Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Takjub
Selama beberapa menit lamanya, Xander dan Evelyn sama-sama diam. Jet terbang dengan cepat di langit Royaltown. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, jet ini akan membawa mereka menuju Skyline.
Xander menoleh ke samping jendela, menikmati pemandangan kota. Ini benar-benar pengalaman baru untuknya. Megahnya Royaltown berubah menjadi titik kecil saat ini. Sesekali, ia menoleh, dan tanpa sengaja mendapati Evelyn mencuri pandang ke arahnya.
"Ada apa, Evelyn?" tanyanya dengan senyum tipis, suaranya lembut namun cukup untuk memecah keheningan di antara mereka. "Kau membutuhkan sesuatu?"
Evelyn tersentak kecil, buru-buru menggeleng. "Tidak ada," jawabnya, sembari mengalihkan pandangan ke luar jendela. Namun, ekor matanya tetap tak bisa menghindari sosok Xander yang tenang di sisinya.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang, meletakkan sepiring buah segar dan sebotol minuman di meja kecil di depan mereka. Evelyn mengucapkan terima kasih pelan sebelum kembali menatap jendela.
"Apa kau menikmati perjalanan ini, Evelyn?" tanya Xander, setelah hening beberapa waktu.
Evelyn mengangguk pelan. "Ya, ini perjalanan yang cukup menyenangkan bagiku."
Xander tersenyum lega. "Syukurlah. Katakan saja jika kau membutuhkan sesuatu."
Keheningan kembali menyelimuti sebelum Evelyn memberanikan diri bertanya, "Xander, aku ingin tahu... pekerjaan apa yang kau geluti saat ini?"
Xander terdiam sesaat, seperti sedang merangkai kata-kata. "Aku bekerja sebagai pengawal Tuan Govin. Awalnya, aku tak sengaja melihatnya hampir dicelakai oleh beberapa orang. Aku menolongnya, dan sebagai ucapan terima kasih, dia memberikanku pekerjaan ini. Kau tahu, keberuntungan bisa terjadi pada siapa dan di waktu kapan saja tanpa kita duga sebelumnya."
Evelyn mengangguk, menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. "Pekerjaan sebagai pengawal terlihat cocok untukmu. Kau sedikit berubah... dan itu bagus."
"Perubahan adalah bagian dari hidup," jawab Xander dengan senyum tipis.
"Kau benar." Evelyn menghembus napas panjang. Tiba-tiba merasa gugup saat Menyadari bahwa di ruangan ini hanya ada dirinya dan juga Xander. Cukup aneh menurutnya karena seharusnya Xander mengawal Govin.
"Xander, kenapa kau berada di sini? Bukankah seharusnya kau menjaga Tuan Govin?" tanyanya sambil membenarkan posisi duduknya, kembali menoleh ke Xander.
"Tuan Govin memintaku untuk menjagamu, Evelyn."
Evelyn hanya mengangguk kecil, mencoba menyembunyikan rasa hangat yang tiba-tiba menyusup di dadanya. Ia kembali menatap jendela, menikmati pemandangan awan putih yang melayang perlahan.
Musik instrumental lembut mulai mengalun, menambah suasana hening yang nyaman di dalam jet.
Xander benar benar bahagia saat ini. Semua berubah setelah dia menemukan siapa dan dari mana asal usulnya. Dahulu saat ia hanya berdua dengan Evelyn dalam sebuah kesempatan, Evelyn akan berpose ketus dan meminta agar tidak dekat-dekat. Akan tetapi, yang terjadi saat ini begitu berbeda.Evelyn tampak nyaman bersamanya.
Evelyn tertidur di kursi setelah tidak ada lagi pembicaraan. Melihat itu, Xander tersenyum lembut. Ia memanggil pelayan untuk membawakan selimut, lalu dengan hati-hati menyelimuti tubuh Evelyn.
"Kau tampak kelelahan, Evelyn," bisiknya pelan, seolah takut membangunkannya. "Kau tetap cantik seperti biasanya."
Xander menyelipkan anak rambut Evelyn ke belakang telinga sebelum akhirnya kembali duduk di tempat semula. Selama beberapa menit lamanya ia mengawasi wanita itu, takut jika terjatuh meski hal itu cukup mustahil karena keamanan kursi ini begitu baik. Apalagi saat Evelyn tertidur, kursi secara otomatis berubah menjadi kasur tempat tidur.
"Sepuluh menit untuk sampai di tempat tujuan."
