Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Hubungan Dasha dan Gavin semakin harmonis setelah mereka memutuskan untuk membuka toko kue Dasha lebih memiliki waktu bersama keluarga. Kehidupan mereka terasa lebih lengkap dengan kebersamaan yang mereka bangun, terutama saat Dasha bisa meluangkan lebih banyak waktu bersama Nathan. Kegiatan sehari-hari mereka terasa penuh kebahagiaan mengelola usaha, merawat rumah, dan menikmati waktu bersama keluarga kecil mereka. Namun, kebahagiaan itu tiba-tiba diuji ketika mantan istri Nathan, yang telah lama tidak muncul, kembali hadir.
Suatu sore, setelah mereka selesai menyiapkan kue untuk toko, Gavin menerima telepon dari Dasha yang terdengar sedikit gelisah. “Sayang, ada yang ingin aku bicarakan. Mantan istri datang ke toko tadi siang. Dia ingin bertemu dengan Nathan.”
Gavin terdiam sejenak, merasakan sedikit ketegangan di dadanya. “Apa? Kenapa dia datang? Sudah lama sekali dia tidak muncul,” jawab Gavin mencoba menjaga ketenangannya.
Dasha menghela napas. “Aku tidak tahu Gavin. Tapi dia bilang ingin berbicara dengan Nathan. Aku sudah mengatur agar mereka bisa bertemu nanti sore. Aku rasa kita perlu membicarakan ini bersama-sama.”
Mendengar hal itu, Gavin merasa campur aduk. Di satu sisi, dia merasa sedikit khawatir. Peran ibu dalam hidup Nathan sudah diambil oleh dirinya, dan dia sudah merasa sangat dekat dengan anak itu. Kedatangan mantan istri Gavin, yang sempat menghilang begitu lama, membuat Dasha merasa cemas apakah hal itu akan memengaruhi kedekatannya dengan Nathan.
“Apa yang kamu pikirkan, Gavin?” tanya Dasha dengan suara lembut, berusaha mengendalikan emosinya.
Gavin merasakan kekhawatiran yang sama. “Aku hanya ingin memastikan bahwa Nathan tidak merasa bingung atau tertekan. Dia sudah merasa nyaman di sini bersama kita. Aku ingin dia tahu bahwa kita berdua ada untuknya, apapun yang terjadi.”
Dasha mengangguk pelan, merasakan kedalaman kasih sayang Gavin terhadap Nathan. “Aku tahu kamu sangat peduli, Gavin. Aku akan mendukungmu, tapi aku juga merasa perlu siap dengan perasaan Nathan. Aku tidak ingin dia merasa terancam dengan kedatangan ibunya.”
Setelah percakapan itu, Dasha dan Gavin sepakat untuk menghadapi pertemuan itu bersama, dan memberikan ruang bagi Nathan untuk memproses apa yang mungkin akan terjadi. Mereka ingin memastikan bahwa Nathan tahu bahwa meskipun mantan istri Nathan kembali hadir, kedekatannya dengan Dasha dan Gavin tidak akan berubah.
Saat sore hari tiba, Nathan duduk dengan tenang di ruang tamu menunggu kedatangan ibunya. Dasha dan Gavin berdiri di sampingnya, memberi dukungan tanpa berkata-kata. Ketika pintu terbuka dan mantan istri Nathan, Mira, melangkah masuk, suasana menjadi sedikit tegang. Mira menatap Dasha dan Gavin dengan senyum yang tegas namun penuh arti.
“Mira,” sapa Gavin dengan nada netral, “Terima kasih sudah datang. Nathan ada di sini.”
Mira mengangguk. “Terima kasih sudah mengizinkan aku bertemu dengan Nathan. Aku hanya ingin berbicara dengannya.”
Dasha dan Gavin mengangguk, memberikan ruang bagi Mira untuk berbicara dengan Nathan. Nathan, meskipun sedikit bingung, tetap duduk di hadapan ibunya. Dasha memandangnya dengan lembut, memberikan senyum penyemangat. Gavin, di sisi lain, tetap di dekat Nathan, siap memberikan dukungan jika diperlukan.
Percakapan itu berlangsung dalam suasana hati yang campur aduk. Mira berbicara dengan penuh penyesalan tentang ketidakhadirannya selama ini dan mencoba menjelaskan alasan kenapa dia baru datang sekarang. Namun, Nathan tetap tenang, meskipun raut wajahnya sedikit cemas.
