebar, menerima rambut itu dengan penuh kepuasan. Dia menatap helai-helai rambut itu dengan serius, lalu menyalurkan sedikit energi hitamnya ke dalam boneka jerami. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Chakra, suara itu terdengar seperti mantra kuno yang menyatu dengan suasana gelap di ruangan itu.
Reina menatap Chakra sekali lagi, matanya bersinar dengan harapan. "Ini hanya permulaan, Paman. Biarkan aku yang mengatur semuanya."
✨
Keluarga Mahesa merupakan keluarga terpandang dengan segala keistimewaannya. Sebagian besar dari mereka memiliki paras yang menawan serta otak jenius, dan mereka sangat pemilih dalam memilih pasangan hidup, menyaring mereka dengan seleksi ketat. Tidak hanya kaya, mereka juga banyak yang menjadi pengusaha sukses, desainer ternama, pejabat, atau pemilik beberapa rumah sakit.
Di mansion mewah milik keluarga Mahesa, seorang wanita cantik terlihat tertidur lelap. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Wanita itu tiba-tiba terbangun dengan wajah penuh rasa sakit.
"Aaahh!!! Sakit!"
"Hentikan! Ini sakit sekali! Hiks...hiks..."
"Tolong! Ini... hiks... benar-benar sakit, huhuhu...."
Tangisan itu membuat seluruh rumah panik. Suara ketukan pintu terdengar disertai panggilan dari baliknya.
"Lina! Ada apa?!" "Kau kenapa, sweety?! Siapa yang menyakitimu?"
Namun, tak ada jawaban selain tangisan Lina yang semakin keras. Panik karena tidak ada sahutan, mereka mendobrak pintu kamar itu. Begitu pintu terbuka, mereka menemukan Lina yang meraung-raung kesakitan, menggulingkan tubuhnya sambil memegang paha, dada, kepala, dan bagian tubuh lainnya.
"Sweety?! Kau kenapa?!" teriak seorang pria, berlari menghampiri Lina yang berguling-guling.
"Ini sakit sekali! Hiks! Tolong aku! Aakkhh!" "Kita ke rumah sakit sekarang!"
Sementara itu, di tempat lain, seorang gadis kecil terlihat asyik menusuk-nusuk boneka jerami sambil cekikikan. Sesekali dia menusuk sambil menekan bagian paha, dada, kepala, atau apapun yang dia inginkan.
"Apa sebahagia itu?" tanya Chakra yang melihat Reina tampak asyik dengan mainannya.
Reina menatap Chakra dan tersenyum, binar kebahagiaan terpancar dari matanya.
"Sudah cukup bermainnya, Kitty. Kita tidur sekarang, oke?" perintah Chakra dengan tegas. Pria itu menepuk kasur di sebelahnya, memberi perintah agar Reina segera naik dan berbaring di sebelahnya.
"Kitty? Namaku Reina, Paman," kata Reina mengerucut tak terima.
"Yah, itu nama panggilanmu. Kau seperti kucing, terlihat menggemaskan tetapi sangat kejam," jawab Chakra sambil tersenyum.
Reina menusuk boneka jerami itu di bagian paha dengan kesal. "Jangan samakan aku dengan hewan itu, Paman!"
Chakra hanya tersenyum, tidak terlalu terkejut dengan perilaku Reina. 'Dia menggemaskan sekali,' pikirnya dalam hati, meskipun dia merasa ada sisi gelap dalam diri gadis kecil ini.
Tiba-tiba terdengar keributan di lorong, membuat Reina segera mencabut jarumnya. Dengan gesit, gadis kecil itu berbaring di sebelah Chakra dan memeluk pria itu, sembari menyembunyikan mainan santetnya di bawah bantal.
"Paman, ayo tidur. Tidak baik orang sakit sepertimu bergadang," kata Reina sambil menatap Chakra dengan tatapan polos.
Chakra mengangkat sebelah alisnya, merasa ada yang aneh dengan bocah ini.
Reina menatap Chakra dengan tatapan polos layaknya seekor anak kucing, membuat Chakra merasa gemas. Dia memutuskan untuk merebahkan diri, menyelimuti tubuh mereka dengan selimut yang disediakan pihak rumah sakit.
"Tidur yang nyenyak, Kitty," bisik Chakra sambil mencium pucuk kepala Reina dengan gemas.
"Tidur yang natural, Paman. Jangan sampai ketahuan," balas Reina dengan berbisik, bertepatan dengan pintu rawat ruangan Chakra yang terbuka.
