Afika Lestari, gadis cantik yang tiba-tiba di nikahi oleh pria yang sama sekali tidak di kenal oleh dirinya..
Menjalani pernikahan dengan pria yang ia tidak kenal yang memiliki sifat yang kejam dan juga dingin, membuat hari-hari Afika menjadi hancur.
Mampukah Afika bertahan dengan pernikahan ini?
Atau mampuka Afika membuat pria yang memiliki sifat dingin dan kejam menjadi baik, dan mencintai dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon momian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MKD 02
Karena tak kunjung membuka pintu kamar mandi. Bi Sri memutuskan untuk memanggil pengawal yang bertugas menjada di depan pintu kamar. Pengawal yang bernama Nadi langsung bergegas masuk ke dalam kamar di susul oleh bi Sri yang berjalan dengan sangat khawatir. Bi Sri khawatir karena jika seandainya Afika lolos maka akan menahayakan dirinya dan juga Nadi. Bisa-bisa tuannya akan marah dan mengamuk karena tidak becus mengerjakan tugas.
"Sejak kapan dia masuk." Tanya Nadi, sambil terus mengetuk pintu dan memutar hendel pintu, dan sesekali memanggil nama Afika, namun tidak ada jawaban.
"Sudah hampir dua puluh menit lamanya." Jawab bi Sri dengan raut wajah yang gelisa.
"Nona Afika, saya hitung sampai tiga, jika nona tidak segerah keluar maka saya akan mendobrak pintu kamar mandi ini." Kata Nadi, sambil mencoba menghitung.
Afika tentu jelas mendegar ucapan Nadi dari luar. Afika mulai gelisah, dan menggigit kuku jari telunjuknya sambil berjalan mondar mandi bagai sebuah setrika. Afika mencoba berfikir, bagaimana langkah selanjutnya agar bisa keluar dari tempat yang ia tidak tahu di mana letaknya.
Afika menarim nafas dan mengembuskan secara perlahan. Saat hitungan Nadi di angka ke dua, Afika langsung membuka pintu kamar mandi. Dengan raut wajah yang di buat seteng mungkin agar tidak menimbulkam kecurigaan pada Sri dan juga Nadi.
"Nona, apa yang anda lakukan. Bukankah sudah aku katakan, jika ingin selamat anda harus menurut." Kata bi Sri sambil menarim lengan Afika agar kembali berjalan menuju tempat tidur.
"Aku. Aku hanya buang air besar makanya aku tidak menjawab." Bohong Afika, padahal kenyataan yang sebenarnya ia ingin mencoba kabur, namun tidak menemukan cela sama sekali.
Nadi yang sudah mendapatkan jawaban, langsung keluar dari kamar, sedangkan bi Sri, dia kembali mengambil tali dan mencoba untuk mengikat tangan Afika, namun saat bi Sri mencoba mengikat Afika, justru Afika bergerak dengan cepat dan memutar tangan bi Sri, lalu dengan cepat Afika mengikat tangan bi Sri, dan menutup mulut bi Sri dengan sarung bantal yang ia buka dan di ikat di mulut bi Sri.
"Maaf bi karena mengikatmu. Tapi aku harus pergi dari sini." Kata Afika, memandang sendu bi Sri karena merasa bersalah telah mengikat seorang wanita paruh baya. Lalu Afika berjalan menuju jendela besae dengan tirai gorden yang masih tertutup. Afika mengintip di cela gorden. Dan betapa kagetnya Afika saat melihat ternyata saat ini dirinya sedang berada di ketinggian. Lebih tepatnya, Afika berada di lantai dua rumah yang bangunannya telihat sangat megah. Namun, sejauh mata Afika memandang, Afika tidak melihat satu rumah pun yang terletak di sebelah rumah yang tempat saat ini dirinya di kurung.
"Dimana aku." Gumam Afika, sambil menatap kebawah mencari jumlah orang yang mungkin menjaga, namun Afika bersyukur karena tidak menemukan satu pun orang di bawah sana.
Dengan perasaan yang legah, Afika langsung melepas seprei dan mengambil handu yang berada di kamar mandi, mengikat keduanya agar bisa lebih panjang.
