NovelToon NovelToon
My Love Story

My Love Story

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintapertama / Teen School/College
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Rian solekhin

"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"

Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.

Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.

Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Langkah baru

Ryan membuka pintu rumahnya perlahan, rasa lelah masih melekat di tubuhnya setelah malam panjang di rumah Hana. "Untung hari ini Minggu," gumamnya sambil menutup pintu. Ia merasa sedikit lega karena tak harus menghadapi orang-orang seperti Rei dan Ivan di sekolah.

Rumah itu sunyi, seperti biasa. Ia melepaskan sepatunya dengan gerakan lamban, menaruhnya di rak. Suasana hening di dalam rumah membuatnya merasa sedikit terasing, namun ini sudah biasa bagi Ryan.

Saat berjalan menuju ruang tamu, adiknya, Sarah, melintas dengan cepat tanpa sepatah kata pun.

"Sarah," panggil Ryan pelan, hampir ragu.

Sarah tak menoleh, hanya berjalan lurus menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.

Ryan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap pintu yang tertutup rapat. 'Kenapa dia selalu begitu?' pikirnya. "Apa aku sudah sebegitu tak terlihat baginya?"

Perasaan itu kembali menyeruak di dalam dirinya, perasaan kesepian yang sulit ia jelaskan. Namun, seperti biasa, ia mencoba mengabaikannya. "Mungkin dia sedang bad mood," ujarnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Dengan langkah berat, ia menuju kamar mandi. Pandangannya tertuju pada seragam sekolahnya yang masih basah tergantung. Aroma lembab menyebar, mengingatkannya pada hari sebelumnya. "Harus segera dicuci," gumamnya.

Ia mengambil handuk dan melilitkannya di pinggang, siap untuk membersihkan tubuhnya yang letih. Sambil mencuci baju, pikirannya melayang jauh. 'Semalam bersama Hana... rasanya aneh, tapi juga menyenangkan,' batinnya. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan senyuman gadis itu dari pikirannya.

Selesai mencuci dan menjemur baju di belakang rumah, Ryan kembali ke kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya, membuatnya sadar sepenuhnya dari kantuk. Sambil berdiri di bawah pancuran, ia tak bisa berhenti memikirkan Hana.

"Mata Hana... selalu tampak tenang, tapi ada sesuatu di sana. Kesedihan yang dia sembunyikan," gumamnya sambil menatap langit-langit. Namun, ia tak tahu apakah itu hanya perasaannya atau memang ada sesuatu yang lebih.

Setelah selesai mandi, Ryan masuk ke kamar dan mengenakan kaos serta celana pendek. Ia duduk di tepi tempat tidur, merenung. "Apa yang harus kulakukan hari ini? Main game lagi? Bosan rasanya."

Tatapannya terarah pada cermin di sudut kamar. Ia bangkit, berdiri di depan cermin itu, menatap bayangannya sendiri. Wajahnya tampak lelah, dan tubuhnya terlihat kurang bertenaga.

"Aku harus berubah," ucapnya, mencoba menyemangati diri sendiri. "Aku tak bisa terus begini."

Dengan niat baru, Ryan mulai melakukan push-up di lantai kamar. "Satu... dua... tiga..." Ia terus menghitung, napasnya semakin berat.

Saat mencapai hitungan kesepuluh, tubuhnya mulai gemetar. "Berat juga," keluhnya, terengah-engah. Tapi ia tak mau berhenti.

"Tapi aku harus terus," desaknya pada diri sendiri. "Demi diriku sendiri. Demi... Hana?"

Ia tertegun, berhenti sejenak. "Kenapa aku memikirkan Hana?" pipinya memerah sedikit, merasa malu dengan dirinya sendiri. "Ah, sudahlah."

Sementara itu, di sisi lain kota, di sudut gang yang gelap dan suram, Rei dan Ivan berkumpul bersama beberapa teman mereka. Asap rokok melayang di udara, menambah kesan muram pada tempat itu.

"Kalian dengar tentang geng '29 Dogs'?" tanya Ivan sambil menyulut rokoknya, wajahnya serius.

Seorang pemuda kurus di seberangnya menjawab, "Katanya mereka berbahaya. Mereka menguasai sebagian besar pinggiran kota."