Chakra dan Reina memejamkan mata, berpura-pura tidur dengan saling berpelukan. Mereka tampak seperti pasangan ayah dan anak yang akur, membuat suasana di ruangan itu terasa damai.
"Yang mana pasiennya?" terdengar suara perempuan memecah keheningan di ruangan itu.
"Yang laki-laki. Gadis kecil itu anaknya," sahut suara seorang perempuan.
"Tampak akur, ya."
Suara langkah kaki terdengar menjauh, diikuti dengan suara pintu yang tertutup. Setelah merasa aman, Chakra dan Reina membuka mata mereka. Gadis kecil itu kembali mengambil boneka santetnya, menusuknya dengan penuh kesenangan, lalu meletakkannya di bawah bantal.
Kemudian, terdengar teriakan kesakitan yang familiar di ujung lorong—suara yang paling dibenci oleh Chakra. Pria itu menatap Reina yang kini memejamkan matanya dengan tatapan yang rumit.
✨
Keesokan harinya, Chakra dipulangkan dari rumah sakit tepat setelah cairan infusnya habis. Tidak ada pemeriksaan lebih lanjut, tidak ada obat, seakan-akan mereka hanya dianggap sebagai pengganggu yang harus segera keluar.
Tatapan merendahkan dan bisik-bisik terdengar saat keduanya melangkah keluar dari rumah sakit. Reina, yang masih dalam pelukan Chakra, menatapnya dengan tatapan kosong, namun tidak mengungkapkan apa pun. Chakra, meski diserang dengan kata-kata kasar, memilih untuk mengabaikannya dan terus berjalan.
Mereka berpapasan dengan keluarga Mahesa di lorong rumah sakit. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan senyum mengejek, menghampiri Chakra dan berkata dengan nada yang penuh sindiran.
"Apa anak haram ini anakmu? Aku tak menyangka setelah keluar dari penjara, kau berhasil menemukan anak yang tak jelas siapa ibunya."
Chakra mengetatkan rahangnya, perasaan marah dan kesal menggerogoti hatinya. 'Aku tak masalah jika dihina, tapi dia berani menghina keponakanku?' pikir Chakra sambil melirik Reina, yang menatap mereka dengan pandangan datar. 'Aku harap dia tidak sakit hati mendengar perkataan mereka.'
Pria itu melanjutkan dengan nada lebih merendahkan lagi.
"Eh, bukannya ini anak Utari? Wah, aku ragu jika Aldi adalah ayahnya. Lihat mata dan rambutnya. Sepertinya ibumu seorang jalang, ya?"
Reina, yang sejak awal tampak tenang, memandang pria itu dengan pandangan kosong. Dalam ingatan tubuh yang ia huni, tidak ada satupun kenangan yang berhubungan dengan orang-orang ini. Namun, Reina menggunakan kemampuan spesialnya untuk menelusuri jiwa pria tersebut. Jiwa pria ini diselimuti aura hitam pekat, yang dengan mudah dikenali Reina sebagai jenis jiwa yang disukai oleh iblis sebagai santapan mereka.
Reina tersenyum miring, "Apakah Om sudah gosok gigi? Mulut Om bau banget, aku mau muntah."
Chakra menatap Reina dengan horor, terkejut dengan kata-kata tajam yang keluar dari mulut bocah itu. 'Darimana dia belajar kata-kata seperti itu?' pikir Chakra.
"Kau!" Pria itu menggertakkan giginya, lalu melayangkan tangannya untuk menampar Reina. Namun, tiba-tiba waktu berhenti.
"Reina sayang~ Sepertinya kau mendapatkan makanan spesial untukku~ Ah~ Aku jadi lapar~" suara Jeremy yang menggema mengisi lorong rumah sakit.
"Berisik. Bisakah kau sabar sedikit?" desis Reina kesal, sambil menutup telinganya.
Tawa Jeremy menggema di sekitar mereka, membuat suasana semakin aneh dan tidak terduga. Chakra, yang mendengar suara tersebut langsung merasa waspada. Sementara itu, pria yang hendak menampar Reina terkejut dan akhirnya menurunkan tangannya dengan tubuh gemetar, menyadari bahwa situasi ini sudah keluar dari kendalinya.
"Si-siapa di sana?!" teriak Allarick panik, suaranya gemetar.
