Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIPAKSA MERELAKAN
Reno terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya, ia mencoba menggerakkan badannya yang juga terasa ngilu. Ia pun bergerak duduk menyandarkan punggung dan kepalanya pada headboard kasur, kemudian memijat pelipisnya yang berdenyut keras dan mencoba mengingat kejadian semalam, merangkai setiap ingatan. Sepulangnya dari kantor ia sengaja pergi ke pub and club bersama Diki, teman kuliahnya dulu. Berharap dengan pergi kesana ia bisa meringankan beban pikirannya. Masalah hati dan perasaannya pada Marsha yang sebentar lagi akan menjadi istri orang, rekan bisnis utama perusahaan keluarganya membuat Reni tidak bisa fokus pada pekerjaannya.
Reno melirik meja di kamarnya, ia teringat menjatuhkan tumbler lalu pandangan beralih pada lantai dimana ia tidak melihat tumbler itu berguling yang sudah tidak ada. Reno pun menyapukan pandangan ke seluruh kamarnya. Tidak terlihat ada tanda-tanda orang lain memasuki kamarnya, apa dia berhalusinasi tentang Marsha semalam? Tapi kaos yang terpasang pada dirinya, bagaimana bisa? Apa mungkin ia lupa kalau ternyata telah menggantinya sendiri? Reno meyakinkan ia pasti hanya berhalusinasi karena memang pikirannya semalam penuh dengan Marsha.
Setelah sakit di kepala jauh berkurang, Reno segera mandi membersihkan dirinya. Menyingkirkan semua yang berbau alkohol, agar tidak ada yang mencurigainya atau menanyakannya lebih lanjut. Kini tampilan lumayan lebih baik dari semalam, walau wajah tertekuk dan tertekan itu tidak dapat ia sembunyikan sepenuhnya.
"Kamu siang banget bangunnya, Ren?" sapa Hana yang tengah sibuk memisahkan beberapa potongan cokelat yang menjadi topping diatas cheesecake yang baru saja dibeli Candra.
Reno tidak menanggapi, Hana menyadari perubahan mood Reno akhir-akhir ini yang ia pikir hanya berkaitan dengan pekerjaan sekarang di perusahaan pusat yang membuatnya semakin sibuk.
"Kamu nggak kerja?" tanya Hana yang heran melihat Reno dengan pakaian kaus polos dan celana santainya.
"Cuti Ma," jawab Reno singkat sambil meraih ketel kopi dan menuangkannya ke dalam cangkir. Reno menarik kursi didepannya dan duduk memperhatikan Hana.
"Baru juga pindah kantor udah cuti aja."
"Ya kan masih satu perusahaan Ma, jatah cuti Reno juga masih ada."
Hana tidak menanggapi lagi soal kerjaan anaknya, ia juga tahu bagaimana sibuknya Reno menghandle dan mengambil alih sebagai direktur pemasaran di kantor pusat mengingat masalah perusahaan yang juga semakin pelik. Reno kembali menikmati kopinya, matanya baru benar-benar terfokus pada cheesecake didepannya.
"Kenapa cokelatnya disingkirkan, Ma?" jangan bilang ada Marsha, batinnya setengah berharap namun setengah lagi ia memang ingin ada Marsha.
"Ck! Ini Papa tadi pulang dari joging niatnya udah oke sih beliin cheesecake, tapi lupa kalau adikmu kan alergi cokelat." cerita Hana sembari menghela napas berat.
Adik yang dimaksud Hana tentu saja Marsha, karena ia memang satu-satunya yang berstatus adik dan saudara sepupunya secara garis lurus dengan Reno. Candra anak semata wayang sama sepertinya, Hana yang hanya berdua bersaudara dengan Harris.
Reno bergeming, berarti yang semalam ia lihat dan peluk memang Marsha. "Marsha ada dirumah, Ma?" ia bertanya hanya ingin memastikan saja.
Hana menghentikan kegiatannya, ia menatap heran Reno. "Iya, kamu nggak ketemu Marsha?" malah Hana yang balik bertanya, "Memangnya kamu pulang jam berapa semalam? Katanya dia mau tidur di kamarmu kalau kamu nggak pulang, tapi tadi pagi Mama lihat Marsha keluar dari kamar tamu jadi Mama pikir kamu udah ketemu adikmu."
Reno menggeleng, dulu Reno paling tidak suka mendengar orang-orang sekitarnya menyebut Marsha 'adiknya' tapi sekarang sepertinya ia harus membiasakannya dan bahkan harus turut merubah perasaannya hanya sebatas adik.