Rei, yang duduk bersandar di dinding, menghembuskan asap rokoknya perlahan. "Mereka bukan main-main. Mereka punya koneksi kuat."

Ivan tertawa kecil, namun ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Kemarin aku ketemu salah satu dari mereka. Tatapan mereka... gila. Bagi mereka, kita cuma anak-anak sekolah yang tidak penting."

Pemuda lain yang duduk di samping Ivan tertawa sinis. "Kau takut, Van?"

Ivan menatapnya tajam. "Ini bukan soal takut. Mereka beda. Kau nggak akan ngerti sampai lihat sendiri."

Rei ikut berbicara, suaranya tenang tapi penuh ancaman. "Kita nggak perlu cari masalah. Tapi kalau mereka ganggu wilayah kita, kita nggak akan diam."

Ivan mengangguk setuju. "Setuju. Kita harus siap."

Rei tersenyum tipis, seringai yang terlihat dingin di wajahnya. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Ryan?"

Mereka tertawa kecil. "Si kurus itu? Apa serunya?" ujar salah satu dari mereka sambil menyeringai.

Rei menatap mereka dengan mata tajam. "Aku punya rencana untuk dia. Kita mainkan dia pelan-pelan, sampai dia nggak tahan lagi."

"Apa rencananya?" tanya Ivan penasaran.

Rei hanya tersenyum misterius. "Rahasia. Tunggu saja."

Kembali ke rumah Ryan, dia masih bergulat dengan push-up-nya. "Sepuluh... sebelas... dua belas..." Napasnya semakin berat. Keringat mengucur di wajahnya.

"Astaga, capek banget," keluhnya sambil duduk di lantai. "Tapi aku harus terus."

Ia menatap ke luar jendela. Matahari pagi sudah mulai tinggi, menebarkan sinarnya ke segala penjuru. "Hari cerah. Mungkin aku harus jogging."

Dengan semangat baru, ia mengambil sepatu larinya dan bersiap untuk keluar. "Semoga ini awal yang baik," ujarnya sambil tersenyum kecil pada dirinya sendiri.

Saat melangkah keluar rumah, ia berpapasan dengan tetangganya. "Pagi, Ryan!" sapa salah satu dari mereka dengan ramah.

"Pagi," balas Ryan sambil tersenyum tipis. "Sudah lama nggak lihat kau jogging."

"Iya, coba mulai lagi," jawab Ryan singkat.

Sambil berlari kecil di sekitar kompleks, Ryan merasa lebih ringan. Seolah-olah beban yang selama ini menghimpitnya perlahan-lahan terangkat. 'Kenapa aku nggak melakukan ini dari dulu?' pikirnya.

Di tempat lain, Rei dan Ivan masih merencanakan sesuatu yang jahat. "Jadi, kapan kita mulai?" tanya Ivan sambil menatap Rei dengan tajam.

"Segera," jawab Rei dengan suara rendah. "Kita buat Ryan merasakan sedikit neraka."

Ivan tertawa sinis. "Kau memang gila, Rei."

Rei mengangkat bahu santai. "Hidup perlu hiburan, Van."

Sementara itu, Ryan masih menikmati jogging-nya. Angin pagi menerpa wajahnya, membuatnya merasa segar. "Aku bisa melakukan ini," gumamnya. "Aku bisa berubah."

Saat melewati taman, ia melihat anak-anak bermain di bawah pohon besar. Senyum merekah di wajahnya. 'Hidup ternyata tak seburuk itu,' pikirnya.

Setelah beberapa putaran, Ryan merasa cukup dan memutuskan untuk pulang. Badannya terasa lebih segar, meski sedikit lelah. "Saatnya mandi lagi," ujarnya.

Selesai mandi, ia duduk di depan komputer, berpikir untuk bermain game sebentar. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Hana.

"Hai, apa kabar?" tulis Hana.

Ryan tersenyum lebar saat membaca pesannya. "Baik. Kamu?" balasnya cepat.

"Baik juga. Lagi ngapain?" tanya Hana.

"Tadi habis jogging. Kamu?"

"Wow, rajin sekali. Aku baru bangun nih," balas Hana dengan emotikon tertawa.

Ryan tertawa kecil sendiri. "Hari Minggu memang untuk santai," tulisnya.

"Benar. Eh, nanti siang ada waktu? Kita bisa ketemu."

