Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan Belas - Aku Ingin Makan Di samping Istriku
Amara dan Alvaro bersiap untuk keluar. Mereka merasakan perutnya sangat keroncongan. Tenaganya habis terbuang dengan begitu nikmat, saat penyatuan panas tadi. Bahkan Alvaro minta lagi saat di kamar mandi, saat sedang membersihkan diri. Tentu saja Alvaro dengan begitu susah payah membujuk Amara supaya mau bercinta lagi di dalam kamar mandi. Alvaro memeluk Amara, saat Amara sedang menyisir rambutnya.
“Terima kasih, Sayang.”
“Sama-sama, Mas,” jawab Amara dengan mengusap lengan suaminya yang sedang memeluknya.
“Sudah, Mas? Kita udah berulang-ulang tadi, masih begini saja?” protes Amara saat Suaminya mengendus leher jenjangnya, menyesap wangi vanila di tubuh istrinya.
“Tubuhmu harum, aku suka,” ucap Alvaro.
“Iya, tapi ini geli, Mas?” ucap Amara menahan gelenyar aneh lagi di tubuhnya.
“Pengin lagi, ya?”
“Aku lapar, Mas!” tukas Amara.
“Ya sudah ayo makan,” ajak Alvaro.
Alvaro dan Amara menuruni anak tangga. Alvaro masih menggamit tangan Amara sejak dari kamar tadi, mereka menuruni anak tangga dengan saling menggenggam tangan. Alvaro benar-benar puas dengan permainan tadi, ia tersenyum membayangkan istrinya begitu bergairah saat tadi berada di atasnya. Rasanya baru kali ini Alvaro menikmati permainan panas yang cukup menyenangkan, dan membahagiakan hatinya.
“Mas, tumben senyam-senyum?” tanya Amara yang melihat suaminya senyum-senyum sendiri. Biasanya suaminya itu dingin, jangankan tersenyum, bicara saja seperlunya. Wajahnya angker seperti kuburan, tatapannya tajam, begitu dingin, sedingin antartika.
“Aku lagi bayangin kamu di atasku seperti tadi. Nanti lagi, ya?”
“Ih mesum!” ucap Amara dengan memukul lengan Alvaro.
“Mesum sama istrinya boleh, kan?” ucap Alvaro.
“Sudah ah, lapar!” Amara menuruni tanggan dengan cepat, mendahului Alvaro, tapi Alvaro mencekal tangan Amara.
“Tunggu ih, jangan duluan!” protes Alvaro. Amara hanya mencebikkan bibirnya.
Amara sampai heran dengan perubahan sikap Alvaro, dia benar-benar membuat Amara lupa akan niatannya untuk berpisah dengan Alvaro. Amara pun lupa, kalau Alvaro masih terbelenggu di cintanya dulu. Amara bingung sendiri, kenapa dia sebahagia ini, padahal belum tentu Alvaro akan menjadi miliknya selamanya.
“Haruskah aku bahagia sekarang ini melihat sikap suamiku yang berubah drastis menjadi sehangat ini? Bagaimana jika ini hanya sesaat? Dan, nantinya dia tetap memilih menikahi masa lalunya, apalagi ada anak itu, yang tidak jelas asal usulnya, dia anak kandung siapa? Kalau bukan anak kandung Mas Varo, kenapa Mas Varo sampai sepeduli itu padanya?” batin Amara.
Mereka sampai di depan ruang makan, di sana sudah ada tamu tak diundang yang duduk untuk menikmati makan malam. Siapa lagi kalau bukan para perempuan gila, dan anak kecil yang tidak tahu asal usulnya itu?
“Kalian kok lama sekali sih? Kita itu nunggu di sini sampai jamuran tahu!” gerutu Vira saat mereka baru keluar dari kamarnya. Cindi langsung memasang wajah kecewa dan marah, bahkan sampai mengepalkan kedua tangannya saat melihat rambut Amara yang tergerai dengan keadaan basah, di lehernya banyak sekali jejak merah yang ditinggalkan oleh Alvaro. Bahkan di leher Alvaro pun ada bercak merah yang dibuat Amara tadi. Wajah mereka terlihat begitu berbinar, bak penganti baru yang sedang hangat-hangatnya.
“Eh kalian belum pulang ternyata, aku kira kita lama di kamar sudah pada pulang?” ucap Amara dengan santai, lalu duduk di sebelah Alvaro, karena Alvaro yang menginginkan Amara duduk di sebelahnya, bahkan dia yang menarikkan kursi, lalu menyuruh Amara untuk duduk di sebelahnya.
