Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Keputusan Terbaik
Sepulang sekolah sekitar jam 3 sore Adhara ingin mencari keberadaan Vano, dan sebelum mencarinya Dhara mencoba menghubungi nomer Vano dan ternyata nomernya masih aktif.
Adhara menatap Langit yang sudah diatas motornya. "Dia lagi di Bandung," lirih Dhara membuang muka.
"Kamu mau susul dia ke Bandung?" tanya Langit. Ia tahu perasaan Adhara yang masih tak tenang memikirkan Vano.
Dhara mengangguk pelan. "Kamu nggak usah ikut, aku bisa ke sana sendiri naik mobil pribadi." ucap gadis tersebut.
"Aku temenin kamu ke sana, kamu nggak boleh ke sana cuma sama sopir pribadi kamu." tegas Langit.
"Tapi Lang-"
"Aku nggak mau kamu kenapa-napa selama perjalanan ke sana." Langit mengucapkan penuh dengan nada khawatir.
Adhara malah tertawa menatap wajah Langit yang terlihat khawatir. "Lebay banget sih lo!" pekiknya.
"Bukan lebay, Ra. Aku nggak mau-"
"Nggak mau apa? hah? aku baik-baik ke sana sama sopir pribadi aku!" ketus Dhara mulai kesal.
Langit semakin mendekatkan tubuh ke Adhara membuat gadis itu memundurkan tubuhnya sedikit. "Untuk kali ini aja, Ra. Aku nggak mau kamu kenapa-napa." ucap lelaki itu memohon.
Adhara yang merasa tangannya sedang di genggam oleh Langit pun segera melepas secara kasar. "Lo siapanya gue? kita cuma temen, Lang ... iya gue tau kalo lo itu penulis idaman gue tapi bukan berarti lo bisa nyuruh-nyuruh gue gitu aja. Coba lah lo ngertiin posisi gue sekarang, bisa kan?" timpalnya tak habis pikir dirinya diatur oleh Langit.
Seketika Langit menunduk diam. "Yaudah kalo gitu, aku nggak maksa kamu lagi." ujar lelaki itu mendongak menghela napas panjang.
Adhara meraup wajahnya kesal, "Terus sekarang ngapain lo masih di rumah gue? mau ngikutin gue diem-diem?" tanyanya menatap Langit yang belum pergi dari hadapannya.
Langit menggeleng pelan, "Gue pamit dulu," ucapnya tanpa menatap Adhara.
Satu langkah Langit tiba-tiba terhenti karena mendapat panggilan dari Surya, Ayahnya Adhara.
"Langit," panggil Surya keluar dari rumah dan menuju ke halaman tempat Adhara dan Langit sedang mengobrol.
"Iya, Om?" sahut Langit menghadap ke Surya.
"Sopir pribadi Dhara tidak bisa mengantarkan karena harus pulang kampung, ada acara keluarga katanya." ucapan Surya membuat Adhara terkejut.
Mata Adhara membulat, "Loh, Yah? katanya udah fix mau anterin Dhara nyari Vano? kok nggak jadi sih?" tanya gadis tersebut cemberut.
"Iya, kita nggak boleh memaksa pak Herman buat anterin kamu ke Bandung. Bagaimanapun, acara keluarga itu penting." ujar Surya.
Langit hanya diam menyimak obrolan Adhara dan ayahnya. "Terus Dhara ke Bandung sama siapa dong??" rengek gadis itu mengerucutkan bibirnya lalu mengembungkan pipinya.
"Harus sama Langit." celetuk Surya menjawab pertanyaan putrinya dengan enteng.
Adhara sempat tertohok mendengar jawaban ayahnya yang sama sekali tidak ia duga.
"Wah, kok ayah gitu sih?! Ay-Ayah kenapa nyuruh dia?" oceh Dhara tak terima.
"Karena cuma Langit yang bisa jagain kamu," tutur Surya menatap putrinya serius.