Mata Ryan melebar sedikit saat membaca pesan itu. Jantungnya mulai berdegup kencang. "Tentu saja. Di mana?" balasnya tanpa ragu.

"Di taman dekat sekolah, jam dua?"

"Siap," balasnya dengan cepat.

Setelah menutup ponselnya, Ryan merasakan debaran jantungnya masih belum mereda. "Tenang, ini cuma pertemuan biasa," gumamnya pada diri sendiri. Tapi tak bisa dipungkiri, senyum kecil yang muncul di wajahnya tidak bisa dihilangkan.

"Baiklah, aku harus siap-siap," ujarnya sambil membuka lemari pakaian. "Apa yang harus kupakai?"

Ryan turun dari kamarnya, perasaan gugup menguasai dirinya. Berdiri di depan pintu kamar Sarah, adiknya, ia ragu sejenak. Ia tahu hubungan mereka tidak terlalu dekat, tapi kali ini, ia butuh bantuan. Ia mengetuk pintu pelan.

"Sarah?" panggilnya, suaranya hampir berbisik. Tak ada jawaban. Ryan mencoba lagi, mengetuk lebih keras.

Pintu kamar terbuka dengan kasar. Sarah berdiri di sana, wajahnya masam, matanya tajam menatap Ryan. "Apa? Mau apa?" ucapnya singkat, tanpa basa-basi.

Ryan menggigit bibirnya, merasa lebih canggung dari sebelumnya. "Aku... butuh bantuanmu."

Sarah mendengus, jelas tak tertarik. "Bantuan apa?"

Ryan menggaruk belakang kepalanya, kebiasaannya ketika gugup. "Aku akan bertemu seseorang hari ini, dan... aku nggak terlalu paham soal pakaian. Sudah lama aku nggak ketemu orang kayak gini."

Alis Sarah terangkat, ekspresinya tak berubah, tapi sorot matanya menajam. "Seseorang?" katanya pelan. "Siapa? Teman sekolah? Laki-laki atau... perempuan?"

Ryan terdiam sesaat, darah terasa mengalir lebih cepat. "Perempuan."

Mata Sarah melebar sedikit. "Perempuan? Serius?" Ia hampir tertawa, tapi menahannya.

"Ya," jawab Ryan, kali ini dengan lebih mantap, meski wajahnya sedikit memerah.

Sarah menyandarkan diri di pintu, lalu dengan sinis berkata, "Kau yakin nggak ditipu?"

Ryan merasa sedikit tersinggung, tapi ia tahu adiknya hanya ingin membuatnya lebih canggung. "Tidak, Hana bukan tipe orang seperti itu."

"Hana, ya?" gumam Sarah, setengah tersenyum. "Oke, kalau begitu, masuk. Aku lihat apa yang bisa kulakukan." Ia berbalik dan berjalan masuk, meninggalkan pintu terbuka.

Ryan menghela napas lega dan mengikuti Sarah masuk ke dalam kamar. Kamar adiknya itu tertata rapi, dengan warna-warna pastel yang membuat ruangan terasa lebih luas. Poster band indie menghiasi dinding, sementara rak bukunya penuh dengan novel dan komik.

Sarah berdiri di depan lemari pakaian, membuka pintunya lebar-lebar. "Duduklah," perintahnya, tanpa menoleh.

Ryan duduk dengan hati-hati di kursi dekat meja belajar Sarah. "Terima kasih sudah mau membantu."

Tanpa menoleh, Sarah mendengus. "Ya, ya. Aku cuma penasaran siapa perempuan yang mau bertemu denganmu."

Ryan tersenyum kecil. "Dia teman sekolah. Kami bertemu beberapa kali. Nggak ada yang spesial."

Sarah menoleh, ekspresinya penuh skeptis. "Kalau nggak spesial, kenapa kau sampai datang ke sini minta bantuan?"

Ryan tak menjawab. Ia hanya menggaruk kepalanya lagi, merasa semakin canggung.

"Coba ini," Sarah menyerahkan kemeja biru tua yang rapi dan celana jeans hitam. "Dan pakai sepatu ini," lanjutnya sambil melemparkan sepasang sneakers putih.

Ryan menerima pakaian itu, melihatnya sejenak. "Kau yakin ini cocok?"

Sarah menyilangkan tangan di dada, menatapnya datar. "Percayalah, setidaknya kau nggak akan kelihatan aneh."

