"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Langkah baru
Ryan membuka pintu rumahnya perlahan, rasa lelah masih melekat di tubuhnya setelah malam panjang di rumah Hana. "Untung hari ini Minggu," gumamnya sambil menutup pintu. Ia merasa sedikit lega karena tak harus menghadapi orang-orang seperti Rei dan Ivan di sekolah.
Rumah itu sunyi, seperti biasa. Ia melepaskan sepatunya dengan gerakan lamban, menaruhnya di rak. Suasana hening di dalam rumah membuatnya merasa sedikit terasing, namun ini sudah biasa bagi Ryan.
Saat berjalan menuju ruang tamu, adiknya, Sarah, melintas dengan cepat tanpa sepatah kata pun.
"Sarah," panggil Ryan pelan, hampir ragu.
Sarah tak menoleh, hanya berjalan lurus menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.
Ryan menghela napas panjang, tatapannya kosong menatap pintu yang tertutup rapat. 'Kenapa dia selalu begitu?' pikirnya. "Apa aku sudah sebegitu tak terlihat baginya?"
Perasaan itu kembali menyeruak di dalam dirinya, perasaan kesepian yang sulit ia jelaskan. Namun, seperti biasa, ia mencoba mengabaikannya. "Mungkin dia sedang bad mood," ujarnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Dengan langkah berat, ia menuju kamar mandi. Pandangannya tertuju pada seragam sekolahnya yang masih basah tergantung. Aroma lembab menyebar, mengingatkannya pada hari sebelumnya. "Harus segera dicuci," gumamnya.
Ia mengambil handuk dan melilitkannya di pinggang, siap untuk membersihkan tubuhnya yang letih. Sambil mencuci baju, pikirannya melayang jauh. 'Semalam bersama Hana... rasanya aneh, tapi juga menyenangkan,' batinnya. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan senyuman gadis itu dari pikirannya.
Selesai mencuci dan menjemur baju di belakang rumah, Ryan kembali ke kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya, membuatnya sadar sepenuhnya dari kantuk. Sambil berdiri di bawah pancuran, ia tak bisa berhenti memikirkan Hana.
"Mata Hana... selalu tampak tenang, tapi ada sesuatu di sana. Kesedihan yang dia sembunyikan," gumamnya sambil menatap langit-langit. Namun, ia tak tahu apakah itu hanya perasaannya atau memang ada sesuatu yang lebih.
Setelah selesai mandi, Ryan masuk ke kamar dan mengenakan kaos serta celana pendek. Ia duduk di tepi tempat tidur, merenung. "Apa yang harus kulakukan hari ini? Main game lagi? Bosan rasanya."
Tatapannya terarah pada cermin di sudut kamar. Ia bangkit, berdiri di depan cermin itu, menatap bayangannya sendiri. Wajahnya tampak lelah, dan tubuhnya terlihat kurang bertenaga.
"Aku harus berubah," ucapnya, mencoba menyemangati diri sendiri. "Aku tak bisa terus begini."
Dengan niat baru, Ryan mulai melakukan push-up di lantai kamar. "Satu... dua... tiga..." Ia terus menghitung, napasnya semakin berat.
Saat mencapai hitungan kesepuluh, tubuhnya mulai gemetar. "Berat juga," keluhnya, terengah-engah. Tapi ia tak mau berhenti.
"Tapi aku harus terus," desaknya pada diri sendiri. "Demi diriku sendiri. Demi... Hana?"
Ia tertegun, berhenti sejenak. "Kenapa aku memikirkan Hana?" pipinya memerah sedikit, merasa malu dengan dirinya sendiri. "Ah, sudahlah."
Sementara itu, di sisi lain kota, di sudut gang yang gelap dan suram, Rei dan Ivan berkumpul bersama beberapa teman mereka. Asap rokok melayang di udara, menambah kesan muram pada tempat itu.
"Kalian dengar tentang geng '29 Dogs'?" tanya Ivan sambil menyulut rokoknya, wajahnya serius.
Seorang pemuda kurus di seberangnya menjawab, "Katanya mereka berbahaya. Mereka menguasai sebagian besar pinggiran kota."