Gadis itu berdecak kesal. Bahkan sangat kesal. "Ya nggak enak dong, Yah. Masa aku selalu ngerepotin dia terus? malu dong Ayah ..." rengeknya hampir menangis.
Surya tertawa pelan serta Langit hanya terkekeh melihat tingkah Adhara yang begitu menggemaskan. "Kenapa harus malu? Langit itu pacar kamu. Suatu kewajiban jagain kamu." ledek Surya semakin menggoda.
"Ayah ... Langit itu bukan pacar Dharaa!! dia temen aku nggak lebih dari ituu ... yang kemaren cuma bercanda biar diizinin keluar sama dia. Udah gitu aja! Ish!" pekik Adhara geram sambil menghentakkan kakinya di lantai.
Langit menghembuskan napas panjang, "Apa yang Dhara bilang itu bener, Om. Aku sama Dhara belum ada hubungan lebih dari temen. Sebenarnya Langit suka sama Dhara tapi aku nggak mau ganggu karir dia jadi penulis." ucap Langit sekilas menatap Adhara.
"Lah? memangnya Dhara udah bisa jadi penulis?" nada bicara Surya berubah tak menyeramkan seperti tadi.
Seketika Dhara kesal dengan ayahnya yang menganggap dirinya belum bisa menjadi penulis. "Ayah ngeremehin Dhara?" pertanyaan itu sontak membuat Surya tertawa melihat wajah putrinya yang terlihat mengintrogasi.
"Siapa yang ngeremehin kamu? ayah nggak bilang gitu, lagian kenapa kamu nggak mau ke Bandung sama Langit?" ujar beliau sambil menaikkan alis meledek.
"Ya karena gini loh-" sahut Dhara langsung terpotong oleh Langit.
"Karena Dha-"
"Diem! biar gue yang ngomong!" pekik cewek itu menghentikan ucapan Langit.
Langit terdiam sekilas menatap ayahnya Adhara. "karena aku bosen, Yah ... mau beda kelas pun dia lewat juga aku tau dia yang mana." jeritnya kesal.
Surya menggeleng seraya tertawa heran melihat tingkah putrinya, "Coba apa ciri-ciri kalo ada Langit di tengah-tengah kerumunan orang?" tanya ayahnya Dhara.
"Rambutnya tuh tuing-tuing!" pekik Dhara memasang wajah sebalnya.
Langit yang mendengar itu pun hanya bisa terkekeh pelan. Kemudian ia memegang pucuk rambutnya karena merasa malu pada ayahnya Adhara.
"Emang kamu tau mana yang Langit? sementara di sekolah kamu kan yang tinggi banyak nggak cuma Langit aja?" sahut bundanya Adhara datang tiba tiba.
"Intinya ciri-ciri dia tuh aku tahu ..." ocehnya tak berhenti geram.
"Yaudah, mau nggak aku yang anterin kamu ke sana?" tanya Langit, sekalian ia meminta izin pada orangtuanya Dhara.
"Ngg-"
"Harus mau dong!" sahut bundanya memotong ucapan Dhara membuat anaknya menggigit bibir bawahnya.
Adhara menatap Ayah, Bunda, dan juga Langit. Kini ia sudah tak bisa menolak lagi. Apalagi ia mulai diledek oleh ayahnya, kalo nolak ampun deh. Mampus! ayahnya Dhara nggak se-lucu itu kalo meledek anaknya. Justru baru kali ini Adhara melihat ayahnya tak tegas sama cowok yang dateng ke rumahnya.
"Hm, yain aja dah." jawab Dhara pasrah.
"Hahaha ..." kedua orang tuanya Dhara tertawa, namun tak berlangsung lama ayahnya Adhara kembali memasang wajah serius menatap Langit.
Langit yang merasa di tatap pun mendongak dan sedikit merasa tegang. "Sudah. Langsung saja kalian berangkat ke Bandung nyusul Vano. Kasian dia sendirian di rumah lama itu, jangan sampai dia melakukan hal yang tidak diinginkan." ucap Surya tegas.
"Baik, Om." balas Langit mengangguk.