Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
"Aku Indra Bhupendra, pemimpin Monaspathika." Ucap Indra dengan nada penuh kesombongan. Meski begitu, di dalam benaknya, ia sama sekali tidak meremehkan para musuh yang ada di hadapannya. Malahan, Indra sedang memikirkan rencana untuk mengatasi segala kemungkinan buruk yang akan terjadi pada pertempuran ini.
"Aku Aryandra, pemimpin Pasukan Badung. Pria tinggi di sampingku ini adalah Alex, prajurit terkuat kami." Aryandra tak kalah tegas. Ia mengeluarkan suara yang lantang dan penuh wibawa, sambil menunjuk ke arah Alex yang berdiri gagah di sampingnya. Tubuh Alex yang besar dan berotot seolah menjadi bukti nyata dari gelar yang baru saja disebutkan.
"Nggak peduli." Balas Indra ketus sekaligus nyebelin. Ucapannya yang singkat cukup untuk membuat urat-urat di pelipis Alex menonjol. Jika saja Aryandra tidak menahannya, mungkin Alex sudah melompat dan menghajar Indra di tempat.
"Baiklah, aku beri kalian kesempatan terakhir. Mundur lah atau kita semua akan mati di sini!" Indra mengancam lagi dengan suara seperti guntur yang menggelegar. Tapi, Aryandra tak gentar. Matanya menatap tajam penuh tekad yang kuat. Ia tidak akan mundur sampai Indra dan Monasphatika pergi dari desa ini.
Indra menyadari bahwa tak ada lagi ruang untuk negosiasi. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah pertempuran.
"Oke, kau tidak memberiku pilihan lain." Ujar Indra sambil mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi.
"LEDAKAN!" Seru Indra menggema, mengayunkan tangannya ke bawah. Seketika, dua suara tembakan peluru melesat cepat dari arah belakangnya. Tembakan itu berasal dari Devi dan Handayani, dua penembak jitu Monasphatika, yang bersembunyi di balik pepohonan rindang.
Dua peluru itu melesat tepat menuju sumbu peledak yang tersembunyi di antara tumpukan mayat di sebelah kanan dan kiri Pasukan Badung.
BOOM! Sebuah ledakan besar menghempaskan Aryandra dan pasukannya. Puluhan prajurit Badung tewas seketika, sementara sisanya terkapar dengan wajah dan tangan yang terbakar. Telinga mereka berdenging, sehingga tidak mampu mendengar suara teriakan kesakitan yang memekakkan.
Akan tetapi, siksaan dari Monasphatika tidak berhenti sampai situ saja. Sebelum kobaran api ledakan benar-benar reda, ratusan warga desa muncul dari sisi kanan dan kiri Pasukan Badung dengan membawa celurit, parang, dan juga belati. Wajah-wajah mereka penuh tekad, meski masih ada ketakutan yang terlihat di balik mata mereka.
"SERANG!” Luthfi dan Chakra meneriakkan komando untuk memimpin para warga desa. Suara mereka yang penuh semangat berhasil membuat keberanian para warga menjadi lebih membara.
Indra juga tidak tinggal diam. Ia ikut melesat maju dengan kudanya dan menginjak Aryandra yang masih terkapar di tanah. Tanpa ampun, Indra menghujamkan pedangnya ke arah Pasukan Badung dan menghabisi mereka satu per satu. Dalam sekejap, darah prajurit Badung yang ditebas oleh Indra membasahi jalanan aspal desa.
Aryandra perlahan bangkit dengan wajah penuh amarah. "Semuanya, serang balik mereka! Tapi ingat, jangan sampai kalian membunuh satu orang pun!" Suaranya menggema, memimpin pasukannya untuk melawan balik.
"SIAP!" Respon Pasukan Badung serentak, meski luka-luka mereka terasa menyiksa.
Di sisi lain, Alex yang masih kesulitan untuk berdiri dikeroyok oleh para warga desa. Akan tetapi, serangan mereka hampir tidak ada apa-apanya bagi tubuh Alex yang besar. "BAJINGAN!" Teriaknya penuh kemarahan.
Alex kemudian bangkit dan mengamuk seperti seorang raksasa. Ia melempar, memukul, dan membanting siapa pun yang berani mendekat ke arahnya. Beberapa orang terlempar jauh hingga terkapar tak sadarkan diri. Akan tetapi, Alex tak peduli dan terus menghajar mereka tanpa ampun karena sudah terlanjur dibutakan oleh kemarahan.