Rei, yang duduk bersandar di dinding, menghembuskan asap rokoknya perlahan. "Mereka bukan main-main. Mereka punya koneksi kuat."
Ivan tertawa kecil, namun ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Kemarin aku ketemu salah satu dari mereka. Tatapan mereka... gila. Bagi mereka, kita cuma anak-anak sekolah yang tidak penting."
Pemuda lain yang duduk di samping Ivan tertawa sinis. "Kau takut, Van?"
Ivan menatapnya tajam. "Ini bukan soal takut. Mereka beda. Kau nggak akan ngerti sampai lihat sendiri."
Rei ikut berbicara, suaranya tenang tapi penuh ancaman. "Kita nggak perlu cari masalah. Tapi kalau mereka ganggu wilayah kita, kita nggak akan diam."
Ivan mengangguk setuju. "Setuju. Kita harus siap."
Rei tersenyum tipis, seringai yang terlihat dingin di wajahnya. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Ryan?"
Mereka tertawa kecil. "Si kurus itu? Apa serunya?" ujar salah satu dari mereka sambil menyeringai.
Rei menatap mereka dengan mata tajam. "Aku punya rencana untuk dia. Kita mainkan dia pelan-pelan, sampai dia nggak tahan lagi."
"Apa rencananya?" tanya Ivan penasaran.
Rei hanya tersenyum misterius. "Rahasia. Tunggu saja."
Kembali ke rumah Ryan, dia masih bergulat dengan push-up-nya. "Sepuluh... sebelas... dua belas..." Napasnya semakin berat. Keringat mengucur di wajahnya.
"Astaga, capek banget," keluhnya sambil duduk di lantai. "Tapi aku harus terus."
Ia menatap ke luar jendela. Matahari pagi sudah mulai tinggi, menebarkan sinarnya ke segala penjuru. "Hari cerah. Mungkin aku harus jogging."
Dengan semangat baru, ia mengambil sepatu larinya dan bersiap untuk keluar. "Semoga ini awal yang baik," ujarnya sambil tersenyum kecil pada dirinya sendiri.
Saat melangkah keluar rumah, ia berpapasan dengan tetangganya. "Pagi, Ryan!" sapa salah satu dari mereka dengan ramah.
"Pagi," balas Ryan sambil tersenyum tipis. "Sudah lama nggak lihat kau jogging."
"Iya, coba mulai lagi," jawab Ryan singkat.
Sambil berlari kecil di sekitar kompleks, Ryan merasa lebih ringan. Seolah-olah beban yang selama ini menghimpitnya perlahan-lahan terangkat. 'Kenapa aku nggak melakukan ini dari dulu?' pikirnya.
Di tempat lain, Rei dan Ivan masih merencanakan sesuatu yang jahat. "Jadi, kapan kita mulai?" tanya Ivan sambil menatap Rei dengan tajam.
"Segera," jawab Rei dengan suara rendah. "Kita buat Ryan merasakan sedikit neraka."
Ivan tertawa sinis. "Kau memang gila, Rei."
Rei mengangkat bahu santai. "Hidup perlu hiburan, Van."
Sementara itu, Ryan masih menikmati jogging-nya. Angin pagi menerpa wajahnya, membuatnya merasa segar. "Aku bisa melakukan ini," gumamnya. "Aku bisa berubah."
Saat melewati taman, ia melihat anak-anak bermain di bawah pohon besar. Senyum merekah di wajahnya. 'Hidup ternyata tak seburuk itu,' pikirnya.
Setelah beberapa putaran, Ryan merasa cukup dan memutuskan untuk pulang. Badannya terasa lebih segar, meski sedikit lelah. "Saatnya mandi lagi," ujarnya.
Selesai mandi, ia duduk di depan komputer, berpikir untuk bermain game sebentar. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Hana.
"Hai, apa kabar?" tulis Hana.
Ryan tersenyum lebar saat membaca pesannya. "Baik. Kamu?" balasnya cepat.
"Baik juga. Lagi ngapain?" tanya Hana.
"Tadi habis jogging. Kamu?"
"Wow, rajin sekali. Aku baru bangun nih," balas Hana dengan emotikon tertawa.
