Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Meyra berjalan pelan di ruang tamu rumah yang kini terasa lebih sepi. Suara tawa anak-anak yang dulu riuh di rumah ini semakin jarang terdengar. Rey, Rheana, dan Chessa—anak-anak Alvin—semuanya menjalani kehidupan mereka dengan cara yang berbeda. Chessa, yang berusia enam tahun, masih bisa merasakan kehangatan perhatian Meyra. Mereka sering bermain bersama, dan Meyra berusaha memberikan perhatian penuh padanya. Namun, Rey dan Rheana terasa semakin menjauh.
Rey, anak pertama Alvin, adalah remaja berusia lima belas tahun yang keras kepala. Di sekolah, ia sering bermasalah dengan teman-temannya dan mendapatkan nilai yang buruk. Sifat cueknya semakin memperburuk keadaan, membuatnya terjebak dalam dunia yang sulit dipahami oleh orang dewasa. Rey merasa sangat kecewa dengan keadaan keluarganya. Ia merasa kehilangan arah setelah ibunya, Sarah, meninggal dan kini ada wanita lain yang menggantikan posisi itu.
Meyra menyadari bahwa pendekatannya terhadap Rey harus lebih hati-hati. Ia berusaha berbicara dengan Rey, memberikan dukungan dan kasih sayang, tetapi remaja itu selalu menanggapi dengan sikap dingin. Kadang-kadang ia merasa seperti berusaha membangun tembok antara dirinya dan anak itu. Setiap kali Meyra mencoba berbicara, Rey selalu menghindar dan lebih memilih menghabiskan waktu di kamarnya atau berkumpul dengan teman-temannya.
Di sisi lain, Rheana yang lebih muda, meskipun tidak menunjukkan sikap yang agresif seperti Rey, juga merasa kesulitan menerima kenyataan. Ia lebih pendiam, dan sering terlihat menarik diri dari suasana keluarga. Mungkin Rheana merasa bahwa ia tak lagi memiliki tempat di rumah yang baru ini, dengan adanya Meyra yang dianggapnya sebagai ibu tiri.
Namun, berbeda dengan Rey dan Rheana, Chessa lebih mudah menerima kehadiran Meyra. Gadis kecil itu merasa nyaman dengan perhatian tulus yang diberikan Meyra, dan kedekatan mereka semakin hari semakin terlihat. Chessa sering meminta Meyra untuk membacakan cerita sebelum tidur atau bermain boneka bersama. Meyra berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan emosional anak-anak ini, meskipun ia sendiri merasa tertekan.
Namun, selain menghadapi masalah dengan anak-anak, ada hal lain yang membuat hati Meyra semakin berat. Alvin, suaminya yang sah, hampir setiap malam pulang larut malam. Sering kali, ketika ia pulang, wajah Alvin tampak lelah dan tidak ada lagi senyuman hangat seperti yang dulu pernah ada. Meyra tahu bahwa Alvin tidak pernah benar-benar menganggap pernikahan mereka sebagai sebuah hubungan yang berarti. Ia selalu kembali ke rumah setelah bersenang-senang di luar dengan wanita lain, meninggalkan Meyra yang merasa semakin terasing.
Setiap kali Alvin pulang, Meyra hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia sadar bahwa selama ini ia sudah terlalu banyak mengalah demi keluarga ini, namun semakin hari ia merasa semakin terperangkap dalam kehidupan yang tak pernah ia pilih. Pernikahan ini, yang awalnya dilandasi oleh pengorbanan demi Baim dan anak-anak Alvin, kini terasa begitu berat untuk dijalani.
Pada suatu pagi, ketika anak-anak sudah berangkat ke sekolah, Alvin memanggil Meyra ke ruang tamu. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Ia menatap Meyra dengan mata yang tajam, seolah ada keputusan penting yang harus diambil.
"Meyra, kita perlu bicara," kata Alvin dengan nada yang tegas. "Aku ingin kau berhenti bekerja. Aku sudah memikirkannya, dan aku yakin ini adalah keputusan yang terbaik."