Aryandra yang melihat itu menjadi khawatir. "Alex, jangan terbawa emosi, kau bisa membunuh mereka!" Himbaunya sambil melumpuhkan tiga warga desa dengan gerakan yang sangat cepat.
Mendengar ucapan pemimpinya, Alex seketika tersadar. "Argh! Aku mengerti!" Gerutunya dengan amarah yang masih membara.
"Kau lumpuhkan semua musuh yang ada disini, sementara aku akan mencari pemimpin Monasphatika itu. Ingat, jangan sampai membunuh mereka!" Ujar Aryandra meninggalkan Alex.
"Serahkan padaku!” Alex mengangguk, lalu kembali menghadapi para warga desa yang terus menerus mendatanginya.
...***...
Di tengah riuhnya pertempuran, Indra dengan lincah menebas satu per satu prajurit milik Aryandra dari atas kudanya. Pedangnya yang tajam dapat merobek daging mereka dengan presisi yang mematikan.
“Hahahaha, segini aja kemampuan kalian?!” Ejek Indra dengan nada congkak, disertai dengan perasaan yang penuh euforia pertempuran. Suara tawanya yang kegirangan bisa terdengar jelas di antara teriakan Pasukan Badung, seolah menunjukkan bahwa dia lah yang terkuat di sini.
“Indra!” Panggil Luthfi yang baru saja tiba di dekatnya setelah menerobos barisan musuh.
“Oh, Luthfi. Bagaimana keadaanmu?” Tanya Indra, sambil sesekali melirik ke sekeliling untuk memastikan tidak ada serangan mendadak.
“Sejauh ini baik-baik saja. Mereka ternyata cuma kroco-kroco biasa.” Jawab Luthfi dengan ringan, meski napasnya masih terengah-engah. “Ngomong-ngomong, kenapa Devi dan Handayani nggak nembakin musuh dari atas sana?” Tanyanya sambil menunjuk ke pepohonan rindang di kejauhan.
Indra menoleh ke arah yang ditunjuk Luthfi. “Oh, itu karena aku nggak mengizinkan mereka untuk menembak setelah pertempuran pecah. Meski akurasi dua orang itu tinggi banget, mereka tetaplah manusia. Satu saja peluru yang meleset, bisa saja membahayakan nyawa kit—”
Tiba-tiba, sebelum dapat menyelesaikan kalimatnya, Aryandra melompat tinggi dari kerumunan prajuritnya dan menendang Indra dengan kekuatan penuh. Tendangan itu menghantam punggung Indra dengan keras, sehingga membuatnya terlempar dan terguling di tanah.
“Indra!” Teriak Luthfi panik melihat pemimpinnya terjatuh.
“Santai aja, aku nggak apa-apa!” Jawab Indra sambil berusaha bangun, meski punggungya merasakan sakit yang luar biasa. Ia mengusap debu di wajahnya dan menatap Aryandra dengan mata yang membara. “Luthfi, kau pergi urus yang lain aja. Yang satu ini akan jadi milikku.” Perintahnya sambil tersenyum jahat.
Luthfi mengangguk, lalu melesat meninggalkan mereka berdua di tengah kerumunan prajurit yang masih bertarung sengit.
“Oke, pemimpin vs pemimpin, ya.” Ujar Indra sambil memasang kuda-kuda. Pedang yang dipegangnya terlihat berkilauan di bawah sinar jingga mentari sore. Setelah berhasil mengatur nafasnya, ia memfokuskan pandangannya yang tajam pada Aryandra.
Di sisi lain, Aryandra juga terlihat sudah memasang kuda-kuda berpedangnya dan siap untuk melawan Indra. Keduanya saling menatap tajam untuk mengamati lawannya masing-masing. Suasana di sekitar mereka seakan membeku ketika kedua pemimpin hebat ini bertarung satu sama lain.
Indra menjadi orang pertama yang menyerang dengan meluncurkan tebasan cepat dari sisi kanan Aryandra. Akan tetapi, Aryandra dengan gesit menangkis serangan itu dan langsung membalas dengan tiga tebasan berturut-turut. Indra terpaksa mundur dan bertahan dari serangan Aryandra yang begitu cepat dan presisi.