Ryan tertawa kecil sendiri. "Hari Minggu memang untuk santai," tulisnya.
"Benar. Eh, nanti siang ada waktu? Kita bisa ketemu."
Mata Ryan melebar sedikit saat membaca pesan itu. Jantungnya mulai berdegup kencang. "Tentu saja. Di mana?" balasnya tanpa ragu.
"Di taman dekat sekolah, jam dua?"
"Siap," balasnya dengan cepat.
Setelah menutup ponselnya, Ryan merasakan debaran jantungnya masih belum mereda. "Tenang, ini cuma pertemuan biasa," gumamnya pada diri sendiri. Tapi tak bisa dipungkiri, senyum kecil yang muncul di wajahnya tidak bisa dihilangkan.
"Baiklah, aku harus siap-siap," ujarnya sambil membuka lemari pakaian. "Apa yang harus kupakai?"
Ryan turun dari kamarnya, perasaan gugup menguasai dirinya. Berdiri di depan pintu kamar Sarah, adiknya, ia ragu sejenak. Ia tahu hubungan mereka tidak terlalu dekat, tapi kali ini, ia butuh bantuan. Ia mengetuk pintu pelan.
"Sarah?" panggilnya, suaranya hampir berbisik. Tak ada jawaban. Ryan mencoba lagi, mengetuk lebih keras.
Pintu kamar terbuka dengan kasar. Sarah berdiri di sana, wajahnya masam, matanya tajam menatap Ryan. "Apa? Mau apa?" ucapnya singkat, tanpa basa-basi.
Ryan menggigit bibirnya, merasa lebih canggung dari sebelumnya. "Aku... butuh bantuanmu."
Sarah mendengus, jelas tak tertarik. "Bantuan apa?"
Ryan menggaruk belakang kepalanya, kebiasaannya ketika gugup. "Aku akan bertemu seseorang hari ini, dan... aku nggak terlalu paham soal pakaian. Sudah lama aku nggak ketemu orang kayak gini."
Alis Sarah terangkat, ekspresinya tak berubah, tapi sorot matanya menajam. "Seseorang?" katanya pelan. "Siapa? Teman sekolah? Laki-laki atau... perempuan?"
Ryan terdiam sesaat, darah terasa mengalir lebih cepat. "Perempuan."
Mata Sarah melebar sedikit. "Perempuan? Serius?" Ia hampir tertawa, tapi menahannya.
"Ya," jawab Ryan, kali ini dengan lebih mantap, meski wajahnya sedikit memerah.
Sarah menyandarkan diri di pintu, lalu dengan sinis berkata, "Kau yakin nggak ditipu?"
Ryan merasa sedikit tersinggung, tapi ia tahu adiknya hanya ingin membuatnya lebih canggung. "Tidak, Hana bukan tipe orang seperti itu."
"Hana, ya?" gumam Sarah, setengah tersenyum. "Oke, kalau begitu, masuk. Aku lihat apa yang bisa kulakukan." Ia berbalik dan berjalan masuk, meninggalkan pintu terbuka.
Ryan menghela napas lega dan mengikuti Sarah masuk ke dalam kamar. Kamar adiknya itu tertata rapi, dengan warna-warna pastel yang membuat ruangan terasa lebih luas. Poster band indie menghiasi dinding, sementara rak bukunya penuh dengan novel dan komik.
Sarah berdiri di depan lemari pakaian, membuka pintunya lebar-lebar. "Duduklah," perintahnya, tanpa menoleh.
Ryan duduk dengan hati-hati di kursi dekat meja belajar Sarah. "Terima kasih sudah mau membantu."
Tanpa menoleh, Sarah mendengus. "Ya, ya. Aku cuma penasaran siapa perempuan yang mau bertemu denganmu."
Ryan tersenyum kecil. "Dia teman sekolah. Kami bertemu beberapa kali. Nggak ada yang spesial."
Sarah menoleh, ekspresinya penuh skeptis. "Kalau nggak spesial, kenapa kau sampai datang ke sini minta bantuan?"
Ryan tak menjawab. Ia hanya menggaruk kepalanya lagi, merasa semakin canggung.
