Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Menghabiskan Sisa Kenakalan
Setelah memasuki Kota Bandung, Ratri segera menghubungi Asha. Dia memberitahu sang adik, akan segera tiba di rumah.
"Aku dan Bi Lestari sedang tidak di rumah, Kak," ucap Asha lesu, saat menjawab telepon dari sang kakak.
Sontak, Ratri menautkan alis. "Lalu? Kamu di mana sekarang?" tanyanya.
"Di rumah sakit, Kak," jawab Asha. Dia langsung menyebutkan salah satu rumah sakit ternama kota itu.
Ratri terdiam sejenak, sebelum kembali bicara. "Tunggu Kakak di lobi. Minta satpam untuk menemanimu, ya."
Setelah menutup sambungan telepon, Ratri mengalihkan perhatian kepada Sastra. "Kita tidak jadi ke rumah," ucapnya.
"Lalu? Ke mana?" Sastra menoleh sekilas.
Ratri menyebutkan nama rumah sakit yang akan dituju. Dia juga memberikan petunjuk arah dengan baik kepada Sastra.
Tak berselang lama, mereka tiba di tempat tujuan. Sebelum turun dari kendaraan, Sastra menatap lekat penuh selidik terhadap Ratri. "Siapa yang dirawat di sini?" tanyanya.
"Papaku. Kondisi kesehatannya memburuk dalan beberapa waktu terakhir," jawab Ratri pelan, kemudian melepas sabuk pengaman.
Melihat Ratri yang hendak turun, Sastra bergerak lebih dulu. Sudah jadi kebiasaannya membukakan pintu untuk wanita.
"Papa kamu sakit apa?" tanya Sastra lagi, seraya berjalan di sebelah Ratri. Mereka menuju pintu masuk utama rumah sakit.
"Komplikasi. Papa menderita beberapa penyakit berat," jawab Ratri. Dia tertegun, seraya mengedarkan pandangan mencari sosok sang adik. Sesaat kemudian, wanita muda dengan penampilan kasual itu tersenyum hangat, ketika menyambut kehadiran Asha, yang langsung menghambur ke dalam pelukannya.
Asha terisak pilu. Remaja 19 tahun itu tampak sangat sedih. "Syukurlah, Akhirnya, Kakak datang. Aku dan Bi Lestari sudah menunggu sejak tadi," ucapnya, di sela tangisan.
"Bagaimana keadaan Papa? Di mana beliau sekarang?" tanya Ratri, seraya mengusap lembut rambut Asha, yang diikat asal-asalan.
"Itulah, Kak. Kami menunggu Kakak untuk mengurus pemulangan jenazah papa."
Sontak, Ratri melepaskan pelukannya. Dia menatap tak percaya. Arsitek muda berambut pendek itu hampir ambruk ke lantai, andai Sastra tidak segera menahan tubuhnya.
"Ayo." Sastra membawa Ratri duduk. Dia juga mengajak Asha.
"Temani Ratri di sini. Aku yang akan mengurus semuanya," ucap Sastra kepada Asha.
"Kakak siapa?" tanya Asha polos.
"Aku Sastra. Teman dekat kakakmu," jawab Sastra kalem dan penuh wibawa. Tanpa banyak bicara, dia segera berlalu dari hadapan dua bersaudara itu.
Seperti yang dikatakannya tadi, Sastra mengurus segala hal yang berkaitan dengan pemulangan jenazah Windrawan Ismail, ayahanda Ratri. Lewat tangan dinginnya, semua bisa diselesaikan dengan mudah.
......................
Pagi datang menggantikan malam yang dipenuhi derai air mata. Meskipun mentari bersinar terang, tetapi awan mendung justru menaungi hati dua bersaudara, yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh ayah tercinta.
Ratri berdiri mematung dengan tatapan kosong pada gundukan tanah merah, yang kini jadi atap tempat tinggal sang ayah. Pria paruh baya itu akan terbaring di sana untuk selamanya. Tak bisa disentuh, atau sekadar dilihat dari kejauhan.
Begitu juga dengan Asha. Tak dipedulikannya bisik-bisik dari beberapa teman, yang memuji ketampanan serta kegagahan Sastra. Ini bukan saat yang tepat, untuk mengurusi hal tidak penting.
"Kamu tidak pulang?" tanya Ratri, setelah upacara pemakaman selesai, dan mereka telah kembali ke rumah.
"Nanti saja," jawab Sastra.
"Bagaimana jika Elia mencarimu?" Di saat seperti itu, Ratri masih sempat memikirkan hal lain.
"Jangan khawatir. Aku mematikan ponsel sejak tadi pagi," sahut Sastra enteng.
