Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa tinggal di rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi butler-nya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Bang Nicho!"
Nicho terperanjat seketika. Ternyata masih ada yang mengenalinya sekalipun ia sedang memakai kacamata hitam dan masker. Ia lantas berbalik, sengaja memunggungi seseorang yang baru saja menegurnya. Sayangnya, seseorang itu malah datang mendekat ke arahnya. Bahkan tak sungkan untuk menepuk pundaknya.
"Ini beneran Bang Nicho, kan?" ucap orang itu sembari berdiri di hadapan Nicho.
Nicho mengganti posisi menghadap ke kanan hanya untuk menghindar bertatapan dengannya. Pasalnya, pria yang menegurnya itu adalah mantan asisten pertamanya. Ia tak ingin pria itu mengetahui keadaannya yang mengenaskan seperti ini.
Tak mendapat respon dari Nicho, pria itu pun mulai ragu-ragu sambil bergumam, "Bang Nicho beneran, apa cuma mirip, ya?"
"Cuma mirip doang kok!" tandas Nicho sambil memalingkan pandangan.
Mendengar suara Nicho yang khas, lantas pria berkulit hitam manis itu bertepuk satu kali. "Huah, ternyata emang Bang Nicho!"
Mata Nicho terbelalak diikuti kepala yang menoleh ke kiri dan kanan, berharap tak ada orang yang mendengarnya. Ia lantas menurunkan sedikit kacamatanya sambil berkata geram. "Mulut Lo bisa dilaminating bentaran gak?"
Pria itu lantas mencapit bibirnya sendiri. "Maaf, Bang. Masih kenal gua gak, Bang? Ucup Marucup!" ucapnya sekadar mengingatkan kembali namanya.
"Jelas kenal lah. Lo masih jadi satu-satunya asisten terbaik yang pernah gua miliki," balas Nicho yang sebenarnya juga merindukan asistennya itu.
"Huaa ... terharu dengarnya, Bang. Gua juga masih sering berburu info tentang lu, Bang. Senang akhirnya lu bebas. Tapi ..." Ucup melihat ruko yang berada tepat di belakang Nicho berdiri saat ini, di mana itu adalah tempat jual beli motor. "Ngapain Abang di sini? Jangan bilang ... Abang mau jual motor." Tatapannya terarah pada motor besar milik Nicho.
"Ya, enggaklah! Orang cuma numpang istirahat doang. Capek jalan-jalan Mulu mutar-mutar Jakarta," tampik Nicho yang tidak ingin ketahuan kalau dirinya memang berniat menjual motor.
"Oh, gitu ya, Bang. Tapi tumben istirahatnya di pinggir jalan kek gini."
"Gua lagi mendalami peran jadi orang susah untuk film berikutnya," elak Nicho. "Lu sendiri ... ngapain ada di sini?"
"Biasa Bang. Baru pulang kerja!"
"Emang sekarang lu kerja apa?"
"Freeport, Bang."
"Wuih ... emang ada Freeport cabang Jakarta?"
"Maksud gua ... kerjaan gua tuh kadang free kadang repot, kan kalo disingkat jadi Freeport," ucapnya sambil menyengir.
Nicho meringis. Di waktu yang sama, perutnya mulai membunyikan alarm lapar. Ia baru saja ingat, kalau sejak pagi dia belum juga makan.
"Ya, udah Bang. Gua mau balik ke apartemen dulu. Kan capek kerja semingguan, mau berleha-leha dulu di apartemen gua."
Mendengar ucapan asistennya itu, lantas timbul ide untuk menumpang di tempat mantan asistennya itu. Paling tidak, ia bisa bernaung semalaman di sana.
"Tunggu! Tunggu! Gua ... bisa ikut lu enggak?" tanya Nicho malu-malu.
"Hah? Ikut?" Ucup terbengong sesaat. Pandangannya lalu tertuju pada barang bawaan Nicho.
"Iya ...." Nicho mengelus tengkuk lehernya sambil berkata, "Kalo boleh ... gue pengen numpang di rumah lo malam ini. Soalnya, gua ...."
Belum sempat Nicho menjelaskan, Ucup langsung memegang tangannya sambil berkata, "Dengan senang hati, Bang. Abang mau tinggal semalaman atau selamanya juga gua terima."
