Vherolla yang akrab disapa Vhe, adalah seorang wanita setia yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya, Romi. Meski Romi dalam keadaan sulit tanpa pekerjaan, Vherolla tidak pernah mengeluh dan terus mencukupi kebutuhannya. Namun, pengorbanan Vherolla tidak berbuah manis. Romi justru diam-diam menggoda wanita-wanita lain melalui berbagai aplikasi media sosial.
Dalam menghadapi pengkhianatan ini, Vherolla sering mendapatkan dukungan dari Runi, adik Romi yang selalu berusaha menenangkan hatinya ketika kakaknya bersikap semena-mena. Sementara itu, Yasmin, sahabat akrab Vherolla, selalu siap mendengarkan curahan hati dan menjaga rahasianya. Ketika Vherolla mulai menyadari bahwa cintanya tidak dihargai, ia harus berjuang untuk menemukan jalan keluar dari hubungan yang menyakitkan ini.
warning : Dilarang plagiat karena inti cerita ini mengandung kisah pribadi author
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jhulie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan Romi
Vherolla duduk di tempat tidur kosnya, jari-jarinya sibuk menggulir layar ponselnya. Dia baru saja membuka aplikasi sosial media berwarna biru yang kerap ia gunakan untuk sekadar melihat aktivitas teman-temannya atau mengunggah cerita-cerita ringan. Namun, hari itu berbeda. Sehari sebelumnya, Vherolla memasang foto profil baru, wajah Romi yang tersenyum lebar. Entah kenapa, saat itu ia hanya merasa ingin melakukannya, meski sedikit ganjil juga baginya. Namun, tanpa diduga, pagi itu ada sebuah pesan yang mengusik pikirannya.
Permintaan pertemanan dari seorang perempuan muncul di layar, tanpa curiga sedikit pun, Vherolla langsung mengonfirmasi pertemanan tersebut. Seketika, Vherolla mendapati sebuah pesan masuk dari perempuan itu.
"Semoga kamu bahagia sama yang baru."
Vherolla mengerutkan kening, pesannya singkat tapi cukup membuat otaknya berputar. Siapa perempuan ini? Dan apa maksudnya dengan "yang baru"?
Rasa penasaran mengusiknya. Apa mungkin perempuan itu salah paham dengan foto profil Romi yang ia pasang? Mungkin saja, perempuan itu berpikir ia sedang bersama seseorang yang baru. Vherolla mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres di balik pesan ini. Akhirnya, tanpa banyak berpikir, ia membalas pesan tersebut.
"Maaf, maksudnya apa ya?"
Balasan datang hampir seketika.
"Kamu Romi, kan?"
Jantung Vherolla berdebar keras. Dia terdiam sejenak sebelum membalas lagi.
"Maaf, saya bukan Romi. Ini siapa?"
Ada jeda beberapa menit sebelum perempuan itu merespons. Vherolla menggigit bibirnya, perasaan tidak enak mulai menyelimutinya. Beberapa kemungkinan mulai berputar di kepalanya, namun dia mencoba untuk tidak berasumsi terlalu jauh. Akhirnya, sebuah balasan muncul di layar.
"Berarti kamu pacarnya Romi, ya? Aku mantannya Romi. Kami dulu pacaran lama, sampai akhirnya dia pergi begitu saja tanpa penjelasan. Dia blokir aku di mana-mana, dan lebih parah lagi, dia punya hutang yang belum dia bayar sampai sekarang."
Vherolla terkejut. Tangannya bergetar saat ia membaca pesan itu. Mantan? Romi tidak pernah bercerita apapun tentang mantannya, apalagi soal hutang. Dan sekarang, perempuan ini mengatakan Romi kabur meninggalkannya begitu saja?
"Maaf, bisa jelaskan lebih detail? Aku nggak tahu apa-apa soal ini," balas Vherolla, meski sebenarnya ia merasa sudah mulai bisa menebak arah pembicaraan ini.
"Aku sama Romi pacaran hampir dua tahun. Dia bilang mau serius, kita sempat bicara soal nikah juga, tapi tiba-tiba dia mulai menjauh. Awalnya aku pikir mungkin ada masalah, tapi lama-lama dia makin nggak jelas. Sampai akhirnya aku sadar dia udah punya pacar baru, dan tiba-tiba aku diblokir di semua media sosial. Romi juga pernah pinjam uang dari aku dengan alasan buat modal usaha, tapi sampai sekarang nggak dikembalikan sepeser pun."
Vherolla merasakan perutnya mual. Semua yang perempuan itu ceritakan terdengar sangat familiar. Pinjaman uang dengan alasan untuk usaha? Bukankah itu juga yang Romi lakukan padanya? Seketika ingatan tentang gitar baru Romi, dan kebohongan soal usaha sembako yang katanya dititipkan di rumah pamannya, kembali muncul di benaknya.
Perempuan di seberang percakapan kembali mengetik.
