Sinopsis:
Cerita ini hanyalah sebuah cerita ringan, minim akan konflik. Mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari Bulbul. Gadis kecil berusia 4 tahun yang bernama lengkap Bulan Aneksa Anindira. Gadis ceria dengan segala tingkahnya yang selalu menggemaskan dan bisa membuat orang di sekitar geleng-geleng kepala akibat tingkahnya. Bulbul adalah anak kesayangan kedua orangtua dan juga Abangnya yang bernama Kenzo. Di kisah ini tidak hanya kisah seorang Bulbul saja, tentunya akan ada sepenggal-sepenggal kisah dari Kenzo yang ikut serta dalam cerita ini.
Walaupun hanya sebuah kisah ringan, di dominan dengan kisah akan tawa kebahagian di dalamnya. Akan tetapi, itu hanya awal, tetapi akhir? Belum tentu di akhir akan ada canda tawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuliani fadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13 Zeline
Sudah beberapa hari ini, Bulbul menghabiskan separuh waktunya di sekolah barunya. Seperti pagi-pagi yang telah di lewati sebelumnya. Pagi ini ia berangkat sekolah bersama dengan Kenzo.
Keduanya berjalan memasuki area gerbang TK Permata Hati. Dengan Kenzo menuntun Bulbul untuk mengantarkannya ke kelas gadis itu.
Kenzo melepaskan tas milik Bulbul yang digendongnya di depan dada cowok itu, dan langsung memberikannya pada Bulbul.
"Nih pake," suruhnya dan membantu memasangkan tas itu di punggung Bulbul.
"Dah, sonoh masuk, baek-baek jangan bandel!" tutur Kenzo mendorong pelan Bulbul untuk segera masuk.
"Abang endak ikut cekulah di cini?" tanya Bulbul sebelum gadis itu benar-benar masuk ke dalam kelasnya.
Kenzo mendengkus pelan, "Kamu pikir Abang masih bocil apa! Udah sono masuk."
Bulbul mengerucutkan bibirnya. Dan melangkah masuk.
"Eh, entar-entar!" Kenzo kembali berujar, memberhentikan kembali Bulbul yang baru saja berjalan beberapa langkah. "Nanti pulangnya di jemput sama Mama. Kalo Mama belom dateng tungguin di sini jangan kemana-mana, entar ilang repot lagi!"
"Ngerti gak?"
Bulbul mengangguk. "Iya."
Setelah itu Kenzo pergi dari sana, bergegas berangkat menuju sekolahnya.
"Apa cih, endut dali tadi liatin Bulbul teluc!" sewot Bulbul, mendelik tajam ke arah Edo. Yang memang mereka duduk bersebrangan.
"Dasal endut!" sambungnya dan segera mendudukan bokongnya.
Edo menatap Bulbul, dengan tangan tengah memegang sebuah ciki. "Apa sih, Edo gak liatin kamu!"
Bulbul membuka rasleting tasnya. Mengambil sebuah susu kotak yang selalu dibawanya. Dan langsung menyedotnya.
"Itu kamu liatin Bulbul!" ujarnya sambil mengigit sedotan susu itu.
"Enggak, Edo gak liatin kamu!"
"Dasal endut! Itu kamu liatin Bulbul!"
Edo menatap sinis Bulbul. "Kok kamu malah ngatain Edo, endut telus!"
"Kamu sendili juga endut!" sambung Edo, sambil sesekali memakan cikinya itu.
Bulbul mencebikan bibirnya kesal. "Apa cih, Bulbul endak endut!" ujarnya membela diri. "Iyakan, Pul?" sambungnya bertanya pada Eful yang duduk tepat di depan Edo.
Eful yang tengah asik dengan pensil warnanya, seketika mendongkak mendengar namanya di sebut-sebut. "Hah?"
"Iya, kan, Pul?" ujar Bulbul kembali mengulang pertanyaannya.
Eful menggaruk pipinya sedikit bingung. Dan setelahnya anggukan kepala dilakukannya. "Iya."
Bulbul tersenyum dua jari kearah Eful. "Wlee. Benelkan ata Epul juga, Bulbul endak endut!" ucapnya sembari menjukurkan lidahnya meledek Edo.
"Endut! Udah endut pendek lagi!" kekeh Edo.
Bulbul meletakan terlebih dahulu susu kotak yang tengah dinikmatinya. Dan berkacak pinggang sambil memelototi Edo. "Endut kok ahat, malah atain Bulbul endut, pende!"