Setelah berganti pakaian di kamar mandi, Ryan berdiri di depan cermin. Kemeja itu pas di badannya, memberikan kesan lebih tinggi dan sedikit lebih ramping. Celana jeans hitam dan sneakers putih menambah kesan kasual tapi rapi.

Saat keluar dari kamar mandi, Sarah sudah menunggu di kamar, menatapnya dari atas sampai bawah. "Nggak buruk," komentarnya. "Tapi sisir rambutmu, dan mungkin semprotkan sedikit parfum."

Ryan mengangguk patuh. Ia mengambil sisir dari meja dan merapikan rambutnya sebisa mungkin. Setelah menyemprotkan sedikit parfum, ia kembali menatap cermin. "Oke, sudah siap."

Sarah masih menatapnya dengan sorot tajam, seolah menilai. "Oke, kau lulus. Jangan bikin malu, ya."

Ryan tertawa kecil, meski dalam hati masih gugup. "Aku akan berusaha."

Saat ia berjalan menuju pintu depan, Sarah mengikutinya. Ketika Ryan mengenakan jaket, ia menoleh ke arah Sarah yang berdiri di ambang pintu, matanya tak lepas menatapnya.

"Kau benar-benar terlihat beda hari ini," komentar Sarah, nadanya sedikit lembut.

Ryan menatapnya dan tersenyum. "Dalam arti yang baik, kan?"

Sarah mengangguk, meski ekspresinya sulit ditebak. "Semoga nggak ada yang aneh terjadi."

Ryan terkekeh. "Tenang aja, nggak akan. Terima kasih, Sarah."

Sarah hanya mengangguk, melihat kakaknya membuka pintu. "Hati-hati," ucapnya pelan sebelum menutup pintu dengan pelan.

Ryan melangkah keluar, udara pagi menyambutnya dengan angin yang sejuk. Ia menghela napas dalam, merasa lebih ringan. Pakaian yang dipilih Sarah ternyata membuatnya terlihat jauh lebih rapi daripada biasanya. Ia merasa sedikit lebih percaya diri.

"Terima kasih, Sarah," gumamnya dengan senyum tipis. Tanpa ia sadari, Sarah yang dulu selalu membuatnya kesal, kali ini membantu dalam hal yang penting. Ia berjalan dengan langkah mantap menuju tempat pertemuannya dengan Hana.

Di balik pintu yang kini tertutup, Sarah berdiri dengan ekspresi kosong. Ia mendengar langkah kaki Ryan menjauh, dan sesuatu dalam dirinya terasa aneh. 'Hana, ya?' pikirnya sambil kembali ke kamarnya. 'Semoga dia nggak terluka lagi.'

Sarah duduk di tepi tempat tidurnya, membuka buku yang tadi ia baca, tapi kali ini pikirannya tidak sepenuhnya tertuju pada halaman-halaman itu. Pikirannya terbang, mengingat masa-masa dulu ketika Ryan pernah terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan.

'Dulu, dia begitu lemah, begitu naif,' pikir Sarah, jari-jarinya mengelus permukaan buku dengan pelan. "Kalau dia jatuh lagi... aku nggak peduli, kan?"

Namun, meski bibirnya mengucapkan kata-kata itu, hatinya berkata lain. Ada sesuatu yang membuatnya khawatir, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Sarah menghela napas, menutup bukunya, dan berdiri.

"Mungkin aku harus keluar sebentar," gumamnya. "Mungkin udara segar bisa mengalihkan pikiran."

Ia memutuskan untuk keluar, mungkin sekadar berjalan-jalan di taman atau membeli sesuatu di toko. Sementara itu, Ryan terus berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Hana, membawa harapan baru di hatinya.