Merasa dirinya terpojok, Indra berguling ke kiri dan mencoba menebas Aryandra dari samping. Namun, pergerakan Aryandra terlalu cepat. Ia menangkis serangan Indra dengan mudah dan langsung membalas dengan lima tebasan beruntun yang nyaris mengenai leher Indra.
Indra kemudian menendang dada Aryandra dengan kekuatan penuh, sambil menangkis serangan balik yang datang. Tendangannya itu berhasil membuat Aryandra terhuyung dan hampir tersungkur ke tanah.
“Kau… Gerakanmu cepat juga, ya.” Ucap Indra dengan napas yang terengah. Keringat mengalir deras di dahinya, namun matanya tetap penuh tekad untuk menang.
“Simpan napasmu itu. Kau akan membutuhkannya nanti.” Balas Aryandra dengan dingin, sambil kembali memasang kuda-kuda. Wajahnya tetap tenang, seolah tidak tergoyahkan.
Indra terdiam sejenak untuk mengatur napas dan strategi. Tiba-tiba, ia melesat maju mencoba menebas leher Aryandra dengan kecepatan penuh. Saat Aryandra mengangkat pedangnya untuk menangkis, Indra dengan cepat berputar ke kiri dan menebas pinggang Aryandra dengan presisi mengerikan.
Luka tebasan itu segera mengalirkan darah keluar dari tubuh Aryandra. Indra tersenyum puas. Namun, senyuman itu segera hilang ketika Aryandra dengan cepat menendang dagunya. Tendangan itu begitu keras hingga membuat Indra sempoyongan dan hampir kehilangan keseimbangan.
“Hahaha… Bajingan.” Gumam Indra sambil mencoba mempertahankan kesadarannya. Dagunya terasa nyeri, namun ia tidak bisa membiarkan itu menguasai pikirannya.
Di sisi lain, Aryandra meraba luka di pinggangnya. Meski tidak mengenai titik vital, luka itu jelas dapat mengurangi kecepatan seranganya. Darah yang keluar cukup banyak, namun wajahnya tetap tenang dan dingin.
“Kau menyadari kelemahanku, ya?” Tanya Aryandra dengan suara datar.
Indra, yang sudah mulai pulih, menjawab sambil meraba dagunya yang masih terasa nyeri. “Iya, kau memiliki serangan yang cepat namun berpola. Itu mudah sekali untuk dipatahkan, hahaha.”
Aryandra tersenyum tipis. “Hahaha, benar sekali. Tapi, bukan berarti aku cuma memiliki satu pola serangan saja.” Balasnya membuat Indra menjadi skeptis.
Keduanya kembali memasang kuda-kuda. Pedang mereka memantulkan cahaya jingga yang menyilaukan mata. Tekanan udara seakan bertambah berat karena suasana yang semakin menegangkan. Pada duel maut ini, keduanya sadar bahwa hanya ada satu orang saja yang akan berdiri di akhir pertarungan.
...***...
Sementara pemimpin dari kedua belah pihak sedang bertarung satu sama lain, Alex, si raksasa berotot, sedang asyik menghadapi warga desa yang berusaha melawannya. Tubuhnya yang besar dan kekuatannya yang luar biasa membuatnya seperti banteng yang mengamuk di tengah kerumunan. Namun, tiba-tiba, Luthfi dan Chakra mendekatinya dengan langkah mantap. Mereka datang dengan tangan kosong, siap menantang Alex adu jotos.
“Oi, Hulk albino, lagi bersenang-senang, ya?” Sapa Chakra dengan nada mengejek.
Alex berhenti memukuli warga sejenak, lalu memandang mereka dengan tatapan sinis. “Apalagi ini? Dua ekor kancil mau ngelawan singa yang perkasa ini?” Ejeknya dengan suara menggema seperti gong yang dipukul keras.
Luthfi tertawa kencang. “Hahaha, that was good.” Ujarnya sambil mengangguk-angguk. “But, you’re already a deadman, Brock Lesnar!” Teriaknya mengejek sebelum berlari kencang menuju Alex, diikuti oleh Chakra yang berada di belakangnya.
“Try me, you punk!” Balas Alex dengan suara menggelegar. Tubuhnya melesat seperti peluru meriam yang siap menghantam kedua lawannya.
Luthfi melompat tinggi, mencoba menghujamkan tendangan ke kepala Alex. Namun, tangan besar Alex dengan mudah menangkapnya di udara, lalu membantingnya dengan keras. Tubuh Luthfi menghantam aspal hingga menerbangkan debu di sekitarnya.