Setelah beberapa saat, Clara menatap Dasha dan Gavin. “Aku tahu, kalian sudah menjadi bagian penting dalam hidup Nathan. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku masih peduli padanya.”
Dasha dan Gavin saling berpandangan, mencoba memahami perasaan Clara meskipun situasinya terasa sulit. Dasha kemudian berkata dengan lembut, “Kami tidak akan menggantikan posisi ibu dalam hidup Nathan. Kami hanya ingin dia bahagia dan merasa dicintai, dan kami berjanji akan selalu ada untuknya.”
Clara mengangguk pelan, tampak sedikit terharu mendengar kata-kata Dasha. “Terima kasih, Dasha. Aku akan berusaha untuk menjadi bagian dari hidupnya lagi, walaupun aku tahu tidak mudah.”
Setelah pertemuan itu, suasana kembali tenang. Nathan merasa sedikit lega karena pertemuan itu selesai dengan damai. Dasha dan Gavin memastikan untuk tetap mendukung Nathan, memberi ruang baginya untuk mengolah perasaannya sendiri tentang ibunya yang kembali datang.
Malam itu, saat mereka berkumpul bersama di ruang tamu, Dasha memeluk Nathan erat. “Apapun yang terjadi, Nathan, kamu selalu punya kami di sini. Kita adalah keluarga, dan kita akan selalu mendukungmu.”
Nathan memeluk Dasha kembali, merasakan kehangatan dan cinta yang tak tergantikan. “Aku tahu, Bunda. Aku sayang Bunda dan Papa Gavin.”
Dasha tersenyum, merasa tenang meskipun pertemuan itu menguji kebahagiaan mereka. Dalam hati, dia tahu bahwa meskipun masa lalu datang kembali, cinta dan kebersamaan mereka akan selalu menjadi landasan yang kuat.
.
.
.
.
Seiring berjalannya waktu, kehadiran mantan istri Gavin, Clara, mulai semakin sering muncul dalam kehidupan mereka. Awalnya, Dasha merasa baik-baik saja dengan hubungan mereka, karena Gavin selalu meyakinkan bahwa ia sudah tidak memiliki perasaan terhadap Clara lagi. Mereka hanya berteman, dan pertemuan mereka lebih sering untuk urusan anak dan kebutuhan bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, pertemuan itu menjadi lebih sering, dan Dasha mulai merasakan ketidaknyamanan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
Setiap kali Clara datang ke rumah, Dasha merasa suasana di rumahnya berubah. Meskipun Gavin selalu berusaha menjaga jarak, ada sesuatu dalam sikap Clara yang membuat Dasha merasa cemas. Clara akan selalu datang dengan senyum ramah, berbicara dengan Gavin seperti mereka masih saling akrab, dan kadang-kadang bercanda seolah mereka masih pasangan yang pernah bersama. Dasha menyadari, meskipun Clara tidak pernah secara langsung menyampaikan niatnya, ada sedikit ketegangan dalam interaksi mereka yang membuat Dasha merasa tidak nyaman.
Pada suatu sore, setelah Clara meninggalkan rumah mereka, Dasha tidak bisa menahan perasaan cemas yang sudah sejak lama ia pendam. Mereka duduk berdua di ruang tamu setelah makan malam, sementara Nathan sedang berada di kamar bermain.
“Gavin,” suara Dasha terdengar pelan namun penuh ketegangan. “Aku perlu bicara denganmu. Aku merasa ada yang nggak beres dengan kehadiran Clara di sini. Setiap kali dia datang, aku merasa tidak nyaman. Meskipun kamu bilang ini hanya untuk urusan Nathan, aku merasa ada yang lebih dari itu.”
Gavin terdiam sejenak. Wajahnya menunjukkan sedikit kebingungannya. “Dasha, aku tahu kamu merasa seperti itu, tapi aku hanya ingin memastikan bahwa hubungan kami sebagai orang tua Nathan tetap baik. Aku nggak pernah ingin ada ketegangan di antara kita. Clara memang sering datang, tapi itu karena Nathan butuh hubungan yang baik dengan ibunya. Aku nggak ingin ada perasaan canggung atau salah paham.”
Dasha menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai muncul. “Aku mengerti itu, Gavin. Aku benar-benar mengerti. Tapi aku juga ingin menjadi bagian dari kehidupan Nathan. Aku ingin kita berdua membangun keluarga ini bersama, bukan seperti ada pihak ketiga yang terus-menerus hadir. Aku tahu Clara adalah ibu Nathan, tapi aku juga punya perasaan, Gavin.”