Disambut hangat oleh mantan asistennya membuat Nicho terharu sekaligus senang. Ia merasa terselamatkan. Jika tak ada Ucup, mungkin dia akan menjadi gelandangan dalam semalam. Sebaliknya, tanpa Nicho menjelaskan apa pun, sepertinya Ucup sudah bisa menebak kesulitan yang tengah dihadapi mantan bosnya itu. Pasalnya, ia telah berada di sisi pria itu selama bertahun-tahun sebelum akhirnya memilih mundur dari pekerjaannya.
Mereka lantas menuju kediaman Ucup yang lokasinya ternyata tak jauh dari hotel tempat Nicho menginap. Namun, sesampainya di sana, wajah pria yang berprofesi sebagai aktor itu menggelap seketika. Berdiri dengan wajah yang hampir jatuh, Nicho memandang lesu bangunan tinggi yang ada di hadapannya yang mana banyak dihiasi tali jemuran lengkap dengan aneka kancut dan handuk jamuran yang dipamerkan.
"Cup, apartemen Lo di mana?" tanya Nicho was-was. Perasaannya mulai tak enak. Takut apa yang menjadi dugaannya saat ini benar.
"Di sana tempat tinggal aku, Bang!" Ucup menunjuk ke arah gedung tingkat yang tengah dilihat Nicho.
"Ini sih bukan apartemen. Ini Rusun, Cup!" ringis Nicho sambil meneguk ludah yang terasa pahit.
"Ini apartemen rakyat jelata macam gua, Bang. Hehehe ...." Ucup malah menyengir kuda. "Ayo, Bang, naik! Dah mau Maghrib."
"Lo mau suruh artis kek gua tinggal di tempat kek gitu? Apa kata orang sana kalo lihat gua nanti?" Rupanya Nicho masih mempertahankan gengsinya. Bahkan, membayangkan ia berada di sana saja, sudah membuat bulu kuduknya merinding.
"Tenang, Bang. Di sini kagak ada yang kenal Nicho Javariel. Emak-emak di sini tahunya artis-artis sinetron, kek Aryo Selokan, Shiren Sungkem, sama Rapi Amat."
Meski tidak mau, sepertinya Nicho tidak punya pilihan untuk menolak ajakan mantan asistennya. Dengan langkah berat, ia mulai mengikuti arah Ucup berjalan. Di saat yang sama, perutnya kembali menimbulkan bunyi krucuk-krucuk yang terdengar cukup nyaring.
Mendengar suara decitan perut Nicho, Ucup lantas berkata, "Tunggu, Bang. Kita beli gorengan dulu buat ganjel perut. Entar pas dah sampe rumah, gua masakin buat Abang."
Ucup langsung singgah ke gerobak gorengan yang berada di sekitaran halaman rusun.
"Bakwan sebiji berapa, Bu?" tanya Nicho.
Ibu itu melirik penampilan Nicho yang berdiri. Melihatnya tampak berbeda dari orang-orang sekitar yang ada di sini, ibu itu lalu berkata, "Oh, murah aja. Cuma ceban doank!"
Ucup terkejut. "Satu bakwan kecil segini sepuluh ribu? Mana ada murah harga segitu."
"Lah ini kan karena gorengnya sampe keemasan. Tahu sendiri kan harga emas lagi melambung tinggi."
"Kalo gitu minta yang digoreng sampe kecoklatan aja, Bang. Harga cokelat kan gak lebih mahal dari emas," kata Ucup pada Nicho.
"Noh, ambil." Ibu itu malah memberikan mereka gorengan gosong.
"Ini sih bukan kecokelatan, Bu. Tapi kehitaman alias gosyong," protes Ucup.
Nicho lantas mengeluarkan lembaran uang seratus dari dompetnya. "Segini cukup gak, Bu kalo sama yang lain?" tanyanya sambil menunjuk aneka gorengan lainnya.
"Itu sih kebanyakan, Bang!" cetus Ucup.
Namun, uang itu langsung diambil si penjual. "Cukup kok," ucapnya sambil membungkus aneka gorengan dan menyerahkannya pada mereka.
Nicho dan Ucup kini mulai memasuki rusun. Di saat yang sama, gerombolan bocah lelaki berlarian dari tangga dan menabrak Nicho hingga membuat tubuh lelaki jangkung itu berputar seperti gasing. Sialnya, bungkusan berisi gorengan yang dipegangnya malah terlempar jauh dan masuk ke dalam selokan.
"Anjriitt, lu bocah-bocah!" pekik Nicho kesal. Sepertinya hari ini benar-benar menjadi hari sial baginya.
.
.
.
Like dan komeng
masih misterius ini neng Sera, nantinya Nic kerja apa ya, biar punya mata pencaharian
untung Sera gak baperan jadi tak terbawa arus