"Nih!" Hana mendorong piring berisi cheesecake kepada Reno, "Sekalian anterin buat adikmu, perasaannya baru mulai normal setelah syok perjodohan kemarin. Dihibur diberikan pengertian biar nggak stres. Kamu lah yang paling tahu Marsha, Ren. Mama berharap dia mau dengerin kamu, soalnya kemarin setelah pertemuan kayaknya dia masih berat mau terima."
Reno masih berdiam diri melihat kearah cheesecake didepannya, namun tatapannya kosong. Seandainya Hana tahu bagaimana perasaan Reno sekarang, mungkin ia tidak akan segamblang itu mengatakannya. Seandainya Hana tahu hubungan Reno dan Marsha tidak hanya sekedar sepupu, mungkin Hana juga tidak akan membiarkan Marsha datang dan menginap dirumahnya sekarang.
"Ren!" panggil Hana membuyarkan lamunannya. "Diantar sana, melamun aja. Marsha lagi melukis dibelakang." Hana memberi tahu. Hana menggeleng-gelengkan kepalanya, ia kira Reno hanya masih mengantuk. Makanya kebanyakan melamun.
Reno berjalan sambil membawa sepiring kecil cheesecake ditangannya, dari kejauhan ia sudah melihat sosok Marsha yang dulu sudah pasti dengan senang hati akan selalu ia datangi, bahkan berusaha meluangkan waktu untuk bisa bertemu, tapi sekarang ia sungguh berat dan enggan. Bagaimana tidak, wanita yang ia inginkan dan menjalani hidup bersamanya dengan jelas didepan matanya harus ia pasrahkan tanpa sedikitpun ada usaha yang bisa ia lakukan untuk mempertahankannya. Ia bahkan sudah menyerah sebelum memperjuangkannya. Reno tersenyum miris, memang keadaan membuatnya kalah telak.
Reno menarik napas dalam-dalam, menghelanya dengan perlahan. Ia berusaha seolah-olah tadi malam tidak terjadi apa-apa dan tidak pernah mengatakan apa-apa pula. Anggap saja seperti itu, batinnya.
"Dari Mama," Reno meletakkan cheesecake ditangannya diatas meja kecil disamping Marsha.
Marsha yang fokus pada lukisannya sedikit kaget dengan kehadiran Reno, ia pikir Reno akan bangun lebih siang. Marsha menghentikan kegiatannya dan menyambut Reno dengan senang.
"Thanks kak, biasanya dari kakak." Marsha hanya memberi tahu tanpa bermaksud mengungkit kebiasaan dan perhatian Reno padanya, Reno hanya diam tidak menggubris.
"Kakak nggak kerja?" kini Marsha hanya fokus pada Reno yang masih berdiri disampingnya.
"Cuti." jawab Reno acuh tak acuh, ia masih berdiri disamping Marsha, enggan duduk seolah-olah ia hanya akan sebentar saja disana. Matanya sengaja tertuju pada lukisan abstrak Marsha, ia tidak ingin bersitatap dengan pelukisnya langsung. Jika ingin jujur ia belum sanggup bersikap seolah-olah tidak ada rasa atau hanya sekedar saudara di antara mereka. Ia belum sepenuhnya rela.
"Waw! Karena kakak cuti, gimana kalau kita pergi nonton atau jalan, Marsha suntuk kak!" ajak Marsha antusias sembari meletakkan tangannya diatas tangan Reno. Reno bergeming, lalu ia menepis tangan Marsha dengan pelan, ya hanya pelan dan kini matanya menatap Marsha dengan serius.
"Sha, kakak ambil cuti mau istirahat bukan menambah capek."
Marsha terkesiap dengan perlakuan Reno. Ia mengernyit menatap Reno, ini bukan cara Reno menolaknya. Ia merasa semua baik-baik saja, apalagi semalam Reno memeluknya dan mengungkapkan perasaannya. Marsha pikir hari ini akan ada penjelasan atau jalan keluar untuk mereka bisa melanjutkan hubungannya, namun sepertinya ia salah sangka atau malah terlalu berharap.
"Sha, kita nggak bisa gini terus. Kita harus jaga jarak, kamu nggak bisa bersikap seperti dulu lagi."
Reno menatap sendu Marsha, dengan suara pelan tapi tegas jelas untuk didengar Marsha. Marsha sendiri masih terdiam, ia belum bisa menerima perlakuan Reno barusan, menepis tangannya. Haruskah? Tidak bisa dengan bicara saja tanpa harus menepis seolah-olah ia juga tidak sudi tersentuh olehnya. Marsha sakit hati.