Gavin mendekat dan menggenggam tangan Dasha. “Aku tahu ini sulit, Dasha. Aku nggak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman. Aku sayang sama kamu, dan aku nggak ingin ada jarak di antara kita. Aku janji, aku akan lebih hati-hati dengan bagaimana aku berinteraksi dengan Clara, dan kita akan membicarakan ini lebih banyak, oke?”
Dasha mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. “Aku ingin percaya padamu, Gavin. Tapi aku juga butuh kamu untuk melihat apa yang aku rasakan. Aku nggak ingin terus merasa seperti ini setiap kali Clara datang.”
Hari-hari setelah percakapan itu, Gavin berusaha untuk lebih berhati-hati dengan pertemuan-pertemuan antara Clara dan Nathan. Namun, Clara tetap saja sering muncul tanpa pemberitahuan yang jelas. Meskipun Gavin berusaha menjelaskan kepada Clara bahwa ia ingin lebih fokus pada keluarga baru mereka, Clara tampaknya belum bisa menerima kenyataan bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ia ingin tetap dekat dengan Gavin, sering meminta bantuan atau mencoba berbicara lebih lama setelah bertemu dengan Nathan.
Suatu hari, Clara datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Gavin dan Dasha baru saja selesai bekerja di toko kue dan sedang merapikan barang-barang. Clara langsung masuk ke dalam rumah tanpa memberi salam lebih dulu, seolah-olah itu adalah rumahnya sendiri.
Dasha yang sedang berada di dapur, merasa terkejut saat mendengar suara Clara yang berbicara dengan Gavin di ruang tamu. Suasana hatinya langsung berubah menjadi tidak nyaman. Ia bisa mendengar suara mereka tertawa bersama, seolah-olah tidak ada jarak di antara mereka. Dasha merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang mengingatkannya pada masa lalu Gavin dengan Clara.
Setelah beberapa saat, Dasha memutuskan untuk keluar dan bergabung. Ia memasang senyum tipis saat melihat Clara berbicara dengan Gavin, namun matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewa yang mulai tumbuh.
“Clara, ada yang bisa aku bantu?” tanya Dasha dengan suara lembut, meskipun hatinya sedang diliputi rasa tidak nyaman.
Clara menoleh dengan senyum ramah. “Oh, Dasha! Aku cuma mampir sebentar, nih. Aku baru saja ingin ngobrol dengan Gavin soal beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai Nathan.”
Dasha mengangguk, mencoba tetap tenang. “Oh, tentu saja. Nathan pasti senang kamu mampir, Clara.”
Meskipun Dasha berusaha tetap sopan, ia merasa jelas ada ketegangan yang mulai terasa di udara. Clara memandang Dasha sejenak, lalu kembali berbicara dengan Gavin. Dasha menyadari bahwa ia tidak bisa terus membiarkan situasi ini berlangsung tanpa perubahan. Ia ingin melindungi kebahagiaan keluarganya, namun ia juga ingin Gavin memahami betapa besar perasaan yang ia miliki untuknya.
Setelah Clara pergi, Dasha memutuskan untuk berbicara lagi dengan Gavin. “Gavin, aku nggak bisa terus-terusan begini. Aku merasa Clara datang lebih sering, dan aku mulai merasa seperti aku nggak dihargai. Aku butuh kamu untuk lebih mengerti perasaanku juga.”
Gavin menatap Dasha dengan serius, merasakan kegelisahan yang semakin dalam di hati Dasha. “Aku akan mengerti, Dasha. Aku janji, aku akan berusaha untuk lebih tegas dengan Clara. Kamu sangat berarti buat aku, dan aku nggak ingin kehilanganmu.”
Dasha tersenyum tipis, meskipun hatinya masih sedikit terluka. “Aku ingin kita selalu ada untuk satu sama lain, Gavin. Itu saja yang aku minta.”
Gavin meraih tangan Dasha dan menggenggamnya erat. “Kamu nggak akan pernah kehilanganku, Dasha. Aku akan selalu ada untukmu.”
Namun, meskipun Gavin berjanji untuk lebih tegas, Dasha tahu bahwa kedatangan Clara yang semakin sering akan tetap menjadi tantangan dalam hubungan mereka. Dasha harus terus berjuang untuk mendapatkan tempatnya di hati Gavin, dan berharap bahwa dia bisa menjaga kebahagiaan keluarganya yang sudah mulai terancam oleh bayang-bayang masa lalu Gavin.