Edo mengerucutkan bibirnya kesal, menatap Bulbul. "Emang benel! Kamu endut, pendek lagi!"
"Ihhh, endut ngecelin! Endut ahat!" pekik Bulbul menatap garang Edo. "Endut juga. Udah Endut gigi kamu ompog lagi!"
"Eh--kalian beldua jangan belantem, nanti ada Bu gulu telus malah, gimana?" Eful yang mendengar perdebatan keduanya, berujar dan mencoba untuk menenangkan.
Setelah beberapa detik Eful mengatakan itu Bu Lisa datang. "Pagi anak-anak," ujar Bu Lisa, berjalan menuju meja guru sambil membawa sebuah buku di tangannya.
"Duduk dibangku masing-masing, yang rapih, yah!" perintah Bu Lisa mengintrupsi.
Seluruh murid-muridpun segera bergegas mengikitu perintah Bu Lisa tak terkecuali Bulbul dan Edo.
Setelah itu Bu Lisa segera memulai mengajarnya. Mengambil sebuah spidol dan segera menulis sesuatu di papan tulis.
Seperti guru-guru TK pada umumnya, pasti sebisa mungkin lebih banyak berbicara menjelaskan tentang segala hal dan aktif dalam memberingan pertanyaan-pertanya sederhana agar anak muridnya ikut aktif dan berani jika harus dipanggil maju ke depan.
"Siapa yang bisa gambar cacing, ayok acungkan tangan dan maju ke depan," ujar Bu Lisa sambil mengacungkan sebuah spidol di tangannya.
Bulbul tiba-tiba mengangkat ragu tangan kanannya gelisah ditempat duduknya. Dengan wajahnya terlihat memerah dan keringat dingin mulai bercucuran.
"Iya Bulan, yok maju nak," ujar Bu Lisa menyuruh Bulbul untuk segera maju ke depan.
"Ayok Nak, mana tepuk tangannya buat Bulan dong," sambung Bu Lisa tersenyum merekah pada bibirnya.
"Ibu ...," cicit Bulbul.
"Iya Nak, ayo jangan malu-malu."
"Bulbul. Bulbul cakit pelut, au eek," cicit Bulbul kembali berujar.
Seketika raut wajah Bu Lisa berubah setelah mendengar penuturan Bulbul. Dan helaan napas keluar dari mulutnya.
••
Di SMA Pelita Nusantara, Jam kosong di beberapa kelas tengah berlangsung. Salah satunya kelas Kenzo, dan membuat remaja itu beserta kedua temannya pergi keluar dari kelasnya, entah hanya untuk mengacau ke kelas tetangga, ataupun menghabiskan waktu itu ke kantin.
Ketiganya berjalan beriringan di koridor. "Kenapa jalan lo pinced kek gitu Sat?" tanya Kenzo pada Satria.
"Iye, kaki gue keseleo!" sahut satria.
"Widih cakep tuh!" Gibran menimpali sambil menyuapkan sebuah cilok ke dalam mulutnya.
Satria menggeplak belakang kepala Gibran. "Cakep pala lo peang!"
"Lu sih, kalo jalan tuh juga pake mata jangan cuman peka kaki," Kenzo kembali menyahuti, dengan kurang ajar ia menendang kaki Satria.
"Anjir! Sialan lo!" sewot Satria meringis sambil mengusap-ngusap kakinya.
"Gue bukan jalan nyet!" sambung Satria kembali berujar.
"Terus? Ya, kali salto? Jungkir balik? Atau kayang?" tutur Kenzo bertanya.
"Enggak gitu juga Malih! Kemaren gue di kejar-kejar waria ampe kaki gue nyungsep di got depan rumah Pak RT!" jelas cowok itu. Menampilkan wajah masamnya.
Kenzo dan Gibran serempak tertawa. "Gini Zo ... bebeb Satsat ganteng kam her, kam her. Peyuk ekye dong," ujar Gibran meledek Satria dengan menirukan seorang jantina, dan berjalan meliuk-liukan badannya serta tangan di tekuk seperti seorang banci pada umumnya.
"Angkut ekye dong Bang Satsat, ahh ...." Kenzo menimpali, diiringi usapan lembut pada bahu Satria sambil menampilkan lekuk tubuhnya.
Keduanya tertawa keras menggema di sepanjang koridor.
"Hahahha ... bisa aja lo, Maemunah!" ujar Gibran sambil menggeplak kepala Kenzo.