Meyra terkejut. Ia sudah mengira bahwa Alvin akan meminta sesuatu seperti ini, tetapi tetap saja, kata-kata itu terasa seperti tamparan yang keras. "Apa maksudmu, Alvin?" tanya Meyra, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang mulai tumbuh di dadanya.
Alvin menghela napas, seolah sedang menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu yang sangat penting. "Aku ingin kau berhenti bekerja sebagai guru TK dan fokus sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga. Anak-anak membutuhkan perhatian lebih dari kamu. Mereka membutuhkan seorang ibu yang ada di rumah setiap saat."
Meyra terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan permintaan ini. "Alvin, aku bekerja di TK karena itu adalah panggilan hatiku. Itu adalah bagian dari diriku yang tak bisa aku lepaskan begitu saja. Aku bisa mengatur waktu, dan aku yakin bisa melakukan keduanya—merawat anak-anak dan bekerja."
Namun, Alvin tidak tampak peduli dengan penjelasannya. "Meyra, aku tidak ingin mendengar alasan lagi. Ini keputusan yang sudah kuambil. Kamu harus berhenti bekerja dan fokus di rumah. Jangan ada lagi alasan. Aku tidak ingin melihatmu bekerja di luar rumah, ini adalah tugasmu sebagai istri dan ibu rumah tangga."
Meyra merasakan darahnya mendidih. Ia merasa seperti tidak memiliki kontrol atas hidupnya sendiri. Bagaimana bisa Alvin memaksanya untuk mengorbankan pekerjaan yang sangat ia cintai hanya untuk memenuhi kehendaknya? Namun, melihat ekspresi Alvin yang penuh tekad, Meyra tahu bahwa ia tak punya banyak pilihan. Jika ia melawan, itu hanya akan memperburuk keadaan.
Dengan hati yang berat, Meyra akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan mengundurkan diri dari pekerjaanku," jawabnya dengan suara pelan. "Tapi, aku harap kamu mengerti bahwa ini bukan keputusan yang mudah bagiku."
Alvin tersenyum tipis, seolah merasa puas dengan keputusannya. "Itu lebih baik. Aku tahu kau akan memahami itu."
Setelah mengundurkan diri, kehidupan Meyra berubah drastis. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, merawat anak-anak Alvin, dan mencoba untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi mereka. Namun, meskipun ia berusaha sebaik mungkin, tetap saja ada rasa kekosongan yang menyelimuti hatinya. Kehidupan rumah tangga ini tidak pernah ia impikan, dan ia merasa semakin terjebak dalam rutinitas yang tidak ia pilih.
Rey masih tetap bersikap dingin dan sering menghindar darinya. Ia merasa bahwa kehadiran Meyra hanya memperburuk keadaan, dan ia semakin menjauh. Meyra sering mencoba berbicara dengannya, tetapi Rey selalu menanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Ia merasa tidak ada yang bisa mengubah perasaannya tentang situasi keluarga mereka yang kacau.
Rheana juga masih tampak tidak nyaman dengan keadaan ini. Ia jarang berbicara dengan Meyra, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya di luar rumah. Meyra merasa bingung dan cemas. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak itu, tetapi sepertinya usahanya tidak dihargai.
Di sisi lain, Chessa adalah satu-satunya anak yang masih bisa merasakan perhatian dan kasih sayang dari Meyra. Mereka sering bermain bersama, dan Chessa tampak lebih ceria daripada sebelumnya. Meskipun begitu, Meyra tahu bahwa kehadiran dirinya sebagai ibu tiri tidak bisa begitu saja menggantikan peran ibunya yang sudah tiada.
Sementara itu, Alvin tetap tidak memberikan perhatian yang cukup. Ia semakin sering pulang larut malam setelah bersenang-senang dengan wanita lain, meninggalkan Meyra yang merasa semakin kesepian. Ia mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar bisa bertahan dalam pernikahan ini. Akankah pernikahan yang dimulai dengan pengorbanan ini berakhir dengan kebahagiaan, ataukah semuanya hanya akan berujung pada kehampaan?
Kehidupan rumah tangga ini semakin terasa seperti perjalanan panjang yang tak ada ujungnya. Meyra merasa bahwa ia harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi semua ini, meski terkadang, ia merasa semakin terpuruk. Tapi, apa pilihan yang ada?