'Tap' 'Tap' 'Tap'
Seorang pria bermata merah muncul entah dari mana dengan wajah angkuh. Tatapan penuh intimidasi dengan seringai lebar terpancar dari wajahnya, membuat Allarick gemetar hebat. Chakra, yang merasakan tekanan luar biasa itu berusaha keras untuk tidak goyah. Dia harus melindungi Reina dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam, terutama dari pria yang kini berdiri di hadapannya.
"Kau muncul di waktu yang tak tepat," ucap Reina sambil menatap Jeremy kesal. "Aku khawatir kau akan dimusnahkan oleh orang-orang yang bisa menyadari keberadaanmu."
"Oho~ Kau mencemaskan ku? Aku terharu sekali~" Jeremy mengusap air mata imajinernya dengan lebay, membuat Reina mendecakkan lidahnya, tak terkesan sedikit pun.
"Menjijikan," ujarnya singkat.
"Aku anggap itu pujian~" Jeremy tersenyum lebar, lalu menatap Chakra yang menggendong Reina. "Tampaknya kau sangat menyayanginya. Menarik."
"Dia keponakanku." Chakra menjawab tegas, meski ia berusaha keras menahan tekanan yang diberikan oleh Jeremy.
"Yah~" Jeremy mengedikkan bahunya tak acuh, tatapannya kini tertuju pada Allarick yang hanya bisa gemetaran hebat. "Setidaknya aku mendapat hidangan utama hari ini~"
Sambil bersenandung, Jeremy mendekati Allarick dan dengan mudah menyedot aura gelap yang terpancar dari tubuh pria itu, lalu menjilati bibirnya dengan puas.
"Setidaknya aku kenyang untuk beberapa saat," Jeremy berkata ceria, memundurkan tubuhnya dari Allarick yang kini tampak semakin gemetaran, lalu menatap Reina dengan berbinar. "Kau benar-benar mengesalkan."
Chakra terdiam mendengar interaksi antara Reina dan Jeremy. Dia bingung, apakah pria itu mengumpat? Tetapi kenapa raut wajah Jeremy malah tampak bahagia? Chakra menatap Reina yang sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Jeremy, malah menatap iblis itu dengan pandangan datar, seakan tidak ada apa-apa.
'Dia jiwa yang berpartner dengan iblis!' pikir Chakra, mengenang perkataan Reina beberapa waktu lalu.
"Enyah sana!" seru Reina sinis, membuat Chakra terkejut. 'Dia berani mengusir seorang iblis?'
Jeremy mendengus lalu menatap Chakra dengan penuh penilaian, kemudian menyeringai. "Kau manusia pertama yang membuatku tertarik. Benar-benar manusia sempurna! Kyahaha~"
"Kau tidak gila, bukan? Lepaskan kami sebelum ada masalah akibat ulahmu, sialan!" teriak Reina, membuat Jeremy tersadar.
"Oh, tentu saja. Dan aku punya hadiah istimewa untuk kalian~" Jeremy mendekati Allarick yang kini masih gemetaran hebat, "Kau akan melupakan kejadian ini dan menganggapnya hanya mimpi buruk."
Dengan sebuah 'Ctak,' Jeremy menghilang, dan waktu kembali normal. Reina melihat Allarick tampak pucat dan linglung di depannya.
"Paman, sepertinya dia tidak sehat," komentar Reina, menatap Allarick yang tampak kebingungan.
"Hn. Kau benar." Chakra menjawab sekenanya, merasa khawatir meski mencoba tetap tenang. Dia melihat seorang wanita paruh baya berjalan ke arahnya dengan memasang wajah tak suka.
"Om baik-baik saja? Sepertinya Om sakit." tanya Reina dengan nada khawatir yang sengaja dibuat-buat.
"Ah, aku baik-baik saja." Allarick menjawab ketus sambil menggelengkan kepalanya.
"Allarick! Dimana ruang rawat Lina?" tanya wanita itu, sambil melirik sinis ke arah Reina dan Chakra.
"Ibu? Lina ada di ruang VVIP." jawab Allarick dengan cepat.
Mereka berlalu begitu saja, meninggalkan Reina dan Chakra di sana.
"Kau sakit? Wajahmu terlihat pucat," tanya wanita paruh baya itu.
"Tidak. Aku baik-baik saja," jawab Allarick dengan suara pelan.
"Paman, sampai kapan kita berdiri di sini?" suara Reina menyadarkan Chakra dari lamunannya.
"Oh, ayo kita pulang." Chakra mengangguk, berusaha mengabaikan apa yang baru saja terjadi, dan mereka pun meninggalkan lorong rumah sakit tersebut.