Suara pengumuman dari sistem pesawat membangunkan Evelyn dari tidurnya. Dengan gerakan malas, ia mengubah posisi menjadi duduk, mengucek matanya perlahan. Kursi yang ia duduki kembali ke posisi semula, membuatnya lebih nyaman. Ketika Evelyn menoleh ke samping, ia mendapati Xander sedang menatap jendela dengan senyuman samar, menikmati pemandangan langit yang cerah.
Jantung Evelyn berdegup kencang. Xander benar-benar tampan saat ini—terlalu tampan, dan ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Dalam sekejap, ia meraih ponselnya dan, tanpa berpikir panjang, memotret pria itu diam-diam.
"Evelyn, kau sudah bangun?" Xander tiba-tiba menoleh, menyadari gerakan Evelyn. "Apa tidurmu nyenyak?"
Terkejut, Evelyn buru-buru menyembunyikan ponselnya ke dalam tas. Namun, saking gugupnya, ponselnya terjatuh. Ia membungkuk untuk mengambilnya, tetapi layar ponsel yang menyala menampilkan foto barusan—wajah Xander terpampang jelas.
"Ah, biar aku saja." Evelyn memungut ponselnya, memasukkan ke dalam tas dengan jantung yang seolah melompat dari tempatnya. Ia tidak tahu bagaimana jadinya jika Xander melihat fotonya di layar ponsel.
Evelyn terpejam dengan satu tangan mengelus dada yang berdebar. Entah kenapa dia menjadi gugup setiap kali dekat atau memikirkan Xander. Sebagai wanita dewasa, ia tentu tahu perasaan yang saat ini dirasakannya.
"Mungkinkah aku... jatuh cinta pada Xander?" gumam Evelyn pelan.
Dia cepat-cepat menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu. Tidak mungkin! Ia mengingat dirinya membenci Xander karena pria itu sudah merenggut waktu berharganya dan membuatnya berada dalam posisi sulit selama dua tahun. Namun, kenapa pikirannya tidak bisa beralih dari Xander saat ini?
"Evelyn, kau baik-baik saja?" suara Xander membuyarkan lamunannya. Dia menatap Evelyn dengan alis sedikit terangkat, memperhatikan rona merah yang masih melekat di pipinya.
"Ah, tidak! Maksudku, ya, aku baik-baik saja," Evelyn menjawab gugup, hampir seperti berteriak.
Xander terkekeh kecil. "Aku bisa memanggil dokter kalau kau butuh," tawar Xander.
"Tidak perlu!" Evelyn memiringkan tubuhnya, memunggungi Xander. Ia merasa harus menjauh sebelum rasa malunya semakin menjadi-jadi. "Aku pasti sedang berhalusinasi," gumamnya sendiri.
Beberapa menit kemudian, jet pribadi mendarat mulus di bandara Skyline. Xander dan Evelyn berjalan di belakang Govin dan beberapa pengawal lainnya.
Evelyn yang lebih sering mencuri pandang pada Xander justru abai dengan keadaan sekitar. Alhasil, ia hampir terjatuh saat berada di tangga.
"Astaga!" Evelyn terkejut, tubuhnya condong ke depan.
"Evelyn!" Xander dengan sigap menangkap pinggang Evelyn, menahannya dengan kuat. Aroma wangi dari wanita itu segera menyergap penciumannya, membuat jantungnya berdebar-debar. Jarak ini adalah jarak terdekatnya dengan Evelyn sepanjang dua tahun terakhir.
Di saat yang sama, Evelyn serasa disiram udara hingga membeku. Matanya membulat lebar dengan dada yang bergemuruh seperti genderang perang. la bisa merasakan wajahnya yang terasa terbakar saking panasnya,Terlebih dahulu saat mencium aroma maskulin dan menenangkan Xander. la benar-benar terhipnotis.
"A-aku baik-baik saja, Xander," ucap Evelyn pelan, cepat-cepat menjauh dari pelukan Xander. Ia menuruni tangga dengan langkah yang hati-hati, berusaha mengendalikan perasaannya yang tak menentu.
Di ujung landasan, dua mobil mewah berhenti. Salah satu pengawal membuka pintu dan menoleh ke arah Evelyn.
"Nona Evelyn, silakan masuk. Kami akan mengantar Anda langsung ke rumah Anda," ujar Govin
Evelyn mengerutkan kening. "Mengantar langsung ke rumah? Kurasa itu tidak perlu. Aku bisa memesan taksi atau meminta saudaraku menjemputku di sini."
"Kami tidak bisa melakukannya, Nona. Kami diminta untuk langsung mengantarkan Nona Evelyn sampai rumah dengan keadaan selamat."
"Evelyn, percayalah pada kami," bisik Xander di telinga Evelyn.
