Cinta memang tidak pandang usia. Seperti itulah yang dialami oleh seorang gadis bernama Viola. Sudah sejak lama Viola mengangumi sosok adik kelasnya sendiri yang bernama Raka. Perbedaan usia dan takut akan ejekan teman-temannya membuat Viola memilih untuk memendam perasaannya.
Hingga suatu kejadian membuat keduanya mulai dekat. Viola yang memang sudah memiliki perasaan sejak awal pada Raka, membuat perasaannya semakin menggebu setiap kali berada di dekat pemuda itu.
Akankah Viola mampu mengungkapkan perasaannya pada Raka disaat dia sendiri sudah memiliki kekasih bernama Bian. Mungkinkah perasaannya pada Raka selamanya hanya akan menjadi cinta terpendam.
Simak dan kepoin ceritanya disini yuk 👇👇👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Cinta atau obsesi?
Lisa menghampiri suaminya yang sedang duduk santai sambil menonton televisi di ruang tengah.
"Dafa sudah tidur?" Tanya Arman saat Lisa sudah duduk di sampingnya.
"Sudah, Mas." Jawab Lisa. Dafa adalah adik laki-laki Raka yang berusia 7 tahun.
Lisa menoleh ke arah suaminya. "Mas, sepertinya sudah waktunya Raka kembali. Aku dengar dari Rangga jika putra kita itu sudah mengalami banyak perubahan. Raka kita sudah berubah."
Arman meraih secangkir kopi diatas meja dan menyeruputnya, "Benarkah? Kalau bagitu bagus dong. Semoga saja anak itu tidak berulah lagi. Jika dia sampai melakukan kesalahan yang fatal lagi, papa akan mengirimkan dia keluar negeri saja."
"Kalau ini mama yang gak setuju sama omongan Papa." Ujar Lisa tanpa ingin membenarkan ucapan suaminya. "Ngapain dikirim ke luar negeri, mama masih sanggup ngurus dan mantau anak kita itu."
Arman menaruh kembali cangkir kopi diatas meja. Pria itu menghela nafas, sudah tidak aneh jika Lisa membela putra mereka. "Tapi buktinya mana Ma? Raka jadi anak yang badung dan susah sekali diatur. Jika waktu itu Pak Rahmat sampai meninggal, mama mau anak kita dipenjara?" Arman mengingatkan kejadian beberapa bulan lalu yang membuat dirinya terpaksa harus membuat keputusan tegas dengan membiarkan Raka tinggal di rumah Pak Rahmat dan keluarganya.
"Kok papa ngomongnya gitu sih! Ingat Pa, ucapan adalah doa." Lisa merasa tidak terima, tidak ada seorang ibu yang ingin anaknya masuk penjara.
"Loh, kan Papa cuma ngomongin faktanya, Ma. Untung saja Pak Rahmat dan keluarganya tidak menuntut putra kita itu. Kalau iya, Papa sudah angkat tangan. Biar saja Raka dipenjara supaya dia bisa merenungi kesalahannya," ujar Arman.
Semua yang Arman lakukan ini semata hanya karena ingin putranya bisa menjadi laki-laki yang lebih bertanggung jawab dan tidak bertindak sesuka hati dengan mengandalkan harta keluarga untuk menyelesaikan masalah. Meskipun keputusannya ini sudah pasti mendapatkan pertentangan dari Lisa istrinya. Awal-awal Lisa memang terus komplain dan merasa tidak terima karena dijauhkan dari putranya. Tapi lambat laun, ibu dua anak itu mencoba untuk memahami akan keputusan suaminya.
"Ngomong sama Papa ini selalu aja bikin kesel! Udah ah, mama mau tidur, mama capek!!!" Lisa bangun dan pergi ke kamar dengan wajah kesalnya. Arman menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah istrinya yang mirip seperti abg labil.
-
-
-
Amel menghampiri Viola yang baru saja masuk ke dalam kelas. Senyum bahagia tak luntur dari wajah gadis yang baru saja berganti status menjadi kekasih Raka itu.
"Ciyeeee yang baru jadian, traktirannya mana nih," goda Amel.
"Lo pesen aja tuh seblak dikantin ntar gue yang bayar deh," jawab Viola.
"Dih masa seblak sih, gak modal banget," protes Amel. "Gimana kalau sepulang sekolah nanti kita jalan-jalan ke mall yuk?" ajaknya.
"Kayaknya gak bisa deh, Mel. Gue ada janji sama Raka sepulang sekolah. Raka ngajakin gue kerumahnya."