Chakra tidak tinggal diam. Ia langsung menghajar Alex dengan pukulan keras ke bagian liver, diikuti uppercut ke arah dagu. Namun, Alex tidak bergeming dan hanya tersenyum sinis, seolah tidak merasakan sakit sama sekali.
“That’s all you got?” Ejek Alex penuh kesombongan.
Chakra yang kesal tidak mau kalah. Dengan gerakan cepat, ia memeluk kaki Alex dan mendorongnya hingga si raksasa itu terjatuh ke tanah. “Luthfi!” Teriaknya memanggil rekannya yang baru saja bangkit kembali.
Luthfi, yang masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya, langsung berlari dan menendang kepala Alex. Namun, serangan itu seperti tidak berpengaruh sama sekali.
Alex terlihat semakin marah. Matanya menyala seperti api yang siap melahap apa pun di depannya. Dengan gerakan cepat, Alex bangkit dan mengayunkan tangannya ke arah Chakra. Pukulan itu begitu keras, hingga membuat Chakra terlempar beberapa meter dan berakhir tergeletak tak sadarkan diri.
Luthfi, yang melihat tangan besar Alex melayang ke arahnya, segera melindungi diri. Pukulan keras itu menghantam kedua lengan Luthfi yang berusaha melindungi wajahnya. Luthfi terlempar ke tanah, sehingga rasa sakit kembali menjalar di sekujur tubuhnya.
“Bajingan besar ini…” Gumam Luthfi sambil menahan rasa sakit dan mencoba mencari celah untuk melawan.
Sayangnya, Alex tidak memberinya waktu. Pukulan demi pukulan menghujani Luthfi yang masih tergeletak di tanah. Namun, di tengah keputusasaan itu, Luthfi melihat sebuah peluang. Dengan sisa tenaganya, ia menendang selangkangan Alex dengan keras.
Serangan itu berhasil membuat badan Alex meringkuk, hingga meringis kesakitan. Luthfi segera memanfaatkan kesempatan itu dengan melompat dan menghujamkan lututnya ke wajah Alex. Serangan itu hampir membuat Alex terjatuh, namun ia masih bisa bertahan.
“Hahaha, nggak peduli seberapa kuat dirimu, seorang pria pasti lemah jika diserang selangkangannya.” Ucap Luthfi kegirangan, meski napasnya terengah-engah.
Sebelum Luthfi bisa menyerang lagi, Alex dengan cepat bangkit dan memukul pelipis Luthfi menggunakan punggung tangannya. Pukulan itu tidak terlalu keras, namun cukup untuk menghempaskan Luthfi hingga sempoyongan.
“Keparat…” Gerutu Alex dengan suara serak sambil berjalan perlahan mendekati Luthfi yang masih berusaha memulihkan keseimbangannya.
Luthfi mencoba mundur, namun kakinya tersandung dan terjatuh. “Bangsat! Jauh-jauh dariku, tolol!” Teriaknya panik, mencoba mengusir Alex yang semakin mendekat.
Alex tertawa jahat. Tangannya terangkat tinggi seolah siap menghantam Luthfi yang sudah tidak berdaya. Namun, tiba-tiba, sebuah bayangan melesat dari samping dan menabrak Alex dengan kekuatan penuh hingga membuatnya terjatuh karena kehilangan kesehimbangan.
Ternyata, orang yang menabraknya itu adalah Indra dengan kondisi tubuh yang kacau balau. Wajahnya penuh lebam, serta darahnya merembes dari luka tebasan di sekujur tubuhnya.
“Ah, sialan. Rasanya kayak nabrak tembok.” Keluh Indra sambil meregangkan pundaknya yang pegal. “Sorry ganggu pertarungan kalian, ya, guys.” Ujarnya dengan nada santai, meski tubuhnya jelas dalam keadaan buruk.
Di saat yang bersamaan, Alex melihat Aryandra datang dengan langkah pincang, melewati kerumunan prajurit yang masih bertarung. Tubuhnya penuh luka serta wajahnya terlihat pucat. Namun, matanya masih menyala penuh tekad.
“Aryandra?!” Panggil Alex dengan suara kebingungan. “Apa yang terjadi padamu?”
Tiba-tiba, mata Aryandra melotot, lalu ia berteriak dengan keras. “Awas, Alex!”