Afika lalu mengikat seprei di kaki kursi, dan melempar turun seprei tersebut.
"Hhmmmm..." Kata Bi Sri sambil terus menggelengkan kepalanya, dan menggeliatkan tubuhnya.
"Maaf bi, tapi aku harus pergi.." Kata Afika.
"Tolong nona jangan pergo, tolong." Ucap bi Sri dalam hatinya.
Namun Afika yang tidak mampu mendengar langsung mencoba kabur melalui seprei yang telah ia ikan. Dan Afika bisa tersenyum karena dirinta berhasil turun sedikit demi sedikit tanpa ada hambatan sama sekali, dan saat kaki Afika menapak di lantai, betapa terkejutnya Afika saat Afika menengok kebelakang dan melihat sosok pria yang telah resmi menjadi suami dadakannya. Ya, siapa lagi jika bukan Adrian. Kini Adrian berdiri tepat di hadapan Afika. Adrian menatap tajam pada Afika dan dengan raut wajah yang mulai merah karena marah melihat tingkah Afika yang mencoba melarikan diri. Adria langsung tertawa membuat Afika merasakan suasana yang dingin dan mengerikan.
"Hahahhaha, beraninya." Kata Adrian sambil menarik rambut Afika dan menarik Afika mengikuti langkah kakinya.
"Lepaskan! Sakit! Tolong lepaskan rambutku." Kata Afika sambil memegang tangan Adrian yang berada di atas kepalanya. Adrian tidak menjawab, ia terus saja berjalan tanpa memperdulikan rintihan kesakitan yang Afika rasakan.
Karena meraskan sakit, spontan air mata Afika jatuh membasahi pipi mulusnya. Lagi, dan lagi, Afika harus di hadapkan dengan kenyataan yang membuatnya terus bertanya-tanya.
Sreeeeettttrrrrr.
Tubuh Afika di hempaskan ke lantai, hingga membuat kepala Afika terbentur.
Prokkk. Prokkkk. Prokkk..
Adrian bertepuk tangan di hadapan Afika sambil melepaskan rambut yang berada di tangannya. Rambut Afika yang rontok akibat di tarik oleh dirinya.
"Berani sekali kau." Kata Adrian sambil berjongkok di hadapan Afika dan mencengkram kedua pipi Afika dengan sangat keras.
"A-apa salah ku. Ke-enapa kau menyiksaku." Tanta Afika dengan suara yang tidak jelas karena cengkraman Adrian di kedua pipinya.
"Salahmu, karena kau telah lahir di dunia ini."
Duarrrrrrr........Bak di sambar petir di sore hari, mendengar kata pria yang kini telah berada di hadapannya. Apakah Afika meminta untuk lahir di bumi ini? Tidak! Tidak sama sekali. Tapi Afika bersyukur karena bisa terlahir dan mengenal dunia. Tapi mulai hari ini, Afika menyesali karena kenapa dirinya harus berhadapan dengan pria dingin dan sangat kejam.
Adrian melepaskan cengkramannya lalu menampar pii kiri Afika dengan sangat keras sehingga membuat sudut bibir Afika mengeluarkan darah segar.
"Sekali lagi kau mencoba kabur, maka aku akan membu*nuhmu." Ancam Adrian lalu mendorong tubuh Afika.
Afika menangis sambil memegang pipinya yang terasa sakit akibat tamparan yang telah di layangkan Adrian padanya. Dan tentu bukan cuman pipi Afika yang sakit, hati Afika juga tentu merasakan sakit, karena jujur hingga sampai saat ini Afika sama sekali tidak mengenal sosok pria yang telah resmi menjadi suaminya. Dan kenapa pria itu begitu sangat membenci dirinya sampai-sampai mengancam akan membu*nuh jika Afika mencoba untuk kabur.
Bi Sri datang menghampiri dan membantu Afika agar berdiri, dan menuntun Afika menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar. Bi Sri mendudukan Afika di sudut tempat tidur, lalu bi Sri membawa kotak p3k.