"Tolonglah. Jangan mencari masalah," pinta Ratri, mulai tak enak hati. "Aku pergi. Kamu menghilang. Apa yang akan Elia pikirkan?"
"Sudahlah. Jangan urusi hal itu sekarang. Sebaiknya, kamu pikirkan langkah apa yang akan diambil setelah ini?" saran Sastra tenang.
Ratri mengembuskan napas pelan dan dalam. "Aku sudah bicara dengan Asha. Dia ingin tetap tinggal di sini."
"Tidak masalah. Hormati keputusan adikmu."
"Ya, tentu. Aku hanya takut Asha kesepian dan ...." Ratri tak melanjutkan kalimatnya. Dia bahkan memalingkan wajah ke samping, seakan tak ingin Sastra melihatnya menangis.
Sejak semalam, Ratri berusaha keras menyembunyikan air mata, meskipun melihat Asha dan Bi Lastri menangis pilu karena meratapi kepergian Windrawan.
Melihat kondisi mental Ratri yang sedang terguncang, membuat Sastra merasa iba. Dia duduk di sebelah wanita muda itu. Tanpa sungkan, dirangkulnya Ratri, kemudian dipeluk erat. "Jangan ditahan," ucapnya pelan, setengah berbisik.
Ya. Ratri tak bisa menahan air matanya lagi. Jika semalam dia hanya meneteskan sedikit kepedihan karena sengaja disembunyikan, kali ini semua tertumpah dalam dekapan Sastra. Ratri tak peduli, meskipun itu membuatnya terlihat lemah.
"Aku tahu seperti apa rasanya. Kehilangan seseorang yang teramat kita kasihi. Itu sungguh menyakitkan," ucap Sastra, pelan dan dalam. Tak ada rasa canggung, saat dirinya mengusap-usap lembut lengan Ratri yang tengah menangis.
"Aku sangat menyayangi mama. Namun, dia pergi lebih cepat dari yang kubayangkan. Aku belum menikah. Apalagi memberinya cucu. Banyak harapan beliau yang belum kuwujudkan," tutur Sastra, diiringi senyum semu.
"Kapan mamamu tiada?" Ratri menghentikan isakannya, lalu setengah mendongak menatap Sastra.
"Sudah lama sekali. Itulah kenapa aku lebih memilih tinggal di Skotlandia. Ada banyak kenangan masa kecil di sana. Sesuatu yang tidak terlupakan."
Sastra menggumam pelan, kemudian sedikit menunduk. Dia membalas tatapan Ratri, lalu tersenyum kecil. "Semua akan berlalu tanpa kamu sadari. Kesedihan sedalam apa pun, pasti sirna seiring berjalannya waktu. Kamu terlupa akan segala hal menyakitkan, yang pernah terjadi di masa lalu. Setelah itu ….” Sastra menyentuh dagu Ratri, lalu mengangkatnya perlahan. “Percayalah. Hari baik akan menghiasi kalendermu.”
“Kamu terlalu memaksakan diri. Kamu pikir, aku akan tertawa?”
“Kamu pikir, aku sedang membuat lelucon?” Sastra menaikkan sebelah alis. “Ya, ampun. Aku bekerja keras merangkai kata seperti tadi. Kukira, kamu akan terkesan. Ternyata ….”
Sastra tidak melanjutkan kalimatnya, saat melihat telepon genggam milik Ratri menyala. Sebuah panggilan masuk, dari nomor Eliana.
“Apa Elia tahu kamu ada di Bandung?” tanya Sastra.
Ratri menggeleng pelan. “Aku tidak mengatakan hendak kemari.”
“Kenapa?”
“Aku malas. Elia pasti akan mengajukan banyak pertanyaan. Kamu pasti tahu seberapa ribut dia, saat dihadapkan pada masalah sepele sekalipun.”
Sastra tersenyum simpul.
“Maaf. Aku tidak bermaksud bicara buruk tentang Elia. Dia pacarmu … calon tunangan.” Ratri menggigit pelan bibirnya.
“Hm.” Sastra menggumam pelan, seraya mengusap-usap dagu berhiaskan janggut tipis.
“Tidak seharusnya kamu ada di sini,” ucap Ratri lagi, bernada kecewa.
Namun, Sastra menggeleng samar, seakan tak setuju dengan ucapan Ratri. “Aku akan bertunangan dengan Elia dalam waktu dekat. Sejujurnya, aku hanya ingin menghabiskan sisa kenakalan dalam diri, sebelum benar-benar terikat dalam janji suci pernikahan."
"Menghabiskan sisa kenakalan?"
"Ya. Berselingkuh."
makin seru aja niih...
lanjut lagi atuuh momy nya maher yg cantik jelita