Satria bergidik ngeri, mengusap-ngusap bahunya yang di sentuh oleh Kenzo. "Anjing! Geli bangsat!"
"Kenapa gak sekalian bawa ke rumah Sat, lumaya buat ngusir tikus di rumah lo," saran Kenzo dan keduanya kembali tertawa.
"Diem lu berdua! Gak ada yang lucu anjir!" sewot Satria merotasikan matanya jengah.
Kenzo menghentikan tawanya, seketika mempercepat langkahnya meninggalkan kedua temannya. Melihat Zeline tengah berjalan saling berlawanan arah dengannya.
Kenzo terlebih dahulu menegapkan jalannya, memasang wajah coolnya dan meletakan kedua tangannya ke dalam kantong celana abunya.
Kenzo berdiri dihadapan Zeline menghalangi jalan cewek itu. Decakan pelan keluar dari bibir Zeline. "Ck! Minggir!" pinta Zeline.
Zeline memilih melanjutkan langkahnya dengan mengambil jalan ke kiri. Namun, Kenzopun melangkah ke kiri. Dan seterusnya Zeline melangkah ke kanan Kenzopun mengikutinya.
Zeline menatap sinis Kenzo dan berdecak kesal. "Ck! Lo ngapain sih! Minggir gak?!"
Kenzo menggeleng pelan. "Gak! Noh, jalanan masih luas."
Zeline kembali melangkah ke kiri, namun kenzo mengikutinya.
"Ihh, lo ngeselin banget sih!" Zeline menghentakan kakinya kesal, menatap sinis Kenzo dengan tangan bersedekap dada.
"Iya gue tau, gue cakep. Gak perlu di omongin," ujar Kenzo menyisir rambutnya dengan jari tangannya.
Kedua temannya yang sudah berada di sisi Kenzo mendengus, merotasikan bola matanya masing-masing, mendengar penuturan Kenzo.
"Maaf-maaf yah, ni anak emang rada-rada miring otaknya," ujar Gibran meletakan tangannya di sisi mulutnya seperti orang yang tengah berbisik. Dan jari telunjuk tangan kirinya di miringkan di jidatnya.
Kenzo mendengkus. "Diem lo Supri! Ikut campur aja!" Kenzo menendang tulang kering Gibran.
"Pantes!" sahut Zeline. Dan hendak kembali berjalan melangkah.
"Eett, tidak secepat itu purgosong!" Kenzo kembali menghalangi Zeline yang akan melangkah ke sisi kanan.
Zeline menghela napasnya sabar, menghadapi makhluk seperti Kenzo. "Lo, mau apa, sih!"
Kenzo terlihat berpikir. "Emm--kita, kan udah beberapa kali ketemu. Pertama, lo yang buat gue nyungsep dapan gerbang sono," tutur Kenzo mengangkat dua jarinya. "Kedua, kemarin gue udah nolongin lo buat bayarin softex di supermarket. Ketiga kita ketemu di sini, dan gue belom tau nama lo--"
Plak!
Lagi-lagi sebuah geplakan di berikan Satria di kepala Kenzo. "Caelah, modus teros, teros modus, modus ... dus ... duss ... dus, lu Malih!"
Kenzo menatap sinis Satria. "Ganggu aja lo Susan!" Kenzo kembali menendang kaki Satria.
"Itung-itung sebagai bayaran waktu gue bayari softex lo kemaren," lanjut Kenzo kembari berucap.
"Apa sih lo, jangan bawa-bawa softex terus, kek!" sewot Zeline dengan suara agak pelan. "Malu-maluin tau gak!" sambungnya.
Kenzo terkekeh pelan. "Iya-iya, sorry. Nama lo saha? Cepet!"
"Nama gue Zeline! Udah yah!" ucap Zeline dan bergegas melangkah pergi dari sana.
"Hah! Apa? Alien? Nama lo Alien?" Kenzo kembali bertanya.
Lagi dan lagi Gibran kembali menggeplak kepala Kenzo. "Selin Budeg!"
"Keknya kuping kalian perlu di bersihin pake linggis deh! Kelin goblog namanya Kelin!" Satria ikut menyahuti.
Zeline yang masih berada di sana, menatap kesal ketiga cowok itu. Tangannya terulur merogoh saku baju seragamnya menunjukan nametag miliknya pada ketiganya.
"Bisa baca!" ujar Zeline.
"Oh, Zeline!" ucap ketiganya serempak.
"Ngomong kek dari tadi!" ujar Gibran.
••