"Coba ini," Sarah menyerahkan kemeja biru tua yang rapi dan celana jeans hitam. "Dan pakai sepatu ini," lanjutnya sambil melemparkan sepasang sneakers putih.
Ryan menerima pakaian itu, melihatnya sejenak. "Kau yakin ini cocok?"
Sarah menyilangkan tangan di dada, menatapnya datar. "Percayalah, setidaknya kau nggak akan kelihatan aneh."
Setelah berganti pakaian di kamar mandi, Ryan berdiri di depan cermin. Kemeja itu pas di badannya, memberikan kesan lebih tinggi dan sedikit lebih ramping. Celana jeans hitam dan sneakers putih menambah kesan kasual tapi rapi.
Saat keluar dari kamar mandi, Sarah sudah menunggu di kamar, menatapnya dari atas sampai bawah. "Nggak buruk," komentarnya. "Tapi sisir rambutmu, dan mungkin semprotkan sedikit parfum."
Ryan mengangguk patuh. Ia mengambil sisir dari meja dan merapikan rambutnya sebisa mungkin. Setelah menyemprotkan sedikit parfum, ia kembali menatap cermin. "Oke, sudah siap."
Sarah masih menatapnya dengan sorot tajam, seolah menilai. "Oke, kau lulus. Jangan bikin malu, ya."
Ryan tertawa kecil, meski dalam hati masih gugup. "Aku akan berusaha."
Saat ia berjalan menuju pintu depan, Sarah mengikutinya. Ketika Ryan mengenakan jaket, ia menoleh ke arah Sarah yang berdiri di ambang pintu, matanya tak lepas menatapnya.
"Kau benar-benar terlihat beda hari ini," komentar Sarah, nadanya sedikit lembut.
Ryan menatapnya dan tersenyum. "Dalam arti yang baik, kan?"
Sarah mengangguk, meski ekspresinya sulit ditebak. "Semoga nggak ada yang aneh terjadi."
Ryan terkekeh. "Tenang aja, nggak akan. Terima kasih, Sarah."
Sarah hanya mengangguk, melihat kakaknya membuka pintu. "Hati-hati," ucapnya pelan sebelum menutup pintu dengan pelan.
Ryan melangkah keluar, udara pagi menyambutnya dengan angin yang sejuk. Ia menghela napas dalam, merasa lebih ringan. Pakaian yang dipilih Sarah ternyata membuatnya terlihat jauh lebih rapi daripada biasanya. Ia merasa sedikit lebih percaya diri.
"Terima kasih, Sarah," gumamnya dengan senyum tipis. Tanpa ia sadari, Sarah yang dulu selalu membuatnya kesal, kali ini membantu dalam hal yang penting. Ia berjalan dengan langkah mantap menuju tempat pertemuannya dengan Hana.
Di balik pintu yang kini tertutup, Sarah berdiri dengan ekspresi kosong. Ia mendengar langkah kaki Ryan menjauh, dan sesuatu dalam dirinya terasa aneh. 'Hana, ya?' pikirnya sambil kembali ke kamarnya. 'Semoga dia nggak terluka lagi.'
Sarah duduk di tepi tempat tidurnya, membuka buku yang tadi ia baca, tapi kali ini pikirannya tidak sepenuhnya tertuju pada halaman-halaman itu. Pikirannya terbang, mengingat masa-masa dulu ketika Ryan pernah terjebak dalam situasi yang tak menyenangkan.
'Dulu, dia begitu lemah, begitu naif,' pikir Sarah, jari-jarinya mengelus permukaan buku dengan pelan. "Kalau dia jatuh lagi... aku nggak peduli, kan?"
Namun, meski bibirnya mengucapkan kata-kata itu, hatinya berkata lain. Ada sesuatu yang membuatnya khawatir, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Sarah menghela napas, menutup bukunya, dan berdiri.
"Mungkin aku harus keluar sebentar," gumamnya. "Mungkin udara segar bisa mengalihkan pikiran."
Ia memutuskan untuk keluar, mungkin sekadar berjalan-jalan di taman atau membeli sesuatu di toko. Sementara itu, Ryan terus berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Hana, membawa harapan baru di hatinya.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