"Kenapa harus dipaksa?" tanya Marsha ragu, matanya mulai berkaca-kaca.
Reno yang menyadari perubahan pada Marsha langsung mengalihkan pandangannya, ia tidak ingin berubah pikiran hanya karena melihat Marsha dengan wajah murungnya yang sudah siap ingin menangis.
"Kamu udah mau nikah, Sha." jawab Reno lirih.
"Tapi aku nggak mau," suara Marsha mulai bergetar menahan tangis. Reno menghela napas berat, ia mengacak rambutnya dengan kuat.
"Kakak tahu, tapi kita juga nggak bisa berbuat apa-apa." Reno menarik kursi didepannya, ia duduk memperhatikan Marsha yang menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Sekarang yang perlu aku dan kamu lakukan adalah menjauh, anggap semua rencana yang pernah kita bicarakan tidak pernah ada. Kita hanya sebatas saudara sepupu sekarang, tidak lebih dan berlakulah seperti itu."
Marsha memalingkan wajahnya dari Reno, ia menangis bukan hanya karena ucapan Reno. Reno yang selalu bersikap lembut, tapi tepisan dan tingginya suara Reno membuatnya terasa lebih sakit. Segitunya ia ingin melepas Marsha dengan sengaja menyakitinya.
"Kakak nggak mau dekat aku lagi?" tanya Marsha polos, suaranya bergetar dan masih memalingkan wajahnya.
"Iya," jawab Reno pelan, kini ia yang mengalihkan pandangannya, ia sendiri tidak yakin dengan ucapannya.
Marsha menghapus air matanya dengan kasar, lalu memberanikan diri menatap Reno. "Selamanya?" tanya Marsha lagi.
Reno terdiam, ia tidak yakin selamanya bisa menjauhi Marsha. Bagaimana jika suatu saat keadaan berbalik dan ia bisa kembali dengan Marsha, namun dengan cepat ia menepis pikiran itu. Jangan berandai, jangan terlalu berharap!
Tidak boleh ada celah untuk menahan Marsha, ia tahu bagaimana buruk keadaan perusahaan keluarganya kini. Jika ia egois dengan perasaannya, bukan hanya keluarga besarnya yang terancam kehidupan dan masa depannya, tapi juga wanita dihadapannya sekarang. Apalagi Reno tahu bagaimana besar rencana Marsha untuk cita-citanya, ia tidak mungkin membiarkan itu sia-sia. Marsha juga butuh dukungan secara material.
"Nggak masalah kan, banyak saudara yang nggak dekat bahkan tidak pernah bertemu sama sekali dengan saudaranya, apalagi kita cuma sepupu."
"Kakak mau aku kayak gitu?!" Marsha tidak percaya Reno berharap sampai segitunya.
"Kenapa enggak, Sha."
"Kakak kenapa sih!?" Marsha tidak terima perubahan sikap Reno yang mendadak acuh padanya. "Baru semalam kakak bilang cinta sama Marsha, tapi sikap kakak sama sekali nggak menunjukkan sikap cinta." Marsha menahan sesak di dadanya. "Kakak sengaja kan? Biar Marsha benci kakak, biar Marsha jauhi kakak!? Tapi apa nggak bisa baik-baik aja?"
Tidak ada perubahan dari Reno, ia masih diam, Marsha menghela napas berat. "Oke kalau itu mau kakak, Marsha ikuti!"
Marsha beranjak dari kursinya, meninggalkan Reno yang masih bergeming. Perasaannya ingin bangkit mengejar, namun akalnya memerintah untuk diam ditempat. Ia sudah harus mengakhiri hubungannya.
Selang beberapa waktu Hana berjalan cepat menghampiri Reno yang masih bergeming menatap kosong lukisan Marsha yang belum selesai.
"Ren, kenapa adikmu minta pulang dalam keadaan menangis begitu?"
"Dia marah, Ma." jawab Reno singkat.
"Iya Mama tahu, kalau nggak marah nggak mungkin langsung pamit pulang begitu." Hana menghela napas, "Kamu ngomong apa sama Marsha?"
"Seperti yang Mama minta, tapi dia nggak mau dengerin Reno makanya marah."
"Segitunya, padahal Marsha itu paling nurut lho sama kamu." Hana terheran-heran sendiri.
"Sekarang udah nggak, Ma." jawab Reno cuek, ia beranjak dari kursinya.
"Biarkan aja Ma, Marsha juga udah cukup dewasa kok untuk mengerti keadaannya. Reno mau istirahat dulu." Reno mengambil lukisan Marsha dan pergi membawanya.
***