"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Orang-orang mungkin tidak akan percaya jika aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga kami. Baik aku dan Mas Erik, kami berdua selalu sukses memainkan peran masing-masing di depan banyak orang. Kami dianggap pasangan suami istri yang harmonis. Entah keharmonisan seperti apa yang mereka lihat diantara aku dan Mas Erik. Padahal kami tidak pernah menunjukkan kemesraan di depan mereka. Bercanda pun tidak pernah.
Sampai-sampai Bik Asih terkejut ketika tidak sengaja mengetahui bahwa selama ini aku dan Mas Erik pisah kamar. Awal Bik Asih mengira kami sedang bertengkar dan sementara pisah kamar. Tapi karna Bik Asih sudah terlanjur tau, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi diantara kami. Lagipula cepat atau lambat, Bik Asih pasti akan tau semuanya karna dia bekerja dan tinggal dirumah ini juga.
"Bibi ikut sedih mendengar cerita Neng Bulan. Yang sabar Neng, sebenarnya Pak Erik itu pria yang baik dan bertanggung jawab. Bibi yakin wanita itu mencuci otak Pak Erik." Ujar Bik Asih menatapku iba.
Aku terkekeh. Apa aku terlihat se menyedihkan itu dalam menjalani rumah tangga ini? Padahal aku baik-baik saja dan tidak menderita sama sekali. Aku hanya mencoba mengikuti arus yang diciptakan oleh Mas Erik. Bahkan aku tidak peduli apa yang dilakukan Mas Erik di luar sana dengan kekasihnya, karna itu bukan urusanku.
"Aku baik-baik saja Bik. Lagipula pernikahan aku dengan Mas Erik terjadi karna perjodohan, diantara kami tidak saling mencintai. Mengetahui Mas Erik memilih mempertahankan hubungan dengan kekasihnya, bukan berarti aku tidak bisa bahagia, apalagi terpuruk dalam kesedihan. Aku biasa saja. Bahkan jika waktunya tiba Mas Erik ingin menceraikan ku, aku dengan senang hati akan menyetujuinya." Aku mengembangkan senyum, bahkan sedikit tertawa agar Bik Asih percaya kalau aku baik-baik saja.
Nasibku tidak buruk, aku tidak mau ada orang lain yang bersedih atas hidupku.
"Pernikahan itu baiknya sekali seumur hidup. Apa tidak ingin dibicarakan baik-baik dulu? Mungkin saja Pak Erik bersedia meninggal kekasihnya demi Neng Bulan. Maaf, Bibi tidak bermaksud ingin mencampuri urusan rumah tangga Neng Bulan dan Pak Erik, tapi Bibi cukup mengenal bagaimana karakter Pak Erik. Bibi yakin suatu saat Pak Erik pasti jatuh cinta dengan Neng Bulan."
Lagi-lagi aku hanya bisa terkekeh mendengar perkataan Bik Asih. Sungguh aku tidak akan berharap apapun pada pernikahan ini.
"Nanti tidak usah menanyakan apapun pada Mas Erik soal ini ya Bik, pura-pura tidak tau saja." Pintaku dengan senyum tipis dan pamit ke kamar untuk siap-siap.
...*****...
Aku kembali ke dapur pukul 8 pagi untuk sarapan. Di meja makan sudah tertata berbagai menu buatan ku dan Bik Asih. Aku tidak pernah melewatkan rutinitas pagiku untuk membuat sarapan meski sebenarnya Bik Asih sanggup melakukannya sendiri. Anggap saja aku mencari pahala dalam pernikahan ku, karna tidak ada cara lain untuk mendapatkan pahala selain menyiapkan makanan di rumah ini.
"Tumben belum berangkat." Sapa Mas Erik sembari bergabung di meja makan. Aku mendongak sekilas, Mas Erik juga sudah rapi dengan setelan kemeja lengan panjang.
"Hmm, ada kunjungan ke perusahaan cabang di Bogor sebelum makan siang." Aku kembali menyuapkan makanan ke mulut tanpa menatap Mas Erik lagi. Pria itu tampak memasukan nasi ke dalam piringnya.
"Berangkat sendiri dari rumah?" Mas Erik kembali melontarkan pertanyaan.
Aku menggeleng dan baru menjawab setelah menelan makanan di mulutku. "Sama atasan, mungkin sebentar lagi dia sampai." Aku melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 8 lewat 15 menit. Aku buru-buru menghabiskan sarapan ku.
Ponsel ku berdering, aku merogoh ponsel di dalam tas dan langsung mengangkat panggilan dari atasanku.