"What??? Ngajakin ke rumah?" Amel buru-buru duduk di samping Viola. "Lo mau langsung diajak ketemu sama camer? Jangan-jangan Raka mau ngajakin nikah."
Viola mengusap wajah Amel, "Lo yang mikirnya kejauhan tuh. Kita kan masih sekolah, gak mungkin lah nikah."
"Halah, tapi kalau diajakin Lo juga mau kan? Banyak kok sekarang yang pada nikah muda."
Viola menarik nafas panjang, "Iya sih, tapi kan___"
Braaakkk__!!!
Bian menggebrak meja dengan keras sambil menegakkan tubuhnya. Dengan wajah kesal dia berjalan keluar meninggalkan kelas. Viola menatap ke arah kepergian Bian, ada rasa bersalah dalam hatinya.
"Wah kayaknya ada yang meledak, tapi bukan kompor," ucap Amel saat melihat ekspresi wajah Bian yang seperti berapi-api.
"Bentar ya Mel." Viola buru-buru bangun, dia berlari keluar kelas.
"Eh Vi, Lo mau kemana?" Teriak Amel, namun Viola sudah keburu keluar dan tidak menghiraukan panggilannya.
Viola berlari untuk mencari keberadaan Bian. Dia celingak-celinguk ke kanan dan kekiri, namun sosok Bian sudah tidak terlihat. Viola mencari ke belakang sekolah. Dan benar saja, saat ini Bian sedang duduk merenung seorang diri di sebuah bangku panjang dibawah pohon besar.
"Bi," panggil Viola dari arah belakang. Bian menoleh sedikit kesamping, meskipun samar tapi dia tau siapa yang sedang berdiri di belakangnya sekarang.
Viola berjalan mendekat dan duduk di samping Bian. Keduanya saling terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Aku minta maaf, Bi. Aku sudah___" ucap Viola terpotong saat tiba-tiba Bian menggenggam kedua tangannya yang berada di pangkuan.
"Kasih aku kesempatan lagi Vi buat meraih hati kamu. Aku gak rela ada cowok lain selain aku yang dekat sama kamu. Aku sayang sama kamu Viola."
Viola menarik tangannya dari genggaman tangan Bian. "Kita udah pernah coba Bi. Tapi aku tetap gak bisa kan? Aku gak mau terus-terusan nyakitin hati dan perasaan kamu. Kita temenan aja ya?"
"Gak Vio, aku gak mau cuma dianggap sebagai teman oleh kamu. Hampir tiga tahun Vi aku nungguin kamu, nunggu kamu ngebuka hati buat aku." Bian merasa tidak ikhlas jika penantiannya berakhir dengan sia-sia. Dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama, sejak mereka sama-sama datang sebagai murid baru disekolah itu.
"Bi, yang namanya perasaan gak bisa dipaksa. Please, kamu jangan kayak gini terus Bi. Jangan membuat aku terus-terusan merasa bersalah." Viola berusaha untuk terus menyakinkan, dia tidak ingin disebut sebagai pemberi harapan palsu. Viola hanya ingin berteman dengan Bian, apalagi mereka satu kelas. Rasanya sangat tidak nyaman jika sekelas tapi tidak saling tegur sapa.
Kreng__ kreng____
Bel masuk kelas berbunyi, Viola menoleh ke arah Bian.
"Udah bel, ayo kita masuk," ajak Viola. Dia bergegas bangun namun langkahnya tertahan saat Bian menahan pergelangan tangannya. Viola menoleh ke arah Bian yang masih belum beranjak dari duduknya.
"Sampai kapanpun aku gak akan rela ngelepasin kamu buat cowok lain Vi. Termasuk adik kelas kita itu!" Ucap Bian dengan penuh penekanan.
Viola menatap kecewa pada Bian. Dia tidak tau harus bagaimana lagi untuk membuat Bian mengerti jika dia tidak bisa memaksakan perasaannya pada pemuda itu.
"Ini bukan cinta Bi, tapi obsesi!" Viola menarik tangannya dari genggaman tangan Bian dan berlalu pergi tanpa ingin menjawab lebih banyak lagi. Rasanya percuma untuk menjelaskan lagi sekarang. Saat ini Bian sedang dikuasai oleh amarah dan obsesi yang sangat besar terhadap dirinya.
Tanpa mereka sadari sepasang mata milik Raka sejak tadi terus memperhatikan keduanya dari kejauhan.
...🍁🍁🍁...
mulai nakal ya Vio....
lanjutkan 😆😆😆😆
sama kita Vio....
Bian kamu dicariin adenya Revi tuh. 🤭
aq jarang online di NT 🙏