“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Belas
Sudah hampir satu minggu Heru sulit sekali bertemu dengan Arini. Arini selalu sibuk, bahkan pagi-pagi sekali Arini sudah tidak ada di rumahnya. Heru malah dikejutkan oleh adanya asisten di rumah Arini, yang bertugas untuk masak dan bersih-bersih rumah. Arini malas sekali untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya, jadi dia menyewa asisten untuk bersih-bersih, dan masak juga. Di kantor pun Arini jarang ada. Padahal setiap hari banyak orang yang ingin konsultasi, namun Arini memilih menemui kliennya di luar kantor saja.
Malam ini Heru mencoba malam-malam ke rumah Arini, ia ingin mengajak Arini menemui orang tuanya. Heru ingin segera menikahi Nuri secara sah, mama dari Heru sudah merestuinya, apalagi beliau sudah ingin memiliki cucu.
Arini terlihat baru saja pulang, ia baru turun dari mobilnya. Melihat Heru yang datang, Arini menampakkan wajah kesal dan malasnya. Setiap hari ia memilih tidak di rumah, Arini memilih menenangkan pikirannya, karena masih dilema dengan keputusannya untuk meminta cerai pada Heru. Namun, saat ini, hatinya sudah mantap untuk pisah dengan Heru. Ia sudah konsultasi dengan pengacaranya, dan keputusan Arini sudah bulat, ia akan berpisah dengan Heru.
Heru langsung turun dari mobilnya, ia berlari mengerjar Arini yang buru-buru mau masuk ke dalam rumahnya.
“Rin ... Rin ... tunggu!”
“Kamu ngapain ke sini?”
“Kamu ini ditemui susah sekali, Rin? Kamu itu masih istri aku, ke mana saja sih setiap hari? Di kantor gak ada, di rumah ditungguin sampai malam gak ada, kamu kelayaban ke mana?”
“Terserah aku dong, mau ke mana, mau di mana? Apa urusan kamu?” jawab Arini.
“Hei, kamu ini masih istriku!”
“Istri yang selalu dianggurin begitu? Salah kalau aku cari kesenangan dan ketenangan?”
“Kamu itu harusnya bisa jaga marwahmu sebagai seorang istri!”
“Kamu yang harusnya jaga pandangan, jaga perasaan, gak sesuka hati nidurin perempuan lain! Kalau kamu bisa nidurin perempuan lain, kenapa aku gak bisa tidur dengan pria lain?”
Heru mengepalkan tangannya. Sudah pasti Arini selama hampir seminggu ini bersama Raka. Raka juga jarang di kantornya, kadang datang pagi, siang sampai sore tidak ada. Kadang pagi sampai siang gak ada, baru datang menjelang sore.
“Oh jadi kamu sudah tidur dengan laki-laki lain? Siapa? Raka?!”
“Mau Raka mau siapa, bukan urusan kamu! Ada apa kamu ke sini! Aku capek, aku mau istirahat!”
“Besok mama mau ketemu kamu,” jawab Heru.
“Mau apa?”
“Rin, mama merestui aku menikahi Nuri. Mama senang sekali mau punya cucu, Rin. Aku mohon kamu pun merestui pernikahan kami, supaya bisa menikah sah. Nanti kamu kan juga bisa jadi ibu, kamu bisa belajar punya anak setelah anak Nuri lahir. Kamu bisa merawatnya juga.”
“Aku bukan baby sitter, Her!”
“Please ... besok kita ke rumah mama, ya?”
“Nanti aku hubungi kamu lagi. Bisa atau tidaknya. Sekarang kamu pergi, pulang sana ke rumah jalangmu itu! Aku capek, aku mau istirahat!”
Heru mendekati Arini, dia meraih tangan Arini, lalu menciumnya. “Aku kangen, Rin.”
“Aku tidak! Sana pulang!”
“Rin, aku masih suami kamu, apa kamu tidak ingin aku bermalam di sini, Rin? Aku kangen, Rin.”
Heru memeluk Arini, menciumi jenjang leher Arini, akan tetapi Arini terus menepis dan mendorong tubuh Heru.
“Rin, ayo. Aku kangen banget. Aku mencintaimu, Rin.”
Arini menata wajah Heru yang memang masih ia rindukan. Tatapan Heru yang menyiratkan kerinduan mendalam pada dirinya, membuat Arini terbuai. Heru mendekatkan wajahnya, dan tidak mau lama-lama ia langsung melahap bibir Arini. Arini membalas kecupan Heru yang makin dalam.
“I love you, Rin,” bisik Herus lalu kembali mengecup bibir Arini dengan begitu rakus. Arini pun membalasnya dengan begitu bergairah.
Heru menggendong tubuh Arini di depan. Mereka berjalan masuk ke dalam dengan terus menautkan bibirnya. Untung saja asisten di rumah Arini sudah pulang kalau sore, jadi tidak ada siapa-siapa di rumah Arini.