"Aku nggak tahu dia sekarang gimana, tapi kalau kamu pacarnya yang sekarang, hati-hati aja. Romi pandai bermain kata-kata. Dia bisa bikin kamu percaya padanya, padahal dia cuma main-main. Aku udah cukup kapok dibohongi dia. Dan dia itu pemain, playing victim sekaligus manipulatif."
Vherolla terdiam, pandangannya menatap kosong ke layar ponsel. Dia merasakan emosi yang campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia tidak tahu harus merespons apa lagi. Di satu sisi, ia merasa tersakiti oleh kenyataan bahwa Romi ternyata tidak pernah berubah. Di sisi lain, ia merasakan kebencian yang mulai membara kepada Romi.
Setelah beberapa saat berpikir, Vherolla mengetik lagi.
"Makasih udah cerita. Aku nggak tahu soal hutang itu, tapi sepertinya aku juga mengalami hal yang sama."
Perempuan itu membalas dengan cepat.
"Kalau kamu butuh bukti, aku bisa kirim screenshot percakapan terakhir kita sebelum dia blokir aku. Waktu itu dia janji mau bayar, tapi sampai sekarang nggak ada kabar."
Tanpa berpikir panjang, Vherolla mengiyakan tawaran tersebut. Tak lama kemudian, beberapa tangkapan layar muncul di ponselnya. Romi, dalam pesan itu, terlihat berjanji akan mengembalikan uang yang dia pinjam, namun di satu sisi juga memberikan alasan-alasan yang tampaknya hanya dibuat-buat. Vherolla merasakan panas di dadanya semakin menguat.
"Aku udah nggak peduli lagi sama dia, yang penting sekarang aku cuma mau ngasih tahu biar kamu nggak terjebak seperti aku." pesan terakhir dari perempuan itu terdengar tulus.
Vherolla mengucapkan terima kasih, kemudian menutup percakapan. Matanya masih tertuju pada ponsel, tetapi pikirannya jauh melayang. Dia telah tertipu, dimanipulasi oleh seseorang yang selama ini ia percaya. Romi bukan hanya membohonginya, tapi juga sudah merusak banyak hati di sepanjang jalan.
Di dalam hati, Vherolla tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Namun, ada satu hal yang menahannya, perasaan bahwa Romi telah merenggut lebih dari sekadar hatinya. Hubungan mereka telah mencapai titik di mana ia merasa terlalu dalam untuk mundur, terlalu banyak yang sudah dikorbankan.
Tapi kali ini, pikirannya mulai berubah. Mungkin sudah waktunya ia berpikir untuk keluar dari hubungan ini.
Vherolla menatap layar ponselnya, mencoba mencerna apa yang baru saja ia pelajari. Romi, pria yang selama ini ia percayai dan cintai, ternyata bukan hanya mempermainkannya tetapi juga mantan pacarnya. Perasaan kesal dan kecewa bercampur jadi satu. Dia tidak bisa menahan pikiran bahwa selama ini, Romi bukanlah orang yang ia kira.
Namun, meski perasaan amarah meluap dalam dadanya, ada bagian dari dirinya yang masih ragu. Bagaimana jika perempuan itu hanya berusaha memfitnah Romi? Bagaimana jika semua ini salah paham? Vherolla menggigit bibirnya, mencoba mencari alasan untuk membela Romi, tetapi semua bukti yang ia miliki semakin membuatnya sulit untuk percaya lagi.
Ia ingat betapa Romi memintanya uang dengan janji-janji manis tentang usaha sembako, yang ternyata hanya kebohongan belaka. Ditambah lagi dengan pengakuan Rozak dan Runi, yang keduanya mengonfirmasi bahwa Romi tidak melakukan apa pun selain bermalas-malasan dan bersenang-senang dengan uang Vherolla.
“Kok bisa aku sebodoh ini?” gumam Vherolla sambil mengusap wajahnya yang lelah. Dia merasa bodoh karena selama ini mempercayai Romi, padahal tanda-tanda sudah jelas di depan matanya. Keputusan untuk terus membantunya, bahkan setelah dia tahu bahwa Romi menggunakan uang itu untuk hal lain, kini terasa begitu konyol.
Tak lama setelah pikiran-pikiran itu berkecamuk, ponselnya bergetar. Pesan dari Romi masuk.
"Sayang, gimana? Aku butuh uang lagi untuk menambah modal warung. Kamu bisa bantuin, kan?"
Pesan itu bagaikan paku terakhir yang menancap dalam di hatinya. Vherolla terdiam, tangannya menggenggam ponsel dengan erat, lalu tanpa pikir panjang, dia tidak membalas pesan Romi.
Vherolla menarik napas dalam-dalam, ia tahu bahwa ini baru awal dari keputusannya. Tekad mulai terbangun dalam dirinya untuk menghadapi Romi dan keluar dari hubungan yang hanya merugikannya. Dia tidak mau lagi menjadi korban dari kebohongan dan manipulasi pria itu. Saatnya dia mengambil kendali kembali atas hidupnya.