"Assalamu'alaikum Pak. Pak Andra sudah di depan ya?"
"Baik Pak, saya akan keluar sekarang. Wa'alaikumsalam." Aku mengakhiri panggilan lalu membawa piring bekas makanku ke wastafel.
"Bik Asih, aku berangkat dulu. Maaf tidak sempat mencuci piringnya. Teriakku karna Bik Asih sedang di belakang.
"Iya Neng, biar Bibi saja yang cuci." Sahut Bik Asih dari halaman belakang.
"Aku berangkat." Pamit ku pada Mas Erik. Dia mengangguk dan tiba-tiba beranjak dari duduknya dan ikut meletakkan piringnya ke wastafel, padahal makanannya belum habis.
"Pulang jam berapa?" Tanyanya datar.
"Tidak tau. Jika tidak ada masalah, mungkin jam 5 sudah pulang."
Mas Erik tampak mengangguk-angguk dan tidak bicara apa-apa lagi. Aku berjalan cepat meninggalkan dapur dan menghampiri mobil Pak Andra yang terparkir di luar gerbang.
Pak Andra turun saat aku sedang membuka gerbang. Dia membukakan pintu depan dan mempersilahkan aku masuk.
"Terimakasih Pak."
Pak Andra hanya mengangguk kecil dan menutup pintu setelah aku masuk, dia berjalan memutar dan menyusul masuk ke dalam mobil.
"Kamu sudah sarapan?" Tanyanya setelah duduk di balik kemudi.
"Sudah Pak. Jangan bilang Pak Andra belum sarapan?" Tebak ku.
Pria 32 tahun itu terkekeh kecil dan mengangguk. "Saya ingin mengajak kamu sarapan dulu tapi lupa bilang. Ya sudah kita langsung berangkat saja." Ujarnya sembari menyalakan mobil.
Pak Andra hampir melajukan mobilnya, tapi tiba-tiba menatap ke arah rumah. "Itu suami kamu?" Tanyanya.
Sontak aku mengikuti arah tatapan Pak Andra. Di teras, Mas Erik tampak sedang berdiri menghadap ke arah mobil ini, tapi sembari menempelkan ponsel di telinganya dan dia terlihat sedang berbicara serius.
"Iya Pak. Ayo jalan. Pak Andra sebaiknya sarapan dulu, jangan sampai kenapa-napa di jalan. Nanti saya juga yang repot." Ujarku bercanda.
Pak Andra terkekeh. "Kamu tidak keberatan temani saya saya sarapan dulu?"
Aku menggeleng. "Santai saja Pak, asal gaji saya tidak dipotong kalau terlambat sampai di perusahaan cabang."
Suara kekehan Pak Andra semakin keras, dia mengangguk angguk dan melajukan mobilnya.
"Suami kamu tidak cemburu kita hanya pergi berdua?" Tanyanya setelah memarkirkan mobil di depan ruko untuk mencari sarapan di pinggir jalan.
Cemburu? Aku mengulangi perkataan Pak Andra dalam hati sambil tertawa lucu. Mana mungkin Mas Erik memiliki kecemburuan pada ku yang tidak ada artinya bagi hidupnya.
"Tidak Pak." Aku menjawab singkat. Lagipula tidak ada untungnya bicara panjang lebar tentang Mas Erik pada Pak Andra.
"Tapi dia terlihat kesal saat saya membukakan pintu buat kamu." Tuturnya.
Aku menatap Pak Andra dengan dahi berkerut. Berarti saat aku keluar rumah, Mas Erik ada di belakangku.
Aku mengulum senyum dan berusaha bersikap santai. "Mungkin hanya perasaan Pak Andra saja. Mas Erik bukan orang yang akan cemburu tanpa alasan, apalagi kesal pada pekerjaan saya. Dia juga tau kalau saya pergi dengan Pak Andra." Jelasku karna Pak Andra terlihat tidak nyaman. Mungkin dia khawatir membuat kesalahan pahaman diantara aku dan Mas Erik.
ktagihan y 😄
gᥲ⍴ᥲ⍴ᥲ ᥣᥲᥒ mᥲkіᥒ һᥲrі mᥲkіᥒ ᥱᥒᥲk k᥆kk 😁🤭 ძ᥆ᥲkᥙ sᥱm᥆gᥲ kᥲᥣіᥲᥒ ᥴᥱ⍴ᥲ𝗍 ძі kᥲsіһ m᥆m᥆ᥒgᥲᥒ ᥡᥲ.. ᥲᥲmііᥒ