Evelyn tiba-tiba merinding ketika embusan napas Xander terasa di belakang telinga. "Tu-tuan Govin, aku masih bingung kenapa aku diperlakukan seperti ini, padahal aku atau keluargaku tidak memiliki hubungan apa pun dengan keluarga Ashcroft sebagai pemilik Phoenix Vanguard. Tolong ceritakan aku sampai aku bisa tenang, Tuan."
"Tuan Ethan, kakek Anda, adalah sosok yang berjasa bagi pemilik Phoenix Vanguard di masa-masa sulitnya," jelas Govin.
Evelyn menoleh dengan raut terkejut. "Kakekku?" Meski demikian, ia segera menguasai dirinya, terlebih ketika Xander mengangguk untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Govin. "Baiklah, Tuan. Saya akan menerima penjelasan ini untuk sementara."
Xander membuka pintu belakang salah satu mobil mewah dengan gestur lembut. "Masuklah, Evelyn," katanya.
Dengan sedikit ragu, Evelyn memasuki mobil dan mendapati interiornya yang begitu mewah. Meski bukan penggemar mobil dan sejenisnya, tetapi ia tahu kalau kendaraan ini termasuk kendaraan yang sangat mewah dan mahal.
Xander duduk di samping Evelyn, lalu tanpa berkata apa-apa, membungkuk untuk memasangkan sabuk pengaman pada wanita itu. Evelyn tidak menolak, meski jantungnya kembali berdebar keras.
"Evelyn, apa kau sudah menghubungi keluargamu?" tanya Xander ketika mobil mulai melaju meninggalkan bandara.
Evelyn tersentak, menyadari bahwa ia sama sekali belum memberi kabar pada keluarganya. "Aku melupakan hal itu." Dengan cepat, ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada ibunya, Avery.
Beberapa saat kemudian, balasan muncul. Avery mengabarkan bahwa sebagian besar keluarga Voss tengah berkumpul di rumah mereka. Evelyn menggigit bibirnya, merasa khawatir. "Xander, sebagian keluarga Voss sedang berada di rumahku saat ini. Aku takut jika mereka akan menghinamu lagi."
"Itu tidak masalah bagiku," jawab Xander dengan nada santai, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Evelyn menghela napas panjang. Kenangan masa lalu di mana ia pernah ikut menghina Xander menyeruak di benaknya. Tetapi sekarang, hatinya justru dipenuhi keinginan untuk melindungi pria itu.
Mobil melambat, memasuki gerbang besar dengan desain megah, lalu berhenti di halaman rumah berlantai dua milik keluarga Voss. Evelyn dapat melihat anggota keluarganya berbincang santai di taman samping, tetapi perhatian mereka segera teralihkan ketika salah satu dari mereka berteriak.
"Bukankah itu mobil Eclipse Valoria yang berharga jutaan dolar?" Raven tiba-tiba bangkit dari kursi, menunjuk dua mobil yang menepi di halaman utama. Ataukah aku sedang bermimpi saat ini."
"Kau tidak salah," Victor menyahut, tatapannya tak lepas dari mobil itu.
Raven, Victor dan beberapa pria yang sebaya dengan mereka tiba-tiba mencapai halaman utama, begitupun dengan anggota keluara Voss yang lain. Mereka menatap penuh kekaguman pada dua mobil yang terparkir di depan.
"Avery, siapa yang datang ke rumahmu dengan kendaraan seperti itu?" tanya Declan dengan wajah penuh keheranan.
"Aku sama sekali tidak mengundang siapa pun hari ini ke rumahku." Avery teringat sesaat.“Mungkinkah itu Evelyn dan Mason?”
Raven mengerutkan dahi. "Mason? Raven terdiam sejenak. "Setahuku mobil itu hanya dimiliki oleh keluarga papan atas di Vistoria. Tidak sembarang keluarga bisa memilikinya, terutama dengan batasan jumlah produksinya. Aku pikir keluarga Dagger tidak mungkin memilikinya."
Kehadiran mobil-mobil mewah itu menimbulkan keheningan mendadak. Semua mata tertuju pada pintu mobil yang kini terbuka.
Seorang pria berjas hitam keluar dari mobil pertama, berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu samping. Evelyn keluar dari mobil dengan perasaan gugup, terlebih saat melihat senyuman Xander yang begitu manis dan menenangkan. Begitu menoleh ke depan, ia terkejut ketika melihat keluarga Voss berkumpul meski ia sudah menduga hal ini sebelumnya.
“Evelyn.” Sebagian anggota keluarga Voss berteriak karena terkejut. Namun, tak lama kemudian mereka teringat ketika melihat sosok Xander.