Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Pertemuan yang Menunggu Jawaban
Setelah beberapa minggu yang penuh dengan kebingungan dan tanda-tanda yang serba tak pasti, Rina akhirnya merasa cukup. Dia sadar bahwa perasaannya terhadap Danu sudah terlalu dalam untuk terus diabaikan, dan yang lebih penting, dia ingin tahu apakah Danu merasakan hal yang sama. Mengungkapkan perasaan mungkin bukan hal yang mudah, tapi menahan diri juga terasa seperti beban yang semakin lama semakin sulit untuk dipikul. Dia tak ingin berlama-lama lagi dalam kebingungan ini.
Hari itu, setelah pulang sekolah, Rina dengan hati yang sedikit berdebar memutuskan untuk berbicara langsung dengan Danu. Sebelumnya, ia sempat ragu dan berpikir mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi setelah beberapa detik keraguan, ia tetap melangkahkan kakinya menuju taman kecil di belakang sekolah, tempat mereka biasa berkumpul bersama teman-teman.
Ketika sampai di taman, dia melihat Danu sedang duduk di bangku kayu yang sudah sedikit usang, memegang pita kaset dan tampak asyik memainkannya dengan ujung jarinya. Rina menghela napas dalam-dalam, lalu melangkah mendekat.
"Hei, Danu!" sapa Rina dengan suara ceria yang berusaha menutupi rasa canggungnya.
Danu menoleh dan tersenyum lebar. "Oh, Rina! Duduk sini, yuk!" Danu menepuk bangku di sebelahnya, memberikan ruang agar Rina bisa duduk di sampingnya. Di bawah bayangan pohon yang rindang, mereka berdua duduk diam untuk beberapa saat, menikmati angin sore yang sejuk.
Mereka mulai berbicara tentang hal-hal ringan, seperti lagu-lagu terbaru dan kaset-kaset yang ingin mereka cari di toko kaset langganan. Tapi di balik senyuman dan obrolan ringan itu, baik Rina maupun Danu menyadari bahwa ada sesuatu yang belum terungkap. Rina tahu, jika tidak segera memulai pembicaraan ini, dia mungkin akan kehilangan keberanian.
"Danu," ucap Rina pelan sambil menunduk, mencoba mengumpulkan keberanian. "Kita... udah lama kenal, kan?"
Danu menatapnya bingung. "Iya, udah lumayan lama. Kenapa, Rin?"
Rina menggigit bibirnya, masih ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan. "Aku cuma merasa... akhir-akhir ini kita jadi lebih sering bareng, ngobrol soal banyak hal... dan... ada hal yang ingin aku tanya, sebenarnya."
Danu mengangkat alis, masih dengan senyumannya yang biasa. "Oh ya? Apa tuh?"
Meskipun dia tersenyum, ada sedikit kegugupan di dalam mata Danu. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan percakapan biasa. Ia mulai merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Sementara Rina, yang masih berusaha menjaga ketenangan, akhirnya melanjutkan.
"Kamu ngerasa... kita masih sekedar teman, atau... ada sesuatu yang lebih?" Rina bertanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Seketika, suasana jadi hening. Danu menatap Rina, terdiam, seolah-olah sedang mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Rina. Ia terlihat gugup, dan jemarinya bermain-main dengan pita kaset di tangannya, seolah-olah sedang mencari jawaban dari kumpulan lagu yang ada di dalam kaset itu.
"Rina... aku..." Danu terlihat ragu, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak tahu harus jawab apa."
Rina merasakan dadanya sedikit sesak mendengar respons Danu yang tidak jelas. Ia berharap Danu akan memberikan jawaban yang lebih pasti, tapi sayangnya, Danu justru semakin ragu. Rina mencoba tersenyum untuk menyembunyikan kekecewaannya. "Nggak apa-apa, Danu. Aku ngerti kok. Mungkin ini terlalu cepat."
Danu menggeleng cepat, seperti ingin menyangkal sesuatu. "Bukan begitu, Rin. Aku hanya... aku takut kalau semuanya berubah. Aku takut kalau kita nggak bisa balik seperti semula kalau... kalau ini nggak berjalan seperti yang kita inginkan."
Mendengar itu, Rina mulai mengerti. Danu takut kehilangan persahabatan mereka. Namun, di sisi lain, Rina yakin bahwa perasaannya ini terlalu berharga untuk dibiarkan begitu saja. Dia mengumpulkan keberanian terakhirnya dan berkata dengan lembut, "Tapi, Danu, aku nggak akan menyesal udah bilang perasaanku ini ke kamu. Aku cuma ingin jujur sama diri sendiri, sama kamu. Kalau memang kita berdua punya perasaan yang sama, kenapa nggak kita coba?"
Danu terdiam cukup lama, lalu menatap Rina dengan mata yang lebih lembut dari biasanya. "Aku cuma takut... takut kalau aku nggak bisa jadi seperti yang kamu harapkan."
Rina tersenyum, kali ini lebih lega. "Danu, aku nggak butuh kamu jadi orang lain. Aku cuma butuh kamu jadi diri kamu sendiri."
Danu tersenyum kecil, lalu perlahan menggenggam tangan Rina. "Terima kasih, Rina. Aku... aku juga punya perasaan yang sama. Aku juga sayang sama kamu."
Seketika, suasana berubah menjadi lebih hangat. Mereka tertawa kecil, merasa lega setelah semua kebingungan dan ketegangan ini akhirnya terungkap. Rina merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, tapi kali ini, ia merasa bahagia. Mereka berdua duduk di taman, di bawah pohon, sambil menikmati momen indah ini tanpa ada beban.
"Jadi... kita sekarang lebih dari teman?" tanya Rina dengan nada bercanda.
Danu mengangguk dengan senyum. "Iya, sepertinya begitu."
Mereka pun melanjutkan perbincangan tentang banyak hal, mulai dari lagu-lagu favorit mereka, rencana untuk pergi ke toko kaset bersama, hingga impian-impian kecil mereka di masa depan. Sesekali, mereka tertawa, menggoda satu sama lain dengan candaan ringan yang membuat suasana sore itu terasa sempurna.
Di akhir pertemuan itu, Danu memberikan pita kaset yang sedari tadi dia genggam kepada Rina. "Ini, buat kamu. Aku nyusun lagu-lagu favorit kita di sini. Ada satu lagu terakhir yang aku sisipin, judulnya ‘Cinta Tak Harus Memiliki.’"
Rina tersenyum saat membaca judul lagu itu. "Kamu serius banget, ya?"
Danu hanya tertawa kecil, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku cuma mikir, lagu itu mungkin bisa nyampein apa yang aku rasain... dulu, sebelum kita ketemu di taman ini."
Mereka berdua tertawa lagi, merasa bahwa akhirnya perjalanan panjang mereka menuju kejujuran perasaan sudah sampai pada titik terang. Sore itu, mereka pulang dengan hati yang lebih ringan dan perasaan yang lebih tenang, siap untuk melangkah ke fase baru dalam hubungan mereka.