1
TAG
semangat der.. keren loh bahasanya
TAG: oke tapi gak sampe langsung tamat ya wkwk
RYN: baca aja weeh, gak usah mikir/Proud/
total 4 replies
TAG
belum 5 menit /Grin/
RYN: apanya?
total 1 replies
TAG
belajar silat harusnya si ryan/Grin/
Emi Lia Wulandari
lanjuttttt .. semangat kak
Emi Lia Wulandari: sama kak.. aku kadang nulis juga gitu🤣🤣🤣
RYN: thanks udah support walaupun nulis ni Bab setengah turu/Facepalm/
total 2 replies
Emi Lia Wulandari
semangat thor
putri cobain 347
absen kak 🙏🙏
TAG
Oke sih. tapi harus banyak mikir kalo baca yang puitis gini /Smile/
TAG: Ok gw ikutin
RYN: pelan-pelan aja... btw nanti kedepan nya banyak dialog nya/CoolGuy/
total 2 replies
TAG
titiknya satu aja sih kayanya
RYN: makasih udah ngasih tau
RYN: wkwk ketinggalan koma nya/Facepalm/
total 2 replies
nao chan
wah novel tentang pembulian seru juga
RYN: jangan lupa ninggalin jejak like nya/Proud/
total 1 replies
putri cobain 347
absen kk
RYN: oke, semangat/CoolGuy/
total 1 replies
Cherry
Justru enak pake titik koma yang jelas. Kalau ga pake, bacanya capek ga ada jeda. 😁
RYN: jangan berlebihan please/Facepalm/ gak nyambung itu
total 1 replies
Cherry
Kalau aku kadang malah dikobok pake tangan. Jorok 😂
Cherry: Ok ok
RYN: siap. Besok udah selesai tenang aja./Proud/ file jya masih progres ku revisi.
total 9 replies
Cherry
So farr.. aku suka sama ceritanya. Penuh motivasi dan filosofi hidup yang mendalam. BTW, dah coba dengar lagu Jepang belum? Terutama genre alternatif rock 😁
RYN: ya... BTW say suka beberapa lagu Jepang judul nya 'aimyon—anone', 'Yuika—Sukidakara' dan 'mosawo—koiiro'

sudah setengah tahun saya jatuh cinta pada 3 lagu itu
Cherry: Karyaku juga belum bener, tapi kamu dah baca. Makasih ya
total 4 replies
Cherry
Belum ada adegan dia minum cokelat panas, sudah tersedak. Mungkin kalau sebelumnya di jelasin seperti “ia meminum cokelat panas sambil menunggu pertanyaan berikutnya, juga untuk menghilangkan ketegangan di hatinya,” bakal lebih nyambung untuk adegan berikutnya yang tersedak itu. 😁
RYN: lupa kirim kayak nya versi full revisi nya, karena 3 kali revisi/Frown/
total 1 replies
Cherry
Itu bukan tebak-tebakan.. tapi sejenis Truth or Dare hanya saja ga ada tantangannya, cuma kejujuran. 😁
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂
RYN: terinspirasi dari berbagai manhwa sih/Sweat/ kayak manhwa 'The Girl From Random Chatting'
total 1 replies
Cherry
Kyk aku.. 24 jam, musik apapun selalu terngiang. Mau saat dengar musik atau enggak, selalu nempel dibenak. Walau ga keingat lagu, ya pikiran ramai dengan masalah atau ide-ide novel atau gambar lainnya. Pokonya isi kepala ga pernah tenang. 😁
Cherry: Tapi bikin ga fokus, kadang. 😁
RYN: saya menulis juga pake musik agar dapat momen nya/Sweat/
total 2 replies
Cherry
Pulang-pulang, emaknya ngambek. Ya, ga tau kenapa aku merasa walau terkesan cuek ibunya MC tetep peduli sama anaknya. Buktinya tetep nyiapin sarapan, bekal makan siang, dan nanyain keadaan anaknya di sekolah. Mungkin aja kalau tahu anaknya ga pulang, bakal habis dimarahin. 😁
RYN: Nah di sini letak Mistery nya, bakal ku buat rumit. clue nya bunuh diri. silahkan berfantasi.
total 1 replies
Cherry
Ini kan dah pernah dibahas di episode dia duduk di taman sekolah. Kenapa Hana nanyain musik lagi? Dia lupa kah?
RYN: yah telat./Sweat/ udah ku revisi lagi untuk ke sekian kali nya.

kalau gaya tulisan ku aneh di bawah itu. sebenernya habis nulis, harus totalitas jangan ada celah. aneh pas gw baca jir/Facepalm/
Cherry: Ga perlu sempurna, yang penting jadi.
Kelamaan nunggu sempurna mah, ga bakal pernah beres.
total 3 replies
Cherry
Beneran Chopin dong.. 😂
Cherry
Ini juga, ketulis dua kali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!