“Sopan sekali kamu bicaranya? Kamu apa tidak tahu di sini ada tamu?” ucap Vira kesal.
“Tamu tak diundang, bukan?” ucap Amara.
“Berani kamu bilang gitu? Dasar manusia tidak tahu sopan santun!”
“Kakak! Bisa diam, tidak! Kita mau makan, tidak usah banyak bicara!” bentak Alvaro pada kakaknya.
“Kau! Berani bentak kakakmu!”
“Karena kakak berani mengatai istriku! Sekarang diam, dan makan! Atau kalian pulang saja!” ancam Alvaro.
Amara hanya diam, dia tidak peduli perdebatan suaminya dengan kakaknya itu. Amara mengambilkan nasi dan lauk untuk Alvaro.
“Varo bukannya kamu gak suka pedas? Kok kamu mau kasih sambal ke nasi suamimu? Dia gak suka pedas!” ucap Cindi.
Amara yang mendengar itu, pun langsung mengambil lagi sambal di piring Alvaro. Benar-benar sok tahu sekali perempuan gila itu, padahal selama dengan Amara, Alvaro suka sambal buatan Amara. Namun, Alvaro menahan tangan Amara yang akan mengambil sambal, ia menggelengkan kepalannya di depan Amara, memberikan isyarat supaya tidak mengambil sambalnya.
“Aku sekarang suka sambal, istriku jago bikin sambalnya, jadi aku ketagihan, asal tidak terlalu pedas, aku suka sekali, cobain deh, pasti kalian ketagihan. Ini sambal enak sekali,” ucap Alvaro, lalu dengan lahap Varo makan makanan yang Amara buatkan.
“Meski ini yang masak Bi Asih, ini resep Amara, masih enak sih, tapi lebih enak dan nikmat lagi kalau Amara yang masak,” puji Alvaro.
Pujian Alvaro pada Amara membuat Cindi dan Vira menatap Amara dengan tatapan kesal. Amara hanya mengulum senyumannya saat melihat mereka kesal karena Alvaro berpihak padannya.
Alea turun dari tempat duduknya, lalu dia berjalan ke arah amara. Dengan tatapan kesal dan marah Alea mendorong tubuh Amara.
“Tante pindah sana! Aku mau makan sini sama Om Varo!” ucapnya dengan tidak sopan.
“Alea bisa tidak bicaranya sopan, Nak? Kamu harus tahu dan belajar sopan santun ya, Nak? Kamu sudah gede lho?” tegur Alvaro lembut.
“Alea mau di sini, Om! Mau makan sama om dan Mama! Sana tante minggir!” Alea mendorong tubuh Amara lagi dengan keras. Hingga Amara hampir jatuh, entah bocah kecil itu dapat kekuatan dari mana, sampai mendorong Amara hampir jatuh.
“Sini duduk sini, sini pangku om,” ucap Alvaro.
Alvaro memangku Alea, tidak apa-apa, daripada Alea nangis lagi seperti tadi, dan lama sekali untuk meredakannya, akhrinya Alvaro terpaksa memangku Alea.
“Sana pindah! Ini buat mama! Aku mau makan disuapi Om Varo dan Mama!” teriak Alea pada Amara, dan mendorong tubuhnya.
Cindi bangun dari tempat duduknya, ia mendekati Amara, dan menatap tajam Amara. “Maaf, bisa kamu pindah ke tempat dudukku, Amara? Aku mau duduk di sebelah Alea,” ucap Cindi.
Amara menghela napasnya kasar. Dia tidak mau berdebat dengan siapa pun, karena sudah lelah sejak tadi. Lelah badan, pikiran, ditambah sangat lapar. Ia hanya ingin makan, karena lapar, dan setelah itu ia ingin langsung ke kamar untuk istirahat. Amara bangun dari tempat duduknya, lalu duduk di tempat yang tadi diduduki Cindi. Vira dan Cindi tersenyum puas, menatap Amara.
Namun, Alvaro malah mendudukkan Alea di tempat duduknya, dan mengambil piring lalu pindah untuk makan di samping Amara.
“Aku ingin makan di samping istriku, silakan makan, jangan ribut lagi. Alea makan yang benar! Om tidak mau jauh dari istri om!” ucapnya tegas, yang membuat Alea kesal, dan matanya berkaca-kaca.
Amara menatap Varo yang duduk di sebelahnya. Sekarang Alvaro menolak dengan tegas, dulu mana bisa menolak Cindi? Bahkan dia makan yang mengambilkan saja Cindi? Sejenak Amara berpikir, kenapa sekarang Alvaro berubah drastis seperti ini? Apa suaminya itu benar-benar ingin berubah dan belajar mencintainya?