"Sudah saya bilang nona. Jangan pernah mencoba kabur dari tuan Adrian." Kata bi Sri sambil mengusap darah di sudut bibir Afika. Afika yang merasakan nyeri langsung menarik mundur kepalanya dan menahan tangan bi Sri.
"Kenapa bibi baik kepadaku Kenapa mau mengobati lukaku?"
Bi Sri diam tidak menjawab. Dan kembali mengobati luka Afika.
"Sri, nona Afika bisa memanggilki bi Sri." Kata Sri setelah mengobati luka Afika, lalu Sri berdiri dan berjalan keluar kamar, namun langkah bi Sri terhenti kala Afika berkata.
"Maafkan aku bi, maaf karena tadi sempat mengikat tubuhmu." Sesal Afika.
Semalam berlalu. Afika yang sudah terbiasa bangun di saat pagi-pagi buta langsung membuka tirai gorden, lalu membuka pintu yang menghubungkan ke balkon kamar. Afika berdiri menatap sekeliling yang telihat hanya ada tembok pagar yang menjulang tingggi, dengan pohon-pohong yang tumbuh di luar pagar...
"Apa aku ada di dalam hutan." Gumam Afika sambil terus menatap ke arah luar pagar..
Dan kini pikiran Afika kembali saat dimana dirinya sedang menunggu sang pengantin pria datang.
Flasback
Pagi hari yang begitu indah, suasana terik matahari seterik suasana hati Afika. Hari ini, tepat hari selasa akan di adakan akad nikah. Pernikahan antara Afika dan sang kekasih yang bernama Rangga.
Taman kecil yang berada di depan panti asuhan kini telah di sulap menjadi taman bunga yang menghiasi indahnya taman. Seperti indahnya wajah sang pengantin wanita. Di mana saat ini sang penggantin dengan sangat setianya menunggu di dalam kamar.
"Saya terima nikah dan kawinnya Afika Lestari dengan mahar seperangkat alat sholat di bayar tunai." Kata mempelai pria dengan sangat lantangnya.
Dak...Dik..Duk... Detak jantung Afika berdetak lebih cepat, karena mendengar ijab kabul yang barusan di ucapkan oleh mempelai pria. Suara itu, suara yang terdengar lantang dan berat. Suara yang sangat berbeda jauh dari suara sang kekasih. Atau mungkinkah Rangga gugup sehingga membuat suaranya menjadi berat dan berubah. Itu yang terbesit dalam pikiran Afika. Tapi Afika mencoba menepis semua pikirannya itu, toh tidak akan mungkin Rangga tidak datang di hari bahagia mereka.
Afika di tuntun keluar kamar oleh ibu panti dan juga sahabatnya yang bernama Farah, berjalan sambil menundukkan kepalanya menyembunyikan wajah malu dan juga wajah bahagia yang bercampur jadi satu. Dan saat langkah kaki Afika berhenti tepat di depan mempelai pria, Afika langsung mendongakkan kepalanya.
Duarrrrrrr........
Bagaikan di sambar petir di pagi hari. Tanpa mendung tanpa hujan, dan juga tanpa badai. Tapi Afika merasa jika ia sedang terkena petir di sekujur tubuhnya.
Siapa dia? Siapa pria yang kini ada di hadapannya yang saat ini telah resmi menjadi suaminya secara hukum dan agama.
"Dimana Rangga?" Tanya Afika pada pria yang kini berhadapan dengannya, dan Afika menoleh ke arah Farah dan juga ke arah bunda yang menjadi ibu panti.
"Siapa dia?" Tanya Afika
Farah menautkan satu alisnya mendengar pertanyaan yang keluar dari sahabatnya itu. 'Siapa dia', bukan kah Farah sudah tahu jika pria yang ada di hadapannya ini adalah kekasihnya yang telah resmi menjadi pasangan hidupnya.
Andrian tersenyum devil dengan wajah yang dingin sambil menatap tajam pada Afika.
"Aku suamimu." Kata Andrian dengan dingin.
Duarrrr....
Untuk kedua kalinya tubuh Afika bak di sambar petir. Dimana perkataan pria ini begitu sangat mengejutkan.
Dan karena syok, Afika langsung pingsan.
salah tulis nama