Heru merebahkan tubuh Arini di atas sofa, Arini sudah pasrah dengan sentuhan suaminya yang sebetulnya sangat ia rindukan. Satu persatu kancing baju Arini terlepas, dengan cepat Heru melucuti baju Arini, dan baju dirinya. Arini benar-benar lupa bahwa dirinya sudah mengajukan gugatan cerai di pengadilan, dan sedang diproses, mungkin besok atau lusa gugatan itu akan dikirimkan kepada Heru.
“Aku rindu desahanmu, Sayang,” bisik Heru sambil melahap rakus dua buah dada Arini. Arini hanya bisa melenguh, menikmati apa yang Heru lakukan.
Mereka semakin panas dengan kegiatannya. Mereka sudah tidak lagi memakai pakaian, tubuh mereka polos, siap untuk melakukan penyatuan panasnya malam ini.
Ponsel Heru berdering, membuat kegiatan mereka terhenti sejenak. Heru mengambil ponselnya, ia melihat siapa yang menelefonnya. Dengan segera Heru menerima panggilannya.
“Kamu kok belum pulang? Di mana?”
Terdengar suara perempuan di balik telefon Heru. Arini tahu itu adalah Nuri. Arini langsung mendorong tubuh Heru dari atasnya. Ia merasa bodoh sekali dengan apa yang ia lakukan tadi.
“Aku di rumah Arini, aku akan tidur di sini.”
“Gak bisa, Her! Aku ini lagi hamil, main ditinggalin saja! Lagian Arini kan tidak hamil, kamu gak boleh tidur di situ!”
“Hei, Arini itu istriku juga. Lagian selama ini kan aku di kamu terus? Aku sudah lama tidak tidur di rumah Arini.”
“Gak bisa, Her! Pulang sekarang! Aku gak bisa tidur tanpa kamu!”
“Nuri ... aku mohon pengertianmu, aku mau adil dengan dua istriku.”
“Gak bisa! Pulang sekarang atau kamu mau anak ini kenapa-napa!”
“Iya, iya, aku pulang!”
Mendengar percakapan Heru dan Nuri, Arini kembali memakai pakaiannya. Tidak mungkin Heru akan bermalam di rumahnya. Arini benar-benar menyesal, kenapa tadi dia harus terbuai dengan sentuhan Heru.
“Rin ....”
“Pulanglah!”
“Maafkan aku.”
“Sudah sana pulang, besok malam aku akan menemui mamamu!”
“Maaf, aku pulang ke Nuri, ya?”
“Silakan!”
Heru mengecup kening, pipi, dan bibir Arini. Arini hanya diam mematung dengan merutuki diri nya sendiri. Betapa bodohnya dia, sampai melakukan hal yang harusnya tidak ia lakukan lagi dengan Heru. Arini menangis setelah Heru pergi, dia menjerit, meraung, karena menyesal dengan apa yang tadi ia lakukan.
“Apa aku salah jika aku merindukan sentuhan suamiku?” batin Arini pilu.
Arini masih menangisi nasibnya sendiri. Ia tidak peduli ponselnya berdering berkali-kali, karena Raka menelefonnya. Sadar kalau ponselnya berkali-kali berdering, Arini menerima panggilan dari Raka.
“Iya, Ka?”
“Kamu di mana? Di rumah, atau masih menginap di hotel?”
“Aku pulang ke rumah, Ka.”
“Aku kangen, Sayang. Pengin ketemu kamu, hampir seminggu aku gak ketemu kamu,” ucap Raka.
“Sabar, ya? Aku ingin masalahku selesai dulu.”
“Kamu jadi gugat cerai Heru.”
“Iya jadi. Doakan saja, ya? Semoga semuanya lancar. Aku minta kita jaga jarak dulu ya, Ka? Biar semua clear dulu, aku juga kangen kamu.”
“Okay, aku akan sabar menunggu kamu, semoga diberikan kelancaran, kamu yang sabar, ya?”
“Iya, Ka. Aku ngantuk, mau istirahat.”
“Istirahatlah, aku sayang kamu, aku cinta kamu, Arini,” ucap Raka.
Arini hanya tersenyum mendengar ungkapan Raka. Ia tidak bisa menjawabnya, Raka pun tahu, tidak masalah bagi Raka, karena mencintai Arini saja sudah lebih dari apa pun. Mereka memutus panggilannya, Arini masuk ke dalam kamar, merebahkan dirinya, melepaskan penat di tubuhnya.
Selama hampir satu minggu Arini memang tidur di hotel. Ia ingin menenangkan diri, sambil mengurus perceraiannya dengan Heru. Raka pun tidak pernah menemui Arini selama itu, karena Arini minta dirinya harus jaga jarak dengan Arini, supaya semuanya lancar.